Ditulis oleh Geraldus Kevin Martimbang | Mahasiswa Arsitektur TU München, Jerman.
Hal terbaik yang terjadi dalam sistem pendidikan di Jerman adalah pembelajaran mengenai sejarah. Sejarah bukanlah sesuatu yang terjadi di masa lampau saja, namun sesuatu yang masih mempengaruhi masa kini, menentukan pandangan dunia sebuah masyarakat, dan kebijakan strategis yang diambil pembuat kebijakan.
Apakah sebuah masyarakat dapat mengerti sejarahnya dengan sendirinya? Apakah perut ibu orang Indonesia juga melanjutkan pengetahuan kolektif mengenai sejarah suatu masyarakat secara genetis tanpa harus mengajari keturunannya? Tidak. Sejarah merupakan narasi. Sebagai narasi, sejarah harus dituturkan. Metode penuturan sejarah ini tentunya berbeda dari masa ke masa, bergantung pada perkembangan media, dari segi teknologi maupun bentuk budaya.
Pada masyarakat adat maupun masyarakat tradisional, sejarah dituturkan secara oral (mulut-ke-mulut). Sejarah dipahami sebagai narasi yang bermakna, dipahami pula sebagai narasi yang dimuati oleh nilai-nilai kolektif yang menubuh pada sang penutur. Sang penutur biasanya memiliki posisi sosial tertentu yang memungkinkan ujarannya dipercaya tanpa perlu pertanyaan lebih lanjut. Tak jarang sejarah dibaurkan, disisipkan ke dalam kerangka cerita mitologi, untuk meningkatkan tingkat kebisadipercayaannya dan autentisitas estetisnya. Struktur temporal yang dipakai dalam narasi sejarah tersebut juga tidak dikonstruksi secara kronologis dengan seluruh rincian tanggalnya, melainkan dibuat mengalir, seperti sebuah jaringan kejadian yang membentuk bentuk kehidupan yang hari ini kita alami. Sang penutur ini bisa kita lihat di sosok dalang, ulama di pesantren maupun madrasah, cendekiawan, dan lainnya.
Zaman pun berubah, setiap orang pada masa sekarang hampir pasti bisa membaca, dan literasi merupakan sebuah syarat kemajuan sebuah negara yang sudah disetujui secara konsensus. Manusia dijadikan harus melek huruf untuk keperluan keperluan rasional dan ekonomis. Dinamika rasionalisasi yang terjadi juga berlaku pada konstruksi narasi sejarah. Sejarah tidak lagi dituturkan, melainkan diajarkan, disosialisasikan, utamanya di sekolah. Semua manusia muda wajib belajar di sekolah. Sekolah merupakan tempat di mana anak-anak, manusia-manusia muda menghabiskan hampir separuh waktu hidupnya untuk duduk di kelas, dan membaca sambil mendengarkan seorang guru bercerita, termasuk guru sejarah. Secara sederhana, guru sejarah merupakan pengganti penutur sejarah di masyarakat Indonesia pra-modern tersebut, walau tak bisa dipungkiri, penutur sejarah oral tersebut masih ada sampai sekarang dan masih didengarkan oleh kalangan kecil masyarakat.
Permasalahan pada sistem pendidikan di Indonesia tersebut muncul akibat skala konteks nasionalnya. Penutur sejarah pra-modern tidak memiliki teritori; narasi sejarahnya berfungsi lokal dan amat kontekstual, sehingga karenanya multi-kontekstual. Tidak ada narasi sejarah yang tunggal, penutur sejarah di kota Banten akan bercerita tentang VOC maupun Majapahit secara berbeda daripada penutur sejarah di kota Tuban. Narasi sejarah bersirkulasi, dan sirkulasi tersebut bertemu di pinggiran, pada percakapan orang-orang awam yang mendengar, dan cerita dari Tuban sampai ke Banten, begitu pula sebaliknya. Di masa modern, guru sejarah berlaku mirip misionaris. Guru sejarah memiliki buku teks dan pedoman yang bertindak sebagai instrumen dalam kurikulum yang berlaku secara nasional. Sistem pendidikan negara modern di manapun, termasuk di Indonesia, tidak lepas dari metodologi nasionalisme; tanpa tata nasionalisme, tiada wajib pendidikan di sekolah. Nasionalisasi pendidikan berdampak pada nasionalisasi proses sosialisasi atau penuturan sejarah pula. Selain rasionalisasi narasi sejarah, seperti disebut di atas, terjadi pula homogenisasi narasi sejarah.
Sirkulasi narasi sejarah tidak lagi bersifat desentral dan multi-kontekstual namun sentral, dan cukup hegemonial. Hegemonial dalam arti: ada sebuah narasi sejarah yang sah dan valid, yang dioperasionalisasikan secara masif pada seluruh anak-anak Indonesia, dan disampaikan dengan metodologi rasional melalui penutur sejarah yang baru, yakni guru sejarah di satu sisi, dan ada juga banyak narasi-narasi sejarah lainnya, yang tidak mendapatkan legitimasi tersebut (karena otomatis tidak termasuk ke dalam kurikulum) dan diserap secara parsial dalam sirkulasi pengetahuan masyarakat. Faktor kontra-produktif dari narasi hegemonial ini ialah konflik legitimasi yang membuat generasi baru memercayai mentah-mentah narasi sejarah yang diajarkan oleh guru sejarah di sekolah, dan tidak membuka diri untuk narasi sejarah yang ada di pinggiran tersebut, baik secara motivasional maupun infrastruktur. Generasi muda pada umumnya akan menganggap narasi sejarah yang multi-kontekstual tersebut sebagai tidak relevan, karena tidak lagi sesuai dengan ideologi nasionalisme yang disosialisasikan di sekolah, maupun sebagai salah, karena tidak menyajikan konstruksi cerita atau bahkan fakta yang sama. Secara infrastruktur, sirkulasi narasi sejarah di luar kurikulum tersebut berubah secara simbolik dan dianggap sebagai narasi sejarah alternatif, dan juga tak lagi mendapatkan ruang dan waktu untuk proses sosialisasinya.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk mengkritik keberadaan pendidikan sejarah nasional sama sekali, sebab evolusi masyarakat Indonesia modern mensyaratkan juga adanya pendidikan nasional. Tetapi, tulisan ini mencoba untuk mengintegrasikan narasi-narasi sejarah secara multi-kontekstual yang sudah beralih nama menjadi narasi sejarah alternatif tersebut ke dalam kurikulum sejarah nasional. Sebab sejatinya, narasi sejarah alternatif tersebut tidak pernah mati. Ia tetap hidup, di dalam para penutur di kuil-kuil, di pesantren-pesantren, di desa-desa. Narasi tersebut tetap bersirkulasi dalam bentuk buku dan roman seperti karya Ayu Utami, Laksmi Pamuntjak, Felix K. Nesi, Pram, dan juga beredar di internet, pada video-video pengajian atau kuliah umum yang diunggah di YouTube. Tidak boleh pula dilupakan buku-buku karya para Indonesianis yang umumnya berada di luar negeri, seperti M.C. Ricklef, Peter Carey, Benda, John Roosa, dan lainnya yang mencoba memahami Indonesia dari sudut pandang orang ketiga (atau second-order observation) dengan juga melibatkan studi literatur dan artefak sejarah Nusantara yang ada di kalangan internasional. Perkembangan teknologi media selalu bermuka janus, dengan tendensi homogenisasi yang pasti diiringi dengan resistansinya, yang mana mencoba membawa sisa-sisa narasi pinggiran atau alternatif tersebut ke permukaan. Namun, mayoritas tidak pernah menjadi pemberontak bahkan semenjak tingkatan harfiah. Narasi sejarah hegemonial tetaplah bersirkulasi, dan sudah mengendap pada puluhan generasi manusia Indonesia sampai hari ini.
Sedari tadi penulis memang sengaja tidak memperjelas, narasi apakah itu yang sudah menjadi hegemonial, dan narasi-narasi apakah itu yang menjadi alternatif. Mengapa? Karena agaknya sudah jelas. Narasi sejarah nasional Indonesia yang hegemonial merupakan tulang punggung kelancaran reproduksi ideologi nasionalisme Pancasila Indonesia corak Jawa; di satu sisi dengan simplifikasi-simplifikasi mengenai dinamika maritim, geopolitik akan daerah-daerah di Nusantara, mengenai “Belanda/Kompeni” yang seakan-akan selama ratusan tahun merupakan sebuah negara yang satu, mengenai kejayaan masa lampau seperti “Majapahit/Sriwijaya”. Sedangkan, di sisi lain menafikan dengan sengaja bagian-bagian kelam sejarah Indonesia yang melibatkan perang saudara, pembantaian masif sesama orang Indonesia, feodalisme, dan lain sebagainya. Memang, hal tersebut sudah layaknya terjadi, sebab ideologi per-se selalu berarti tertutup. Ideologi berbeda dengan “program” yang bersifat terbuka, yang bisa berganti dan belajar untuk memperbaharui bentuk dan isinya sendiri.
Sebaliknya, Jerman melakukan hal yang berbeda dengan Indonesia. Semakin kelam sejarahnya, semakin panjang jam pelajaran sejarah yang didedikasikan untuk pembahasannya. Pembantaian sistematis jutaan orang Yahudi pada paruh awal abad keduapuluh lalu yang dikonsepsikan dan dioperasionalisasikan oleh partai NSDAP (Nazi) merupakan tema yang dibahas terus-menerus di sekolah di Jerman. Begitu pula dengan keberadaan museum-museum yang digarap dengan baik secara visual, estetis maupun naratif, juga semakin menunjangnya. Museum di Jerman merupakan sosialisator narasi sejarah yang juga cukup multi-konteks. Penutur sejarah yang diinstitusionalisasikan, itulah museum di Jerman.
Ada banyak langkah konkret yang harus diambil oleh pembuat kebijakan publik kita terkait dengan pendidikan sejarah di Indonesia. Pertama, kurikulum sejarah harus didesentralisasikan, harus diberikan pada daerah, pada Dinas Pendidikan daerah, maupun Dinas Pendidikan kabupaten atau kota. Narasi-narasi dari sejarah lokal harus tetap bersirkulasi, disamping narasi sejarah nasional. Penutur sejarah lain, selain guru sejarah–bagian dari konsep sekolah modern yang kita impor dari barat–, bisa kita ajak untuk bekerjasama dan berkolaborasi. Pendidikan sejarah juga harus dikembalikan kepada hakikatnya sebagai narasi yang bukan hanya membeberkan fakta, tanggal-tanggal, melainkan nilai-nilai luhur yang tidak tendensius dan ideologis, kearifan-kearifan lokal yang inspiratif, dan lain sebagainya. Untuk itu, diperlukan pendidikan untuk para guru sejarah dari segi performa, metode kreatif dan seni penuturan sejarah. Sejarah bukan diajarkan, melainkan dituturkan, dengan kreatif, dengan menarik, dengan karisma. Kelima, sejarah kelam harus dibuka, perlahan-lahan. Tidak ada gunanya menutupi luka kolektif yang membusuk, biarkan terang dan udara segar menyambutnya, dan mengeringkannya. Keenam, sejarah maritim, sejarah hutan, sejarah alam, sejarah jalur perdagangan Nusantara kuno, sejarah mengenai rempah-rempah, sejarah masyarakat adat, dan banyak sejarah-sejarah lainnya haruslah dimasukkan. Generasi muda Indonesia tidak bisa melulu menghafalkan nama-nama kerajaan secara kronologis untuk mendapat nilai sempurna dalam mata kuliah sejarah. Anak-anak Indonesia harus memahami segala fakta sejarah tersebut dalam konteks–lagi-lagi–narasi, bukan kronologi.
Disunting oleh Zulfikar Adlan Nadzir