Skip to content

Pola Pengangkatan Duta Besar di Indonesia Masih Bias Gender

Ditulis oleh Wendy A. Prajuli (Mahasiswa S3 di Institut für Asien- und Afrikawissenschaften, Humboldt-Universität zu Berlin)

Tahun 2014 bisa dikatakan merupakan titik penting bagi isu gender di dalam kebijakan luar negeri karena sejak Swedia meluncurkan kebijakan luar negeri feminis di tahun tersebut, negara-negara lain ikut serta memasukan isu gender ke dalam agenda utama kebijakan luar negeri mereka, termasuk Indonesia. 

Di tahun 2019, Indonesia menyelenggarakan Dialogue on the Role of Women in Building and Sustaining Peace untuk meningkatkan kapasitas perempuan Afghanistan dalam mendorong proses perdamaian di negara mereka. Selain itu, Indonesia juga mempromosikan peran negosiator perempuan lewat pelatihan yang diikuti oleh diplomat perempuan dari negara-negara ASEAN, Timor-Leste, dan Papua Nugini. 

Di tahun berikutnya, Indonesia menyelenggarakan Afghanistan-Indonesia Women’s Solidarity Network di Kabul, Afghanistan sebagai tindak lanjut dari pertemuan di tahun sebelumnya. Di tahun yang sama, Indonesia juga mengusulkan resolusi PBB baru untuk menambah porsi perempuan di dalam pasukan perdamaian PBB.  Usulan ini diterima dan menghasilkan Resolusi PBB No. 2538.

Di internal kementerian Luar Negeri, perubahan ke arah lingkungan kerja yang lebih pro-gender juga berjalan. Sejak diterbitkannya Instruksi Presiden No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender di lembaga-lembaga negara, jumlah perempuan yang diterima sebagai diplomat oleh kementerian Luar Negeri meningkat signifikan. Sejak 2005 jumlah perempuan yang diterima konsisten selalu separuh dari total diplomat baru. Sebagai contoh, penerimaan terbaru diplomat Kementerian Luar Negeri (angkatan 42) berjumlah 62 orang dengan separuhnya adalah perempuan (32 orang). 

Selain itu, pada 2020, juga diterbitkan Permenlu No. 21/2020 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender Di Lingkungan Kementerian Luar Negeri yang diikuti oleh penerbitan Surat Edaran Menteri Luar Negeri tentang Pencegahan dan Penangangan Tindakan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI pada bulan November 2021. 

Hanya saja, di balik kemajuan di atas masih ada sejumlah kekurangan terkait kebijakan luar negeri berbasis gender yang dijalankan oleh Indonesia. Pertama, belum sejalannya antara promosi gender di luar negeri dan implementasi gender di dalam negeri. Di dalam negeri, implementasi gender berjalan terseok-seok (untuk tidak mengatakan berjalan mundur). Ini terlihat dari, misal, laporan dari Jurnal Perempuan yang menyatakan dalam 12 tahun terakhir kekerasan terhadap perempuan meningkat delapan kali lipat. Lalu, yang terbaru adalah penolakan publik dan elit politik atas Permendikbud Ristek No. 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi. 

Kedua, promosi gender Indonesia di luar negeri masih bersifat selektif. Ini terlihat dari kebijakan Indonesia atas kudeta militer di Myanmar. Dalam menyikapi kudeta militer di Myanmar, Indonesia tidak memasukan isu gender sebagai salah satu poin penting yang perlu disampaikan ke junta militer Myanmar. 

Namun, tulisan ini tidak akan fokus pada pembahasan masalah kekurangan di atas. Tulisan ini akan fokus melihat seperti apa pola pengangkatan duta besar Indonesia sejak 2015 hingga 2021 dengan menggunakan perspektif gender. Fokus akan diberikan pada melihat perbandingan jumlah duta besar laki-laki dan perempuan yang diangkat dalam kurun waktu tersebut. Kemudian, tulisan ini juga akan melihat di negara dengan kondisi seperti apa para duta besar perempuan ditempatkan. Ada 3 variabel yang dipakai, yaitu kekuatan (power) yang dimiliki negara setempat, tingkat kedamaian negara setempat, dan kesetaraan gender di negara setempat.  

Untuk melihat sebesar apa kekuatan yang dimiliki oleh negara setempat di dalam sistem internasional digunakan power index yang disusun oleh Wharton School of the University of Pennsylvania. Power index ini merupakan salah satu indeks yang digunakan oleh Wharton School dalam menyusun peringkat negara terbaik di dunia. Ada 5 indikator yang dipakai oleh Wharton School dalam menyusun peringkat negara berdasarkan kekuatan (power) yang mereka miliki, yaitu kepemimpinan, pengaruh ekonomi dan politik, kekuatan ekspor, aliansi internasional, dan kekuatan militer. Indikator-indikator ini cukup representatif untuk melihat sebesar apa kekuatan sebuah negara di dalam sistem internasional. 

Sementara, global peace index yang diterbitkan oleh Institute for Economics and Peace (IEP) digunakan untuk melihat di negara dengan tingkat kedamaian seperti apa para duta besar perempuan ditempatkan. Global peace index menggunakan 23 indikator dalam mengukur tingkat kedamaian sebuah negara. Beberapa di antara variabel-variabel tersebut adalah persepsi kriminalitas, instabilitas politik, tingkat pembunuhan, intensitas konflik internal, pengeluaran militer, hubungan dengan negara tetangga, dan kematian akibat konflik eksternal. 

Selanjutnya, dengan membandingkan negara penempatan dan global gender gap report yang disusun oleh World Economic Forum (WEF) dapat terlihat di negara dengan kualitas gender seperti apa para duta besar perempuan ditempatkan. Indeks ini menggunakan 14 indikator yang terbagi ke dalam empat kelompok, yaitu partisipasi dan peluang ekonomi, pencapaian Pendidikan, kesehatan dan kelangsungan hidup, dan pemberdayaan politik. 

Mekanisme Pengangkatan Duta Besar di Indonesia

Mekanisme pengangkatan duta besar di Indonesia didasari pada sejumlah aturan hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu pasal 13 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen keempat, pasal 29 Undang-Undang No. 37/1999, Pasal 13 Keputusan Presiden No. 108/2003, dan Pasal 203 dan 245 Peraturan DPR No. 1/2014. 

Mekanisme ini dimulai dengan presiden mengajukan surat pencalonan duta besar kepada parlemen (DPR) untuk mendapatkan pertimbangan. Setelahnya, DPR akan mengumumkannya di dalam Rapat Paripurna. Rapat Paripurna kemudian menugaskan Komisi 1 DPR untuk membahasnya. Di dalam pembahasan ini DPR akan memberikan saran, catatan ataupun keberatan. Setelah rapat dengar pendapat (RDP) ini selesai dilaksanakan, DPR akan melakukan diskusi internal yang hasilnya akan dijadikan pertimbangan presiden. Setelahnya, sebelum dikirimkan ke presiden, DPR akan menyelenggarakan Rapat Paripurna untuk mengesahkan daftar pertimbangan yang telah disusun. 

Selanjutnya, setelah menerima pertimbangan dari DPR, presiden, melalui kementerian luar negeri, mengajukan nama calon duta besar dimaksud ke negara penerima untuk mendapatkan persetujuan atau penerimaan. Setelah calon duta besar disetujui/diterima oleh negara penerima, presiden lalu mengangkat calon duta besar tersebut sebagai duta besar Indonesia di negara penerima. 

Pola Pengangkatan Duta Besar Indonesia, 2015-2021

Pola pengangkatan duta besar di Indonesia pada periode 2015-2021 masih belum pro-gender walaupun sudah ada penunjukan duta besar perempuan untuk beberapa perwakilan Indonesia di luar negeri. Dari total 175 orang duta besar yang diangkat sejak 2015, duta besar perempuan hanya berjumlah 20 orang (12,7%). Bahkan, jika dilihat pola pengangkatan duta besar per tahun sejak 2015 hingga 2021, pola yang muncul terlihat tidak banyak menunjukan kemajuan gender. Pada 2015, tidak ada satupun perempuan yang diangkat menjadi duta besar. Sementara, di tahun 2016, jumlah duta besar perempuan yang diangkat naik menjadi 22% dari total duta besar yang diangkat pada tahun tersebut. Namun, di tahun-tahun berikutnya hingga 2021, persentase jumlah perempuan yang diangkat menjadi duta besar mengalami penurunan (lihat diagram 1).

Diagram 1. Persentase Pengangkatan Duta Besar Berdasarkan Gender, 2015-2021

Kedua, duta besar perempuan tidak ditempatkan di negara-negara kekuatan utama seperti Amerika Serikat, Cina, Rusia, Jerman, dan Inggris yang berada di peringkat 5 besar indeks yang disusun oleh Wharton School. Ketiga, duta besar perempuan juga hanya ditempatkan di negara-negara yang damai. Dari tabel 1 terlihat duta besar perempuan umumnya ditempatkan di negara-negara dengan level kedamaian yang tinggi. 

Tabel 1. Pengangkatan Duta Besar Perempuan Indonesia, 2015-2021

Keempat, mayoritas duta besar perempuan ditempatkan di negara-negara dengan kualitas gender yang baik. Sebagai perbandingan, Afghanistan merupakan negara dengan tingkat kesetaraan gender terendah (44%). Sementara, Islandia merupakan negara dengan tingkat kesetaraan gender tertinggi (89%). 

Pola ini sejalan dengan pola global di mana penunjukan duta besar masih di banyak negara masih bias gender. Towns dan Niklasson menemukan, secara global, jumlah duta besar perempuan hanya 15% dari total duta besar di seluruh dunia. Duta besar perempuan juga dikirim ke negara-negara yang kurang strategis. Selain itu, duta besar perempuan juga ditempatkan di negara-negara dengan tingkat keamanan dan kesetaraan gender yang tinggi. 

Kondisi ini melahirkan fenomena plafon kaca (glass ceiling), yaitu sekumpulan hambatan, yang seringkali tidak disadari atau, bahkan, tidak diakui, yang dialami perempuan dan kaum minoritas untuk bisa meraih jabatan tertinggi di tempat kerja. Di dunia diplomasi, salah satu implikasinya adalah perempuan sulit mencapai posisi puncak sebagai duta besar. Dalam konteks Indonesia, implikasinya adalah perempuan terbatas hanya menduduki posisi duta besar di negara-negara yang memiliki nilai strategis rendah serta memiliki tingkat keamanan dan kesetaraan gender yang tinggi. 

Plafon kaca ini disebabkan oleh kuatnya asumsi bahwa laki-laki lebih mampu menjalankan tugas-tugas strategis dibandingkan perempuan karena maskulinitas dianggap sejalan dengan segala hal yang bersifat strategis atau prestisius. Persoalan maskunitas lainnya adalah anggapan bahwa perempuan merupakan pihak yang lemah sehingga tidak cocok menjadi pemimpin di wilayah konflik atau tidak aman. Alasan lainnya adalah pragmatisme. Untuk memudahkan interaksi dan komunikasi dengan negara setempat, duta besar perempuan tidak ditempatkan di negara-negara yang rendah kesadaran gendernya. Konsekuensinya, pragmatisme ini semakin menyuburkan plafon kaca yang sudah ada. 

Jika Indonesia konsisten untuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam kebijakan luar negeri, hambatan-hambatan bias gender harus terus dibenahi. Pembenahan ini tentunya butuh waktu yang panjang karena mengubah perspektif patriarki yang sudah melembaga selama bertahun-tahun tidak mudah. Konsistensi dan persistensi menjadi kunci mencapai perubahan yang dituju. 

Referensi

Elviera, F.M. & Prajuli, W.A. (2021). Bagaimana Kebijakan Luar Negeri Indonesia di Myanmar Tidak Pro-Gender. Magdalene.Co. https://magdalene.co/story/kebijakan-luar-negeri-pro-gender-kudeta-militer-myanmar-perempuan.  

Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional. (2000). https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt553a2c5333378/instruksi-presiden-nomor-9-tahun-2000/document

Kemlu RI. (2019). Regional Training on Women, Peace, and Security: Women’s Important Roles as Global Peace Agents. Kemlu RI. https://kemlu.go.id/portal/en/read/174/berita/regional-training-on-women-peace-and-security-womens-important-roles-as-global-peace-agents

Kemlu RI. (2020). Dewan Keamanan PBB Sahkan Resolusi Indonesia tentang Penjaga Perdamaian Dunia Perempuan. Kemlu RI. https://kemlu.go.id/portal/id/read/1632/berita/dewan-keamanan-pbb-sahkan-resolusi-indonesia-tentang-penjaga-perdamaian-dunia-perempuan

Kemlu RI. (2021). Kemlu Luncurkan Surat Edaran Pencegahan dan Penangangan Tindakan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI. Twitter. https://twitter.com/Menlu_RI/status/1465134706748440577?s=20

Marsudi, R. (2020). Women, Peace and Security and Indonesia’s Foreign Policy. The Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/academia/2020/07/07/women-peace-and-security-and-indonesias-foreign-policy.html.

Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengarusutamaan Gender Di Lingkungan Kementerian Luar Negeri. (2020). https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/163046/permenlu-no-21-tahun-2020

Prajuli, W.A., Yustikaningrum, R. V. & Amurwanti D. N. (2021) How Gender Socialization is Improving Women’s Representation in Indonesia’s Foreign Affairs: Breaking the Ceiling. Australian Journal of International Affairs, 75(5), 527-545. DOI: 10.1080/10357718.2021.1893653. 

Prajuli, W.A. (2021). Kebijakan Pro Kesetaraan Gender Indonesia: Maju di Luar Negeri, Mundur di Dalam Negeri. The Conversation. https://theconversation.com/kebijakan-pro-kesetaraan-gender-indonesia-maju-di-luar-negeri-mundur-di-dalam-negeri-150841

Pratiwi, A.M. (2020). Kekerasan terhadap Perempuan Meningkat Delapan Kali Lipat Selama 12 Tahun Terakhir. Jurnal Perempuan. https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/kekerasan-terhadap-perempuan-meningkat-delapan-kali-lipat-selama-12-tahun-terakhir

Pro Kontra Permendikbud PPKS di Tengah Pandemi. (2021). CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211125061658-32-725774/pro-kontra-permendikbud-ppks-di-tengah-pandemi

The Wharton School. (n.d). Global Power Ranking. USNews. https://www.usnews.com/news/best-countries/rankings/power

Towns, A. & Birgitta Niklasson. (2017). Gender, International Status, and Ambassador Appointments, Foreign Policy Analysis, 13(3), 521–540. https://doi.org/10.1093/fpa/orw039

World Economic Forum. (n.d). Global Gender Gap Report. World Economic Forum. https://www.weforum.org/. Vision of Humanity. (n.d). Global Peace Index. Vision of Humanity. https://www.visionofhumanity.org/.