Skip to content

Vorlesung Kebangsaan #3:

Foto bersama peserta dan narasumber di halaman belakang gedung KJRI Hamburg

HAMBURG ­­– PPI Jerman, berkolaborasi dengan Ikatan Ahli dan Sarjana Indonesia-Jerman (IASI Jerman) e.V., berhasil menyelenggarakan program Vorlesung Kebangsaan #3: Habibie dalam Ingatan, Habibie dalam Tindakan pada hari Sabtu, 23 Agustus 2025. Acara berhasil diselenggarakan secara hibrida dengan bantuan KJRI Hamburg, yang telah menyediakan aula KJRI untuk dipergunakan sebagai tempat acara berlangsung.

Mewakili Konsul Jenderal yang berhalangan hadir, Cahya Sumaningsih menyambut inisiasi program Vorlesung Kebangsaan, mengingat B.J. Habibie pernah menempuh karier di Hamburg, sebelum pulang ke Tanah Air memenuhi panggilan Presiden Soeharto. Merepresentasikan PPI Jerman, Muhammad Nur Ar Royyan Mas menyampaikan latar belakang program Vorlesung Kebangsaan, dan cerita singkat mengenai inisiasi program sarasehan Habibie dalam Ingatan, Habibie dalam Tindakan, yang dimulai dengan korespondensinya dengan Tifani Habibie, cucu ke-5 Alm. B.J. Habibie, yang kini menempuh studi sarjana di Bonn. Toga Panjaitan, selaku Ketua Umum IASI e.V., menyambut dengan baik inisiasi Vorlesung Kebangsaan dan kolaborasi dengan PPI Jerman, sembari menceritakan bahwa IASI merupakan asosiasi ahli dan sarjana yang diprakarsai salah satunya oleh B.J. Habibie semasa hidupnya di Hamburg.

Mengundang empat panelis pada sesi pertama, Budhiarta Soeradhiningrat membuka sesi dengan menceritakan kisah hidupnya kala mengenal Habibie semasa menjadi mahasiswa di Aachen. Baginya, Habibie merupakan sosok idealis dan jenius. Habibie tercatat turut terlibat dalam pembentukan PPI Aachen di tahun 1956, dengan menjadi Sekretaris di tahun pertamanya, sebelum kemudian menjadi Ketua Umum PPI Aachen. Pak Budhiarta mengingat bagaimana Pak Habibie menginisiasi Seminar Pembangunan saat ia aktif di PPI Aachen.

Lebih jauh, Budiarta menambahkan bahwa Habibie sejak muda sudah memikirkan
pembangunan Indonesia. Ia pernah berkata bahwa dirinya “malu, kok saya belajar tapi dibayar”, menandakan betapa besar tanggung jawab yang ia rasakan kepada bangsa. Habibie juga dikenal sangat terstruktur: ia hafal letak setiap buku, cepat menjelaskan masalah teknis, dan penuh solusi. Dari penelitiannya lahir apa yang kemudian disebut Faktor Habibie.

Habibie sempat aktif di IASB (Der Arbeitskreis Industrieausschuss Struktur Berechnung) dengan fokus pada Rissfortschritt für Einzelbelastung. Ia pernah ditawari kursi Lehrstuhl (profesor tetap) di Jerman namun menolak demi berbakti untuk Indonesia. Bahkan, ia pernah diundang ke Amerika untuk memaparkan metode Finite Element Method yang kala itu masih baru, dan menjelaskannya diperusahaan tempat ia bekerja Hamburger Flugzeugbau dengan sangat baik dan mudah dipahami. Kelak, Habibie turut membangun berbagai laboratorium penting di Indonesia, seperti aeronautika, struktur, metalurgi, dan hidrodinamika.

Budiarta Soeradhiningrat, rekan Alm. B.J. Habibie semasa hidup.

Ilham A. Habibie, putera sulung B.J. Habibie, hadir sebagai salah satu panelis dan bergabung secara virtual dari Jakarta. Beliau menceritakan runut kehidupannya, mulai dari lahir di Jerman, menempuh Grundschule hingga menempuh pendidikan tinggi dengan meraih gelar Dr.-Ing. dari TU München. Pak Ilham menyatakan dirinya tidak hanya merupakan anak biologis, namun juga anak ideologis Habibie.

Ilham mengenang ayahnya sebagai sosok idealis sekaligus pragmatis. Habibie selalu
menekankan, “tidak ada industri tanpa penguasaan teknologi”. Sejak kecil ia kerap diajak melihat air show dan ke kantor ayahnya, sehingga budaya teknologi mengakar kuat. Habibie juga sering mengajarkan perbedaan mendasar antara ilmuwan dan insinyur: ilmuwan mencari kebenaran, insinyur mencari solusi.

Sebagai Presiden, Habibie bahkan memaksa birokrasi untuk beradaptasi dengan teknologi, misalnya dengan mewajibkan penggunaan e-mail agar komunikasi lebih cepat terlaksanakan. Nilai yang selalu diajarkannya adalah berilmu, bertakwa, dan berani.

Ilham juga mengingat momen pada tahun 1970-an kala Indonesia masih dipandang sebelah mata oleh dunia luar. Kendati begitu, Habibie tak habis pikir. Ia datang bertemu langsung dengan Raja Spanyol untuk memindahkan produksi CASA ke Indonesia, yang kemudian melahirkan pesawat kecil karya bangsa. Strategi reverse engineering dalam skala industri menjadi ciri khas pendekatannya.

Meski banyak capaian, Ilham menegaskan bahwa tujuan Habibie untuk menjadikan Indonesia negara maju masih jauh. Untuk itu diperlukan SDM unggul dan kelas menengah yang gemuk, dengan nilai teamwork, kolaborasi, dan kejujuran. Bagi Ilham dan banyak rekan-rekan Habibie, Habibie merupakan sosok yang biasa berbicara berjam-jam tanpa membuat pendengarnya bosan.

Melanjutkan sesi panel, Miranti Hirschmann, jurnalis Indonesia yang tinggal di Jerman, menceritakan pengalamannya mewawancarai Habibie. Habibie selalu menyesuaikan gaya bicara dengan lawan bicaranya— ia bertanya lebih dulu apakah Miranti berlatar belakang teknik, agar penjelasan bisa dimengerti. Kendati celah pengetahuan di antara mereka besar, Habibie selalu mampu meninggalkan kesan, dengan spontanitas, istilah baru, dan kedalaman ilmu yang menuntut orang untuk terus belajar.

Sebagai jurnalis, Miranti menyoroti warisan monumental kepresidenan Habibie: sebelum beliau menjabat, pers Indonesia dikontrol dengan ketat; tetapi saat Habibie memimpin, pers memiliki kebebasan. Tantangan pers pasca Habibie justru bergeser ke hoaks, berita sensasional, dan persaingan tak sehat. Pesan Habibie yang dikenang oleh Miranti adalah “percaya itu baik, tapi check and recheck itu lebih bagus.

Tifani Habibie, cucu ke-5 B.J. Habibie, menceritakan bagaimana Habibie membesarkan cucu-cucunya. Dalam ingatannya, sosok Eyang merupakan sosok yang sangat mengayomi cucu-cucunya. Beliau senantiasa memberikan pengajaran dalam kutipan-kutipan. Di antara yang Tifani selalu ingat adalah kutipannya “Jadilah mata air yang jernih yang dapat memberikan kehidupan pada sekitarnya.”

Menurut Tifani, tantangan generasi kini adalah derasnya arus tren dan informasi dangkal. Habibie berpesan bahwa seorang pemimpin perubahan harus punya kedalaman ilmu dan keteguhan niat. Rasa ingin tahu, disiplin, dan integritas adalah modal membangun wawasan sejati. “Masa depan bukan untuk ditunggu, tetapi untuk diciptakan,” begitu kata beliau. Bahkan dalam konflik pribadi, Habibie memilih bersikap santai karena menganggapnya tidak berguna.

Tifani Habibie, cucu ke-5 Alm. B.J. Habibie

Disela oleh istirahat makan siang, acara kembali bergulir pukul 13:30 waktu Jerman. Hadir dalam jaringan, Imam Birowo membawakan tema kemandirian teknologi, belajar dari pengalaman merancang bangun pesawat N250. Ia menekankan warisan B.J. Habibie bagi anak-anak muda, seperti penguasaan ilmu pengetahuan dan pengalaman, dalam menciptakan nilai tambah ekonomi, contohnya dalam pembangunan industri dirgantara Tanah Air. Dari pelajaran masa lalu, ia menggali potensi Indonesia ke depannya, yang tidak terbatas pada industri kedirgantaraan saja.

Agus Pramono, yang sempat menempuh pendidikan di Belanda dan seorang alumnus PT. IPTN, menceritakan pengalaman hidupnya “dididik” langsung oleh Habibie. Ia mengingat bagaimana wawancaranya empat-mata dengan Habibie, sebelum mengempu beasiswa untuk studi di Belanda. Selaras dengan testimoni yang disampaikan Imam Birowo, bagi Agus ada beberapa aspek kunci warisan Habibie: bahwasannya penguasaan teknologi merupakan kunci kemandirian bangsa; pembangunan ekonomi berbasis teknologi; serta pentingnya memiliki passion dan memikirkan tongkat estafet (keberlanjutan). Bagi beliau, kunci sukses suatu bangsa adalah menghasilkan individu-individu world class, i.e. dapat bersaing di kancah global. Selain itu Agus juga menekankan pentingnya untuk anak muda senantiasa berinovasi.

Menutup sesi panelis, Giovanni Maurice Pradipta, pakar lingkungan di Germanwatch e.V. memulai dengan mengingat mimpinya kala kecil untuk menjadi pilot. Kendati keterbatasannya, nilai warisan Habibie masih membekas baginya. Ia mengangkat tema keberlanjutan (sustainability), yang sangat krusial untuk diperbincangkan hari ini. Ia mengingatkan, bahwa krisis iklim merupakan krisis multidimensi, yang dampaknya dapat menyeluruh ke berbagai sektor.

Agus Pramono saat presentasi

Seusai sesi kedua, panitia mengorganisir lingkaran diskusi. Masing-masing lingkaran memiliki pertanyaan pemantik diskusi yang berbeda-beda. Pasca 15 menit berdiskusi, masing-masing kelompok maju untuk mempresentasikan poin-poin diskusinya. Kelompok pertama menekankan minimnya peluang berkarya bagi anak muda di Indonesia. Dalam menjawab pertanyaan bidang apa yang bisa menjadi konsentrasi Indonesia ke depan, kelompok pertama mencapai konsens bagi Indonesia agar dapat meningkatkan fokusnya di bidang energi. Kelompok lainnya, mengangkat pentingnya bagi pemuda Indonesia agar memiliki kepercayaan diri dalam mencapai kualitas tingkat dunia.

Mengakhiri hari yang panjang, Tifani Habibie membagikan beberapa eksemplar buku 517 Tage Indonesien: Geburt einer Demokratie, yang merupakan terjemahan dari karya orisinal berbahasa Indonesia Detik-Detik yang Menentukan karya mendiang B.J. Habibie.

Besar harapan kami, acara serupa dapat terus diadakan. B.J. Habibie merupakan sumber mata air bagi masyarakat Indonesia. Kisah hidupnya telah menginspirasi jutaan masyarakat Indonesia, tak terkecuali ratusan ribu diaspora Indonesia yang sebagian menempuh studi dan bermukim di Jerman. Kegigihan dan dedikasinya untuk bangsa dan negara tidak akan pernah luput oleh waktu. Semoga peserta acara dapat pulang dan menghidupkan semangat kebangsaan yang diwariskan oleh B.J. Habibie.

Dokumentasi acara dapat diunduh pada pranala berikut

Kontributor: Muhammad Nur Ar Royyan Mas, Muhammad Iqbal Aziz