Skip to content

Sejarah PPI Jerman

Selama bertahun-tahun, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman telah menjadi salah satu wadah penting bagi para pelajar dan mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di negara ini. Sejarah panjang dan beragam perjalanan organisasi ini mencerminkan semangat persatuan, pengabdian, dan pencapaian yang telah mengukir jejak penting dalam perkembangan pendidikan dan budaya Indonesia di Jerman. Halaman ini akan membahas sejarah PPI Jerman yang kaya akan peristiwa dan pencapaian penting yang membentuk perkembangan organisasi ini dari masa ke masa.

Daftar Isi

  1. Pendirian dan Pergerakan pada Masa Orde Lama (1955-1965)
  2. Orde Baru dan perlawanan terhadap rezim (1965-1998)
  3. Aktivisme pada saat Reformasi hingga mati suri (1998-2006)
  4. Lahirnya kembali PPI Jerman dan Manifesto Göttingen (2006-2016)
  5. Wajah Baru PPI Jerman (2016-sekarang)

Pendirian dan Pergerakan pada Masa Orde Lama (1955-1965)

Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) pada masa Orde Lama memiliki akar yang kuat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dan pemuda-pemuda yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaan tanah air. Salah satu tokoh sentral dalam pergerakan ini adalah Dr. Chairul Saleh, yang akrab dipanggil Bung Chairul. Chairul Saleh bersama dengan Adam Malik menolak hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1950. Akibatnya, ia ditangkap oleh pihak militer Indonesia yang dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan diasingkan ke Eropa. Selama masa pengasingannya di Eropa, Chairul Saleh tetap aktif dalam pergerakan politik Indonesia. Ia mengenyam pendidikan di beberapa universitas Eropa, seperti Universitas Leiden dan Universitas Bern, dengan fokus pada studi hukum namun akhirnya berpindah ke Bonn karena masalah dengan pemerintah Belanda dan tidak sreg dengan jurusan di Bern. Akhirnya pada tahun 1952, Chairul berkuliah di Universitas Bonn dengan tetap mengambil jurusan Hukum.

Meskipun jauh dari tanah air, Chairul tetap memantau perkembangan politik di Indonesia dan menjadi tempat berteduh bagi rekan-rekan pemuda Indonesia yang belajar di Eropa. Chairul tetap dengan cermat mengikuti perkembangan politik Indonesia. Rumah di Durerstrasse (Dürenstrasse) 3-A, Bad Godesberg menjadi tempat persinggahan kawan-kawan yang berkunjung ke Eropa, sehingga ia “well informed” tentang keadaan di Indonesia. Bagi pemuda-pemuda yang dikirim oleh Pemerintah RI untuk menuntut ilmu di Eropa, Chairul dan Zus Yo (Istri Chairul, panggilan akrab Johanna Siti Menara Saidah) merupakan “tempat berteduh” mengimbangi rasa rindu pada orang tua yang jauh di seberang lautan. Zus Yo juga bekerja di KBRI Bonn sebagai Local Staff sekretaris dari Duta Besar R.I. Mr. A.A. Maramis. Pengaruh Chairul terhadap para pelajar Indonesia di Eropa sangat besar.

Hal-hal seperti kondisi kehidupan sosial pelajar di Eropa, beasiswa dan kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap masyarakat mahasiswa Indonesia di luar negeri mendorong Chairul untuk mengambil peran dan konsultasi dengan berbagai tokoh pemuda pelajar Indonesia di seluruh Eropa. Ia dapat mengumpulkan para pelajar yang tergabung dalam organisasi PPI se-Eropa. Mereka mengadakan pertemuan pertamanya di Hennef (Sieg), Jerman Barat. Rumah bung Chairul juga menjadi tempat krusial yang menjadi tempat didirikannya PPI Jerman Barat.

Pada tahun 1955, berawal dari pertemuan mahasiswa seluruh Eropa di Bad Honnef, terbentuklah sebuah organisasi yang menjadi tonggak awal Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Inisiatif ini kemudian menjadi cikal bakal Perhimpunan Pelajar Indonesia di Jerman yang didirikan pada 4 Mei tahun 1956 di Bad Godesberg, menaungi 11 cabang PPI, termasuk PPI cabang Aachen dan PPI Cabang Bonn. PPI Jerman awalnya terdiri dari sejumlah kecil anggota, termasuk 5 orang di Bonn, dan sekitar 15 mahasiswa tugas belajar di seluruh Jerman Barat pada awal tahun 1950-an. Mereka membentuk “Panitia Pelajar Indonesia” (Indonesischer Studenten Ausschuss) yang kemudian berkembang menjadi Perhimpunan Pelajar Indonesia. Kegiatan PPI pada saat itu melibatkan bantuan kepada mahasiswa Indonesia yang baru tiba di Jerman Barat dan berbagai acara budaya seperti “Indonesischer Abend” atau “Malam Indonesia.”

Saat itu, Indonesia masih menerapkan sistem demokrasi parlementer, yang diakhiri pada tahun 1959 karena stabilitas politik yang terbatas. Presiden Soekarno memimpin Indonesia dan berusaha memperjuangkan kemerdekaan Irian Barat (sekarang Papua) dari Belanda. Untuk mencapai tujuan ini, Sukarno membentuk koalisi politik yang dikenal sebagai Nasakom, yang terdiri dari militer, kelompok Islam, dan komunis. PPI Jerman dan mahasiswa Indonesia di Eropa juga terlibat dalam perjuangan politik terkait Irian Barat. Mereka mendukung perjuangan pembebasan Irian Barat dari kolonial Belanda dan berupaya menjalin hubungan dengan pemerintah Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu, peristiwa-peristiwa politik di Indonesia terutama kebijakan politik Bung Karno dan gesekan antara kelompok nasionalis dan PKI, menciptakan ketegangan dalam PPI dan di kalangan mahasiswa Indonesia di Jerman.

Selama periode Nasakom yang berlangsung sejak tahun 1955, terutama dalam konteks aktivitas Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Jerman dan Eropa, terdapat dua kelompok utama dengan pandangan yang berbeda. Di satu sisi, terdapat “Kubu Chairul Saleh (Anti-Partai)”. Kelompok ini dipimpin oleh tokoh seperti Chairul Saleh yang memiliki sikap lebih keras dan anti-partai. Mereka ingin membangun kembali kekuasaan nasional dan berusaha menghindari campur tangan partai politik dalam gerakan mahasiswa. Bagi mereka, yang terpenting adalah membangun kembali fondasi kekuasaan nasional. Di sisi lain terdapat “Kubu Filosofis (Pro-Pancasila)”. Kelompok ini memiliki pandangan yang lebih filosofis yang melihat Pancasila sebagai dasar moral dan etika bangsa Indonesia. Kelompok ini tidak melawan partai politik atau kekuasaan yang ada, melainkan lebih fokus pada pemahaman dan penyebaran nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman moral.

Beberapa poin penting terkait perkembangan PPI Jerman Barat dan perjuangan mahasiswa Indonesia di Eropa selama periode ini adalah sebagai berikut:

  • Pada Konferensi kedua PPI Eropa tahun 1957 di Düren, Jerman Barat, pemerintah Indonesia mengutus Menteri Pembangunan Desa Achmadi untuk memberikan arahan. Hasil konferensi ini mencakup gagasan untuk melibatkan golongan fungsional dalam parlemen dan pembentukan Dewan Nasional untuk menerapkan demokrasi terpimpin. Poin-poin ini dianggap sebagai “produk” konferensi mahasiswa Indonesia di Eropa.
  • Sebelum Konferensi ketiga PPI Eropa tahun 1959 di Paris, PPI Jerman mengadakan Seminar Pembangunan yang dicetuskan oleh BJ Habibie. Seminar ini dipimpin oleh beberapa tokoh mahasiswa dan menyoroti pentingnya pembangunan selain isu politik, mencakup berbagai bidang seperti teknik penerbangan dan arsitektur. Seminar tersebut dipimpin oleh presidium yang beranggotakan Iskandar Alisjahbana dan Arifin Musnadi (München), Gultom (Berlin) dan Sjaharil (Aachen). Pandangan BJ Habibie: selain pembicaraan tentang politik, perlu ada pembicaraan juga tentang pembangunan.
  • Pada Konferensi ketiga PPI Eropa tahun 1959 di Paris, pembicaraan tentang pembangunan terhambat karena dicetuskannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dekrit ini membawa Pancasila ke dalam konteks “kiri” dan menekankan perlunya pemimpin revolusi dalam revolusi. Ini mencerminkan perubahan dalam pandangan politik nasional.
  • Pada Kongres PPI Jerman Barat bulan Desember tahun 1959, Midian Sirait terpilih menjadi Ketua PPI Jerman Barat dengan Sekretaris Jendral lr. Pamuntjak.
  • Pada Konferensi keempat PPI Eropa tahun 1961 di Praha, PPI Jerman Barat, dengan Midian Sirait sebagai Ketua waktu itu, menyampaikan pandangan mereka tentang Manipol Usdek sebagai tanda awal ambisi PKI untuk merebut kekuasaan. Pandangan itu mereka sampaikan juga memberikan peringatan serupa kepada Jenderal AH Nasution. Pandangan PPI Jerman terhadap Manipol Usdek dibawa oleh Achmadi kepada Soekarno, yang baru tiba di Beograd. PPI Jerman Barat berhasil mengatasi masalah ini dengan mengumumkan berdirinya Badan Perjuangan Pengembalian Irian Barat (Baperpib) PPI Jerman Barat. Melalui Baperpib mahasiswa Indonesia di Jerman Barat menyatakan bahwa mereka masih memiliki semangat patriotisme terhadap Indonesia.

Pada Kongres PPI Jerman yang kelima, tanggal 7 Maret tahun 1962, di bawah kepemimpinan Midian Sirait, PPI Jerman (pada saat itu bernama PPI Jerman Barat) membuat Vereinssatzung der Vereinigung Indonesischer Studenten (V.I.S) e.V. (bahasa Jerman dari PPI Jerman) yang disahkan oleh Amtsgericht. Dengan adanya Vereinssatzung ini, PPI Jerman resmi menjadi organisasi mahasiswa yang terdaftar di pemerintah Jerman. Melalui Vereinssatzung der Vereinigung, Midian Sirait secara sah diakui oleh pemerintah Jerman sebagai Ketua Umum PPI Jerman pertama.

Orde Baru dan perlawanan terhadap rezim (1965-1998)

Pada masa Orde Baru (1965-1998), Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap rezim otoriter yang dipimpin oleh Presiden Suharto. Periode ini penuh dengan peristiwa penting yang membentuk peran dan aktivitas PPI, serta dinamika hubungannya dengan pemerintah Indonesia. Pada tahun 1967, PPI berada di bawah pengaruh pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Jenderal Suharto. Pemerintah Indonesia meluncurkan serangkaian tindakan, yang mencakup “Screening” mahasiswa Indonesia di luar negeri. Dokumen-dokumen yang diterbitkan oleh World University Service (WUS) mengungkapkan adanya upaya pemerintah Indonesia untuk mengkooptasi PPI sebagai alat untuk menghilangkan unsur-unsur komunis dan oposisi dalam kalangan mahasiswa Indonesia di luar negeri.

Salah satu langkah signifikan yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah Keputusan Menteri pada 12 Agustus 1966, yang mengakui PPI sebagai satu-satunya asosiasi pelajar Indonesia di Eropa. Ini memberikan eksklusivitas kepada PPI tetapi juga membuatnya lebih kurang bergantung pada pemerintah. Dokumen kedua mengharuskan mahasiswa Indonesia bersumpah setia kepada Indonesia dan mendukung PPI secara moral, fisik, dan materi, dengan penekanan pada orientasi anti-komunis. Selain itu, mahasiswa juga dikenakan “Screening” yang mengharuskan mereka memberikan informasi tentang pandangan politik mereka, pengaruh PKI, dan identifikasi individu yang terkait dengan Gerakan 30 September. 

Meskipun awalnya memiliki hubungan yang erat dengan pemerintah, PPI Jerman (yang kala itu disebut PPI Pusat atau PPI Jerman Barat) mulai menjadi lebih kritis terhadap pemerintah Indonesia pada tahun 1970-an. Beberapa cabang PPI, terutama PPI Cabang Berlin Barat, mulai menentang rezim Suharto dan kebijakan-kebijakan otoriternya. Mereka juga menolak untuk berpartisipasi dalam program indoktrinasi politik nasional seperti P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Dalam periode ini beberapa anggota PPI seperti George Pantow, menolak untuk berpartisipasi dalam proses “Screening” dan aktif mengkritik langkah-langkah represif pemerintah Indonesia. Pada masa ini mahasiswa Indonesia di Jerman kerap kali mendapat dukungan dari mahasiswa Jerman dan media mahasiswa dalam mengecam campur tangan ilegal pemerintah Indonesia. Kritik tersebut mencerminkan komitmen mereka dalam membela hak-hak mahasiswa dan mengecam campur tangan pemerintah asing.

Pada SPA tahun 1972, PPI Jerman mendeklarasikan dirinya sebagai organisasi yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah Indonesia, yang pada saat itu memberlakuan “Screening” kepada mahasiswa Indonesia atas kesetiaan kepada rezim Orde Baru. Di Mainz lahir butir-butir PPI Jerman sebagai organisasi “politik non-partais” dan organisasi “Ilmiah” yang mengedepankan diskusi publik. Pada saat itu deklarasi ini tentunya membuat rezim Orde Baru bertindak lebih opresif dan represif kepada anggota PPI Jerman. Sejak saat itu aktivisme PPI Jerman terhadap demokrasi dan PPI Cabang sebagai badan semi otonom dimulai. Pada tahun 1975 di SPA yang diadakan di Sprötze, daerah kecil dekat Hamburg, terpilih Batara Richard Hutagalung sebagai Ketua Umum PPI Jerman. Namun tidak sampai setahun, beliau mengundurkan diri karena ada konflik besar dengan Duta Besar RI saat itu, Letjen Ahmad Tirtosudiro. Pada tahun yang sama, diadakan SPA luar biasa di Braunschweig, terpilih kembali Ketua Umum sebelumnya Mohamad Riza Tadjoedin hingga tahun 1977.

PPI Cabang Berlin Barat, sebagai salah satu cabang PPI Jerman memainkan peran penting dalam menentang rezim Orde Baru pada tahun 1980-an. Mahasiswa Indonesia di Berlin Barat yang kala itu mencapai sekitar 600 hingga 700 orang, berperan sebagai salah satu pusat perlawanan terhadap pemerintahan otoriter Orde Baru. Mereka aktif dalam melawan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap represif dan meresahkan, seperti kursus P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), yang bertujuan untuk memperkuat ideologi Orde Baru. Aktivisme politik beberapa anggota inti PPI Cabang Berlin Barat bahkan menyebabkan paspor mereka tidak diperpanjang, bahkan diberikan Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) dengan masa berlaku 6 bulan, dan berlaku untuk pulang ke Indonesia oleh pihak perwakilan Indonesia di Berlin Barat pada tahun 1980-an. Sebagai contoh, bagaimana seorang Pipit Rochijat, pribadi yang sangat kritis terhadap pemerintah rezim Suharto, paspornya hanya diperpanjang 6 Bulan pada awal tahun 1983. Hal ini bukanlah hal yang lazim, karena pada umumnya paspor diberikan perpanjangan masa berlaku 2 tahun. Hal ini pun didukung dengan surat pernyataan dari konsulat yang menyatakan bahwa pihak konsulat hanya memperpanjang paspor Pipit Rochijat 6 bulan karena aktivitas politiknya sebagai anggota PPI Cabang Berlin Barat yang sering kali mengkritik pemerintah rezim Orde Baru. Tidak hanya Pipit, beberapa mahasiswa Indonesia pun terkena pemendekan masa berlaku paspor pada tahun 1987 karena aktivitas politik mereka. Instruksi konkret Suharto kemudian adalah WNI diwajibkan membuat surat pernyataan tertulis bahwa mereka akan mematuhi instruksi dari perwakilan Republik Indonesia di luar negeri

Pada tahun 1995 demonstrasi besar-besaran terjadi saat kunjungan Presiden Suharto ke Jerman, salah satunya terjadi di kota Dresden. Demonstran berbagai negara termasuk Jerman, Belanda, dan Portugal menyampaikan protes terhadap otoritarianisme dan pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah Indonesia, terutama aneksasi Timor Timur pada tahun 1975. Demonstrasi ini mencerminkan ketidaksetujuan luas terhadap rezim Suharto. Bahkan resepsi publik Suharto di Jerman diganggu oleh para demonstran. Pengunduran diri paksa Presiden Suharto pada tahun 1998 membawa perubahan signifikan di Indonesia. Mahasiswa dan oposisi di luar negeri, termasuk anggota PPI, menyambut baik perubahan ini dan melihatnya sebagai langkah menuju demokratisasi Indonesia. Rehabilitasi para mantan korban persekusi dan kembalinya para eksil ke Indonesia menjadi salah satu dampak positif dari perubahan politik ini.

Aktivisme pada saat Reformasi hingga mati suri (1998-2006)

Setelah reformasi, PPI Jerman sempat kehilangan roh-nya, karena PPI Jerman dianggap oleh sebagian anggotanya tidak relevan lagi dikarenakan PPI Jerman didirikan untuk melawan lahirnya otoritarianisme Orde Baru. Dalam beberapa tahun terakhir setelah reformasi, PPI Jerman berada dalam fase yang dapat diibaratkan sebagai suatu tubuh tanpa semangat. Meskipun PPI Jerman tidak berada dalam kondisi yang baik dalam beberapa tahun terakhir, beberapa PPI Cabang tetap aktif dan bertahan. Keberadaan beberapa PPI Cabang ini mirip dengan anak ayam tanpa induknya; meskipun mereka masih dapat menjalankan fungsi mereka masing-masing, tetapi terasa kurang lengkap karena tidak adanya persatuan di antara PPI-PPI Cabang tersebut. Pada SPA Tahun 2000 di Köln, Deddy F. Priadi dari Hannover terpilih sebagai ketua umum PPI Jerman yang baru. Akan tetapi setelah itu PPI Jerman harus vakum karena sulitnya untuk beregenerasi di dalam pengurus pusat. SPA yang berfungsi sebagai sidang tertinggi pemilihan ketua selalu tidak memenuhi kuorum karena kurangnya delegasi PPI Cabang yang hadir.

Wacana untuk menghidupkan “semangat” PPI Jerman ini sudah terdengar sejak pertemuan Forum Reformasi Indonesia di Berlin pada tanggal 26 November 2005. Namun sayangnya pertemuan tersebut belum berhasil merevitalisasi PPI Jerman. Para pelajar Indonesia di Jerman ternyata tidak begitu saja menyerah. Perjuangan untuk menghidupkan kembali PPI Jerman mulai dihidupkan kembali, terutama ketika mereka bersiap-siap untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan di Berlin pada tanggal 4 dan 5 November 2006 di KBRI Berlin. Beberapa pelajar Indonesia dari berbagai kota di Jerman tidak menyia-nyiakan kesempatan yang langka tersebut. Di tengah kesibukan mengikuti seminar, mereka menyempatkan diri untuk duduk bersama dan membahas rencana revitalisasi PPI Jerman, yang sebenarnya sudah mulai digagas satu tahun sebelumnya. Pembicaraan ini juga melibatkan perwakilan dari KBRI Berlin, dan mereka sepakat bahwa “Kami ingin menghidupkan kembali PPI Jerman.” Ide ini mendapat dukungan penuh dari pihak KBRI Berlin. Selain komitmen tersebut, para pelajar juga sepakat untuk menyelenggarakan pertemuan lanjutan khusus guna membahas ide yang sudah tertunda selama beberapa waktu.

Pertemuan lanjutan setelah pertemuan tidak resmi di Berlin dipersiapkan di Göttingen pada tanggal 11 November 2006. Pertemuan ini dihadiri oleh tidak kurang dari 10 perwakilan dari PPI Cabang di Jerman dan menghasilkan sebuah pernyataan yang dikenal sebagai Manifesto Göttingen.

Lahirnya kembali PPI Jerman dan Manifesto Göttingen (2006-2016)

Manifesto Göttingen membawa beberapa perwakilan pelajar Indonesia di Jerman untuk sekali lagi bertemu dalam SPA-Luar Biasa di Berlin pada tanggal 9 dan 10 Desember 2006. Dalam SPA-Luar Biasa tersebut, dibentuk dua komisi. Komisi pertama bertugas untuk mengamandemen AD/ART PPI Jerman yang dianggap tidak lagi aspiratif dan cenderung mengurangi kreativitas dari PPI Cabang. Komisi kedua bertugas untuk menyusun rancangan Program Kerja PPI Jerman periode 2006-2007.

Setelah menyelesaikan tugasnya, kedua Komisi tersebut melangsungkan rapat pleno yang salah satu agendanya adalah pemilihan ketua dan wakil ketua PPI Jerman. Setelah proses pemungutan suara, pasangan Achmad Aditya dari PPI Kiel dan Rizki Nugraha dari PPI Bonn terpilih sebagai Ketua dan Wakil Ketua PPI Jerman. Selain itu, juga dibentuk sebuah badan yang dikenal sebagai Badan Pengawas Kegiatan dan Keuangan (BPKK) yang bertugas mengawasi pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan keuangan oleh eksekutif PPI Jerman.

Sejak saat itu, PPI Jerman secara de facto dan de jure dapat dikatakan sudah lengkap memiliki struktur yang kokoh dan semangat yang tulus. Diharapkan dengan kembalinya PPI Jerman, para pelajar Indonesia di Jerman dapat kembali lebih mengasah diri dengan hal-hal yang dapat meningkatkan nilai tambah dari gelar sarjana mereka.

Dalam perkembangan sejak reaktivasinya, PPI Jerman mampu mengambil peranan penting dalam kancah PPI Dunia, seperti keterlibatan di dalam Simposium Internasional PPI Dunia pada bulan Juli 2009. Pada bulan Desember tahun 2009, kepengurusan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional terbentuk, dimana Ketua PPI Jerman periode 2006-2007 Achmad Adhitya menjadi Sekretaris Jenderal dan Ketua Badan Pengawas Programa dan Keuangan 2006-2007 Sdr. Teuku Reiza Yuanda menjadi Kepala Balitbang. 

Wajah Baru PPI Jerman (2016-sekarang)

Dalam menyambut tantangan globalisasi serta perkembangan zaman, PPI Jerman mempunyai semangat untuk berperan sebagai wadah perkembangan pelajar Indonesia di Jerman. PPI Jerman dari tahun 2016 terus menawarkan program-program yang terus diadakan secara berkelanjutan seperti acara ICONIC yang diadakan setiap 2 tahun sekali. Acara ICONIC adalah acara trademark organisasi PPI Jerman yang memberikan wadah bagi seluruh mahasiswa Indonesia di Dunia untuk mengumpulkan paper dan mempresentasikan riset dan hasil penelitiannya. ICONIC tahun 2016 sukses diadakan di Hamburg, dengan B.J. Habibie sebagai Keynote Speaker.

Pada tahun 2020, PPI Jerman harus beradaptasi dengan pandemi COVID-19 yang melanda dunia. Dengan diberlakukannya lockdown di seluruh Jerman selama kurang lebih 2 tahun, PPI Jerman melakukan seluruh kegiatannya melalui platform seperti Zoom. Pada masa ini, acara seminar dan pelatihan diadakan melalui Zoom, Bahkan SPA pun harus dilaksanakan secara daring 2 tahun berturut-turut, tahun 2020 dan 2021.

Pada SPA tahun 2021 yang diadakan secara daring, PPI Cabang memandatan kepada PPI Jerman untuk mengadakan pelatihan kepemimpinan. Di tahun ini terpilih Reza Syihabuddin Khasbullah sebagai ketua umum PPI Jerman periode 2021-2022. Dalam periode ini, PPI Jerman telah bertransformasi menjadi Organisasi yang lebih internasionalis, lebih ilmiah, dan lebih bersinergi dengan PPI Cabang. Dicerminkan dengan suksesnya acara seperti Latihan Dasar Kepemimpinan/Capacity Building PPI Jerman sesuai mandat SPA tahun 2021, Asean Student Summit dan Forum PPIJ bahkan ICONIC yang diadakan di kota Aachen, tepatnya di RWTH Aachen, kampus B.J. Habibie mengenyam pendidikannya selama di Jerman. Acara-acara seperti LDK/Capacity Building dan South East Asian Student Summit terus dilanjutkan dan dikembangkan oleh Dimas Fakhri Arsaputra, ketua umum PPI Jerman yang terpilih pada SPA tahun 2022 di Göttingen, SPA pertama yang diadakan setelah pandemi Covid-19. PPI Jerman, seperti organisasi lainnya, akan terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan situasi dan kebutuhan anggotanya. 


Pada SPA tahun 2023 yang diadakan di Braunschweig pada bulan September, terpilihlah Agnia Dewi Larasati sebagai Ketua Umum PPI Jerman periode 2023- 2024. Agnia menjadi wanita pertama yang terpilih sebagai Ketua Umum PPI Jerman sejak tahun 1956. Dalam acara SPA ini, hadir 24 PPI Cabang dari berbagai wilayah di Jerman. Mereka membahas isu mengenai Steuernummer-ID untuk PPI Jerman serta merancang program kerja dengan harapan agar PPI Jerman tetap menjaga netralitas dan independensinya dalam menghadapi Pemilihan Umum Republik Indonesia 2024. Hadir juga di SPA ini, Bapak Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Berlin Prof. Dr. Ardi Marwan. Beliau juga memberikan sambutan dan juga perpisahan karena masa dinasnya akan segera berakhir

Referensi dan Sumber

  1. Syafiq Hasyim. 2014. “Challenging a Home Country: A Preliminary Account of Indonesian Student Activism in Berlin, Germany”.
  2. Prof. Dr. rer. nat. Midian Sirait. 2008. “Kisah Pasang Surut Pancasila Dalam Perjalanan Sejarah”.
  3. Irina Grimm. 2019. “Zwischen Repression und Opposition: Indonesische Studierende in der Bundesrepublik (1965-1998)”.
  4. Dra. Irna H.N. Hadi Soewito. 1993.“Chairul Saleh Tokoh Kontroversial”.
  5. Wardiman Djojonegoro. 2016. “Sepanjang Jalan Kenangan, Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar Bangsa”.
  6. Gina S. Noer. 2015. “Rudy, Kisah Masa Muda Sang Visioner”.
  7. Wawancara dengan beberapa senior PPI Jerman.
  8. Dokumen, Arsip, dan hasil SPA PPI Jerman.