Skip to content

COVID-19 dan cacar monyet: pelebaran jurang ketidakadilan dan stigma kesehatan global

Ditulis oleh Melani Ratih Mahanani | Mahasiswa PhD Epidemiologi, Universität Heidelberg

[pic from: https://www.medtecheurope.org/international/global-health-policy/]

Pandemi COVID-19 yang dimulai sejak awal tahun 2020 ini telah mengguncang tak hanya sistem kesehatan global, melainkan juga kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dunia. Stigma dan ketidakadilan terhadap COVID-19 menjadi hal yang diperangi bersama, selain penyebaran virus SARS-CoV-2 yang merupakan virus penyebab COVID-19 itu sendiri. 

Ketidakadilan distribusi vaksin COVID-19 di dunia, kesenjangan ekonomi yang semakin melebar yang ditandai dengan peningkatan indeks Gini, dan peningkatan jumlah penduduk miskin adalah sekian contoh dari banyak contoh nyata lainnya yang menandakan eksaserbasi ketidakadilan struktural yang tertanam dalam masyarakat di berbagai belahan dunia. 

Berbeda dengan manusia, virus maupun patogen lain penyebab penyakit tidak mendiskriminasi (membeda-bedakan). Mereka tidak memiliki kemampuan untuk membedakan ras, agama, kebangsaan, maupun orientasi seksual. Kemampuan menyerang host (inang) yang dimiliki patogen bergantung pada kerentanan individu, paparan, dan perilaku dari masing-masing individu. 

Ledakan kasus cacar monyet atau monkeypox yang disebabkan oleh Monkeypox Virus (MPV) di berbagai negara maju di benua Eropa dan Amerika pada tengah tahun 2022 ini kembali mencerminkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan kesehatan global. Setelah wabah cacar monyet muncul di Portugal, Spanyol, dan Inggris, respon global mengikuti dengan sangat cepat termasuk distribusi vaksin smallpox ke negara-negara tersebut

Cacar monyet bukanlah penyakit baru. Kasus pertama pada manusia ditemukan pada tahun 1970 di Republik Demokratik Kongo (dulunya dikenal sebagai Zaire). Sejak itu, endemi cacar monyet terjadi di beberapa bagian Afrika Tengah dan Barat selama bertahun-tahun, namun respon secara global yang masif belum pernah terjadi sebelumnya. 

Cacar monyet digambarkan dengan cara yang menstigmatisasi. Penularan penyakit ditekankan pada laki-laki yang memiliki orientasi seksual terhadap sesama jenis. Artikel penelitian terbaru melaporkan 98% kasus cacar monyet ditemukan pada komunitas laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) di 16 negara yang diteliti. Sedangkan, belum diketahui dengan jelas apakah virus cacar monyet ditularkan melalui aktivitas seksual. Hal ini menstigmatisasi komunitas LSL dan berisiko semakin menjauhkan mereka dari fasilitas pelayanan kesehatan dan dapat menghambat upaya identifikasi kasus penyakit. 

Selain itu, terdapat pula stigma pada dimensi rasial. Laporan awal mengenai wabah cacar monyet secara ekstensif menggunakan foto orang berkulit gelap dengan ruam di sekujur tubuh. Kesalahan dalam karakterisasi ini menstigmatisasi orang berkulit gelap yang biasanya diasosiasikan berasal dari Afrika sebagai satu-satunya penderita penyakit ini dan menyebabkan penyebaran informasi yang salah mengenai siapa yang berisiko tertular dalam wabah cacar monyet.

Dokter dan peneliti kesehatan dari Amerika Utara dan Eropa dapat belajar dari para sejawat dari Afrika yang memiliki pengetahuan dan pengalaman langsung dalam meneliti, mendiagnosis, dan mengobati penyakit cacar monyet. Peneliti Afrika telah menghasilkan banyak artikel penelitian yang relevan yang dapat membentuk pemahaman mengenai wabah saat ini. Namun, hambatan secara sistemik untuk penerbitan artikel penelitian yang relevan menunjukkan bahwa banyak suara di negara-negara di mana cacar monyet sedang atau pernah menjadi endemik tidak pernah didengarkan dalam diskusi. Kesenjangan dalam tingkat pengetahuan saat ini tentang cacar monyet mencerminkan sejarah panjang dalam prioritisasi suara peneliti dari Afrika dan penelitian penyakit lain dari “Global South“.

Kemunculan wabah cacar monyet dan pandemi COVID-19 di negara barat merupakan kesempatan untuk menata ulang beberapa paradigma global, seperti suara dan kehidupan siapa yang diprioritaskan? Serta untuk siapa sumber daya harus dimobilisasi?

Ancaman patogen, baik patogen baru maupun lama, merupakan ancaman nyata bagi seluruh individu di dunia. Meskipun demikian, agenda “Global Health Security“ masih berpusat pada kepentingan Amerika dan Eropa saja. Alokasi sumber daya kolektif, baik secara regional maupun global, akan memberikan keamanan yang lebih baik bagi semua. Hal ini tidak hanya berlaku untuk COVID-19 dan cacar monyet, tetapi juga untuk penyebaran penyakit lainnya. 

Komunitas kesehatan global yang adil, tidak menstigma dan berkomitmen pada tindakan kooperatif tidak akan mengabaikan penyebaran penyakit hingga penularannya terjadi di “Global North”.

Disunting oleh Zufikar Adlan Nadzir