Ditulis oleh Fania Feby Ramadhani | Mahasiswa PhD School of Life Science, TU Munich
Perubahan iklim atau climate change dapat didefinisikan sebagai perubahan jangka panjang pada suhu dan pola cuaca. Penyebab dari perubahan iklim bermacam-macam, mulai dari yang alami seperti perubahan konfigurasi benua dan samudra, perubahan intensitas matahari, variasi orbit bumi, erupsi vulkanis, hingga aktivitas manusia. Dalam sejarah, bumi sudah mengalami beberapa kali perubahan iklim berskala besar, tetapi dalam beberapa ratus tahun terakhir kenaikan suhu bumi terjadi pada laju yang lebih tinggi dibanding yang pernah terjadi pada masa lampau. Percepatan pada laju perubahan iklim ini diduga didorong oleh aktivitas manusia, seperti emisi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil yang masif sesudah revolusi industri.
Di masa lalu, perubahan iklim telah membawa berbagai efek pada peradaban manusia seperti penurunan populasi Maya yang berkaitan dengan kekeringan dan migrasi manusia yang dibantu oleh lapisan es pada zaman es. Perubahan iklim yang tengah terjadi saat ini juga sudah membawa beberapa konsekuensi yang bisa kita amati belakangan ini, seperti peningkatan cuaca ekstrem, heatwave, dan insiden bencana alam. Kejadian-kejadian ini akan berdampak terhadap berbagai aspek seperti ekonomi, ketahanan pangan, dan kesehatan. Ada banyak aspek kesehatan yang bisa dipengaruhi oleh perubahan iklim, tetapi penulis ingin memfokuskan pada peningkatan penularan penyakit infeksi sebagai akibat perubahan iklim.
Bagaimana bisa perubahan iklim memengaruhi penularan penyakit infeksi? Sebagian penyakit infeksi dapat diklasifikasikan sebagai penyakit infeksi yang sensitif terhadap (perubahan) iklim (Climate-sensitive infections, CSIs), karena sedikit perubahan pada iklim akan menyebabkan transisi pada lokasi dan jumlah orang yang terinfeksi. CSIs dapat ditularkan melalui media vektor (organisme perantara), makanan, tanah, udara, maupun air.
Salah satu contoh kasus perubahan pada CSIs yang bisa kita bahas adalah pada penyakit infeksi yang ditularkan melalui vektor nyamuk. Beberapa spesies nyamuk merupakan vektor dari penyakit infeksi seperti demam berdarah, malaria, dan chikunguya. Salah satu efek dari perubahan iklim adalah perubahan dari jangkauan geografis (geographical range shift), pola musiman, dan intensitas dari penyakit yang dibawa oleh vektor penyakit terutama nyamuk (Morin et al., 2013). Iklim yang menghangat memungkinkan nyamuk untuk menyebar ke daerah di lintang utara melebihi daerah persebaran aslinya. Nyamuk bersifat ektothermik (suhu tubuh bergantung lingkungan), sehingga untuk mempertahankan tubuhnya agar tetap habitat nyamuk biasanya berada di wilayah khatulistiwa. Akan tetapi, karena suhu bumi yang memanas maka persebaran nyamuk bisa meluas ke daerah-daerah yang awalnya terlalu dingin untuk mereka.
Perubahan jangkauan geografis tidak hanya teramati pada nyamuk, tetapi pada hewan lainnya yang berpeluang menjadi agen pembawa penyakit. Awalnya, hewan-hewan yang berkerabat cukup dekat dan mungkin untuk berbagi patogen yang sama tidak bisa berinteraksi satu sama lain karena habitat mereka berjauhan. Perubahan iklim memungkinkan persebaran dan habitat hewan untuk menjadi lebih luas, memiliki kontak dekat dengan kerabat dekatnya, dan mungkin bertukar patogen. Carlson et al. (2022) melakukan pemodelan untuk memprediksi hotspot transfer virus di masa depan antar hewan mamalia. Hasilnya, hewan yang kemungkinan berperan paling penting dalam penyebaran virus baru di masa depan adalah kelelawar. Faktor yang mendukung kelelawar untuk menjadi penyebar utama adalah kemampuannya untuk terbang, karena berarti area jangkauan kelelawar lebih besar daripada hewan-hewan yang hanya bisa bergerak lewat darat atau perairan. Selain itu, kemungkinan besar lokasi hotspot pertukaran virus berada di Asia Tenggara. Faktor-faktor pendukungnya yaitu kepadatan penduduk yang tinggi dan kekayaan keanekaragaman hayati, sehingga meningkatkan peluang terjadinya kontak antara manusia dan hewan liar yang dapat menularkan virus baru.
Contoh kasus perubahan CSIs lainnya akibat perubahan iklim adalah pergeseran penyakit dengan media penularan air yang terjadi melalui beberapa variabel. Variabel pertama, perubahan iklim menyebabkan hujan ekstrim yang dapat berujung pada banjir pada beberapa wilayah atau negara. Hujan deras dan banjir berpeluang meningkatkan pencemaran sumber air oleh patogen-patogen berbahaya, seperti Campylobacter penyebab kampilobakteriosis, E. coli O157: H7 penyebab infeksi saluran pencernaan, Cryptosporidium penyebab kriptosporidiosis, dan Leptospira penyebab leptospirosis (Rupasinghe et al., 2022). Peningkatan suhu perairan juga dapat memengaruhi siklus reproduksi patogen yang berhabitat di perairan, dan berujung pada peningkatan populasi mereka. Terakhir, patogen memiliki pola siklus musiman di mana biasanya jumlah patogen akan meningkat pada musim hujan. Chhetri et al. (2019) menemukan adanya peningkatan cryptosporidiosis dan giardiasis (infeksi oleh patogen Cryptosporidium dan Giardia) di Vancouver, Kanada sebagai akibat dari kenaikan curah hujan yang merupakan implikasi perubahan iklim. Kedua patogen tersebut dikenal sebagai penyebab infeksi saluran pencernaan akut.
Terakhir, selain dari jalur penularan yang telah dijelaskan di atas, bumi yang menghangat juga menyebabkan melelehnya lapisan permafrost. Permafrost adalah lapisan di bawah tanah yang suhunya terjaga di bawah titik beku sepanjang tahun dan dapat ditemukan di wilayah kutub. Berdasarkan hasil temuan Miner et al. yang dipublikasikan di jurnal Nature Climate Change (2021), melelehnya permafrost berpotensi berbahaya dalam aspek penyakit infeksi karena lapisan tersebut kemungkinan mengandung mikroba: virus-virus, baik yang kita ketahui seperti cacar smallpox maupun virus-virus purba yang tidak diketahui, bakteri dengan resistensi antibiotika, dan mikroba lainnya. Jika kita ikut menghitung faktor tingginya pergerakan manusia secara global dan turisme ke wilayah kutub, maka akan meningkatkan risiko perpindahan dan penularan ke wilayah non-kutub. Kasus wabah penyakit yang sudah terjadi akibat melelehnya permafrost yaitu wabah anthrax di wilayah Yamalo-Nenets, di Arktik Siberia Rusia. Wabah ini memakan korban jiwa seorang manusia dan 2000 ekor rusa kutub. Penyebabnya dicurigai berasal dari peningkatan laju melelehnya karkas hewan terinfeksi yang sudah lama terkubur dalam es. Akibat dari perubahan iklim, laju pelelehan meningkat dan jumlah spora anthrax semakin banyak dan kemudian menginfeksi hewan-hewan di sekitar (Stella et al., 2020).
Apakah yang bisa kita lakukan untuk mencegah peningkatan CSIs seperti disebutkan di atas? Dari tingkat individu, yang pertama kita bisa berkontribusi dalam menghambat atau bahkan menurunkan perubahan iklim. Langkah-langkah yang mungkin dilakukan untuk menurunkan jejak karbon seperti menggunakan transportasi umum, mengurangi konsumsi daging merah, dan mengurangi penggunaan plastik. Selain itu, kita juga bisa berkontribusi dengan mendukung program-program yang bertujuan mencegah kerusakan habitat hewan liar dan menghindari menggunakan produk-produk yang dalam proses pembuatannya menyebabkan kerusakan habitat. Jika habitatnya dirusak dan hewan liar tidak mampu mencari makan di wilayah tersebut, kemungkinan untuk mereka menuju pemukiman manusia, berkontak, dan terjadi transfer patogen menjadi meningkat. Langkah terakhir yang bisa diterapkan adalah menjaga kebiasaan aseptik, seperti mencuci tangan setelah menyentuh permukaan kotor atau sebelum makan, menggunakan masker, dan tidak bersin dan batuk menghadap orang lain. Dengan kita melakukan langkah-langkah tersebut, kita turut serta dalam menekan penularan penyakit secara umum termasuk penyakit CSIs.
Sementara itu, dalam tingkat sistemik langkah-langkah yang bisa dilakukan yaitu mendesak pemerintah dan negara-negara secara global untuk mengambil tindakan konkrit dalam penanganan perubahan iklim dan efek-efek yang diakibatkannya. Selain itu, perlu adanya surveillance terhadap virus-virus yang beredar secara global untuk memprediksi manakah virus yang mungkin menimbulkan wabah baru. Persebaran keanekaragaman hayati, terutama di wilayah hotspot sebaiknya ditingkatkan untuk mengamati perbedaan persebaran hewan liar dan kemungkinan mereka untuk berkontak antara sesamanya maupun dengan manusia. Terakhir, studi-studi lanjutan di bidang ini juga masih diperlukan untuk memahami lebih lanjut potensi bahaya CSIs yang belum diketahui kedepannya.
Disunting oleh: Melani Ratih Mahanani
Reference (APA style)
Australian Academy of Science. (2022). 2. How has climate changed? | Australian Academy of Science. https://www.science.org.au/learning/general-audience/science-climate-change/2-how-has-climate-changed#:~:text=Earth%27s%20climate%20has%20changed%20dramatically,of%20Earth%2C%20and%20volcanic%20eruptions.
Australian Academy of Science. (2022). 7. What are the impacts of climate change? | Australian Academy of Science. https://www.science.org.au/learning/general-audience/science-climate-change/7-what-are-impacts-of-climate-change.
Canadian Public Health Association. Climate sensitive infectious diseases. https://www.cpha.ca/sites/default/files/uploads/resources/idcc/Website22_CSID_Primer_EN.pdf
Morin, C. W., Comrie, A. C., & Ernst, K. (2013). Climate and dengue transmission: evidence and implications. Environmental health perspectives, 121(11-12), 1264-1272.
Rupasinghe, R., Chomel, B. B., & Martínez-López, B. (2022). Climate change and zoonoses: A review of the current status, knowledge gaps, and future trends. Acta Tropica, 226, 106225.Stella, E., Mari, L., Gabrieli, J., Barbante, C., & Bertuzzo, E. (2020). Permafrost dynamics and the risk of anthrax transmission: a modelling study. Scientific reports, 10(1), 1-12.