Skip to content

Bentuk Bumi: Mulai Dari Datar Sampai Geoid – Seperti Kentang

Ditulis oleh Zulfikar Adlan Nadzir | Mahasiswa PhD Geodesi Universitas Bonn, Jerman.

Geodesi secara klasik (menurut Helmert) merupakan sebuah ilmu yang berhubungan dengan pengukuran dan pemetaan dari permukaan Bumi. Ilmu Geodesi dimulai dari masa sebelum masehi dan terus berkembang sampai pada abad ke-21 ini. Pertanyaan utama dari Geodesi adalah ‘bagaimana bentuk Bumi itu?’

Untuk menjawab pertanyaan mengenai bentuk Bumi, jawabannya sangat berkaitan dengan wujud dari Bumi itu sendiri sesuai pemahaman manusia. Dalam kata lain, bentuk Bumi berubah-ubah seiring dengan berkembangnya pemahaman manusia mengenai Bumi.

Pendefinisian Pertama: Bumi Datar (Flat Earth)

Pendefinisian pertama dari bentuk Bumi dimulai pada abad ke-6 sebelum masehi (era sebelum Socrates) oleh Thales, Leucippus dan Domocritus serta filsuf-filsuf Yunani lainnya. Pendapat ini berkembang dikarenakan pada saat itu, keterbatasan metode pengukuran dan eksplorasi menyebabkan manusia berpikiran bahwa Bumi hanya terdiri dari Eropa, Asia dan Libya (dilihat dari peta Anaximander pada Gambar 1), ditambah dengan masih masuknya kepercayaan agamais dalam pemikiran-pemikiran filsuf yang membatasi pemahaman pada era tersebut. Pemikiran ini tidak hanya berkembang di Yunani, tetapi juga di Asia Barat (Mesopotamia), Timur Tengah (Bani Israil dan Mesir), Skandinavia (suku Nordik dan Germanik) serta Asia Timur (Cina).

Gambar 1 – Peta Dunia milik Anaximander (Robinson, 1968)

Pendefinisian Kedua: Bumi Bulat (Spherical Earth)

Masih pada era filsafat Yunani, Phytagoras berteori bahwa Bumi berbentuk bola berdasarkan perhitungan yang sudah dilakukannya, Teori ini didukung oleh Aristoteles (Aristoteles) dan dibuktikan secara matematis oleh Erasthothenes pada medio 200 tahun sebelum masehi dengan menghitung keliling Bumi (dengan bentuk bola) secara akurat menggunakan tongkat dan teorema matematika serta asumsi yang diketahui pada masa itu, ditunjukkan pada Gambar 2. Pendefinisian bumi bulat ini juga didukung oleh peneliti-peneliti Islam pada tahun 900-1000 masehi seperti Al-Biruni dan Abdul Aziz al-Wafa’i.

Gambar 2 – Pengukuran Keliling Bumi oleh Erastothenes (Torge & Müller, 2012)

Pendefinisian Ketiga: Bumi Ellips (Ellipsoidal Earth)

Seiring dengan berkembangnya teknologi dalam bidang pengamatan bintang dan Bumi, tumbuh pula ide-ide dari filsuf dan pemikir pada zaman 1400-1700. Dimulai dari Copernicus (1500) yang memiliki hipotesis bahwa Bumi bergerak mengelilingi matahari (konsep heliosentris), Kepler (1600) yang menemukan Hukum Gerak Planet (Hukum Kepler I-III) dan Galileo (1600) yang menemukan Hukum Gerak Jatuh Bebas, berujung pada jatuhnya hubungan erat antara pandangan agamais dan pandangan sains dari bentuk Bumi, yang mana pada masa itu Gereja mempercayai konsep Geosentris (Bumi merupakan pusat tata surya). Didukung oleh pengamatan dari Cassini pada Jupiter dan Halley mengenai Hukum Gerak Jatuh Bebas, Newton menemukan dan mengembangkan model Bumi berdasarkan hukum gravitasi, yaitu bumi yang bertentuk Ellipsoid. Konsep Bumi berbentuk ellipsoid ini didukung dengan hitungan peneliti lain yang menemukan bahwa Bumi mengalami penggepengan (elongasi) pada kutubnya, seperti yang ditemukan Snellius, Picard dan Cassini. Hipotesis-hipotesis ini lalu disandingkan dengan hasil pengamatan langsung yang dilakukan oleh Maupertuis, Clairaut, Cassini de Thury, La Caille dan peneliti lainnya, yang mana ditemukan sintesis bahwa antara hipotesis secara geometrik dan bukti secara fisik dari pengamatan ditemukan persetujuan, Bumi itu berbentuk elips. Pengamatan-pengamatan langsung tersebut, khususnya pada kasus Clairaut, menggunakan pengukuran gayaberat (gravity), sebuah besaran yang menjadi penting pada pendefinisian selanjutnya.

Pendefinisian Keempat: Geoid

Setelah sintesis mengenai bumi berbentuk elips ditemukan, peneliti-peneliti langsung menemukan bahwa model tersebut tidak cukup baik untuk merepresentasikan Bumi dengan akurasi tinggi, seperti yang disampaikan Laplace (1802), Gauss (1828) dan Bessel (1837). Pada pengukuran gayaberat yang dilakukan, terdapat deviasi dari garis secara fisik ke pusat Bumi terhadap garis normal ellipsoid, sebuah besaran yang kita sebut sebagai ‘defleksi vertikal’. Penemuan deviasi ini membawa pendefinisian baru terhadap bentuk Bumi, yang mana menurut Gauss dan Bessel membedakan antara bentuk ‘fisik’ Bumi yaitu geoid dan ellipsoid sebagai bentuk matematis yang mendekati bentuk fisik Bumi tersebut. Geoid, yang dianggap mewakili bentuk fisik Bumi, merupakan sebuah bidang yang memiliki potensial yang sama di Bumi, yang berimpit dengan muka air laut Ketika tidak mengalami gaya/force apapun.

Gambar 3 – Geoid (Torge & Müller, 2012)

Pendefinisian Kelima: Geodesi 3-Dimensi

Model Geoid yang didefinisikan oleh Gauss dan Bessel merupakan pendefinisian untuk pengukuran vertikal, sedangkan pengukuran horizontal dilakukan menggunakan asumsi model Ellipsoid. Perbedaan ini membawa kemajuan baru terhadap pertanyaan ‘bagaimana bentuk Bumi’ kepada sebuah model yang tidak hanya mewakili Bumi secara vertikal tetapi juga mewakili secara horizontal. Konsep ini diawali oleh Bruns (1878) yang dipopulerkan oleh Molodenskii (1945) dan Hotine (1969). Pada pendefinisian kelima ini, sebuah model yang mewakili bidang 3 dimensi (horizontal+vertikal) ditemukan menggunakan pengukuran gayaberat di permukaan Bumi. Lahir dan berkembangnya Geodesi Satelit sejak tahun 1957 membawa kemajuan yang sangat pesat pada konsep Geodesi 3-Dimensi ini.

Gambar 4 – Kerangka Geodesi Global dalam sistem IGS (IGS in Lu, Qu, & Qiao, 2014)

Pendefinisian Keenam: Geodesi 4-Dimensi

Penemuan konsep Lempeng Tektonik oleh Küstner (1884) dan Pasang Surut Bumi oleh Rebeur-Paschwitz (1890) membawa konsep bahwa model Bumi yang didapat tidak boleh hanya mewakili satu waktu saja (statik), tetapi dinamik dan mengikuti perubahan waktu yang ada. Seiring dengan berkembangnya teknologi pendeteksi dan pengukur yang beriringan dengan bertambahnya pengetahuan mengenai fenomena-fenomena periodik atau sekuler yang sangat kecil kekuatannya (magnitude), model bumi yang dihasilkan tidak hanya mewakili satu waktu saja tetapi menjadi sebuah model Bumi yang dapat mewakili seluruh waktu secara dinamik (memperhatikan variabilitas waktu).

Keenam konsep diatas adalah yang benar pada masanya, karena terbatasnya pemahaman dan teknologi pengamatan yang dimiliki oleh manusia pada masa itu. Oleh karena itu, perlu dipilihnya salah satu dari pendefinisian yang ada sebagai jawaban secara ontologis dari ‘bagaimana bentuk bumi itu’, dan dalam konteks topik yang akan diangkat yaitu Geoid Laut Indonesia, pendefisian kelima atau pendefinisian menggunakan konsep Geodesi 3-Dimensi merupakan yang paling tepat, dikarenakan nantinya definisi permukaan Bumi dan bentuknya didapatkan secara 3-dimensi (X, Y dan Z atau E, N dan H). Bisa disimpulkan, bahwa secara ontologis, pendefinisian dari realita mengenai bentuk Bumi ini akan mengikuti perkembangan teknologi yang ada (menyebabkan kita dapat mengindera dan melakukan pengamatan secara empiris terhadap bentuk Bumi tersebut) dan menghasilkan sebuah definisi baru yang dianggap ‘benar’ dan menggantikan definisi yang lama (obsolete).

Gambar 5 – Persebaran Stasiun Permanen EUREF pada tahun 2019 (Bruyninx, Legrand, Fabian, & Pottiaux, 2019)


Daftar Pustaka

Abidin, H. Z. (2021, 01). Definisi Filsafat. Lecture Slides: Filsafat Ilmu. Bandung.

Abidin, H. Z. (2021, 01). Filsafat Ilmu dan Aspeknya. Lecture Slides: Filsafat Ilmu. Bandung.

Aristoteles. (n.d.). On The Heavens.

Bruyninx, C., Legrand, J., Fabian, A., & Pottiaux, E. (2019). GNSS Metadata and Data Validation in the EUREF Permanent Network. GPS Solutions, 106-127. doi:https://doi.org/10.1007/s10291-019-0880-9

Herispon. (2015). Working Paper: Filsafat Ilmu. Padang: Universitas Andalas.

Indonesian Geospatial Agency. (2020, October 10). Model Geoid Indonesia. Retrieved from Sistem Referensi Geospasial Indonesia (SRGI) 2013: https://srgi.big.go.id/

Kahar, J. (1982). Geoid Determination in Archipelago Area. Processing of General Meeting of AIG (pp. 466-471). Tokyo: Geodesy society of Japan.

Kahar, J., Kasenda, A., & Prijatna, K. (1996). The Indonesian Geoid Model 1996. Gravity Geoid and Marine geodesy International Symposium (pp. 613-620). Tokyo: Springer.

Lu, Z., Qu, Y., & Qiao, S. (2014). Geodesy: Introduction to Geodetic Datum and Geodetic Systems. Berlin: Springer-Verlag.

Pahlevi, A., Pangastuti, D., Sofia, N., Kasenda, A., & Prijatna, K. (2015). Determination of Gravimetric Geoid Model in Sulawesi- Indonesia. FIG Working Week 2015. Sofia.

Republik Indonesia. (2012). Undang Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Robinson, J. M. (1968). An Introduction to Early Greek Philosophy. Houghton and Mifflin.

Torge, W., & Müller, J. (2012). Geodesy, 4th Edition. Berlin: De Gruyter.