Skip to content

Press Release Forum PPI Jerman No. 9

Terpilihnya Prabowo-Gibran sebagai dalam ajang Pemilihan Umum 2024 memantik sebuah diskusi berkepanjangan tentang bagaimana program “Makan Siang Gratis” akan dilaksanakan. Pelbagai pertanyaan mulai dari alokasi anggaran program, jumlah anggaran program yang fantastis, hingga kapasitas produksi pangan nasional yang belum memadai mulai bermunculan seiring diskusi mengenai program tersebut bergulir di sidang kabinet.

Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, puluhan mahasiswa Indonesia diaspora di Jerman yang tergabung pada PPI Jerman dan PPI Berlin-Brandenburg mengadakan diskusi kebijakan publik rutin bertajuk “Forum PPI Jerman” di Berlin, Sabtu, 13 April 2024. Bertempat di gedung utama Technical University of Berlin, Forum PPI Jerman yang ke-9 tersebut dihadiri secara online oleh tiga narasumber yang merupakan ahli ekonomi pertanian, ahli demografi, serta ahli kebijakan fiskal, dan mengusung tema besar “Menyingkap Program Makan Siang Gratis” ketiga aspek tersebut. 

“Ungkapan Milton Friedman, there is no such thing as a free lunch, menjadi pertanyaan dasar yang kami angkat, supaya menjadi jelas seberapa besar biaya dan upaya yang harus dikeluarkan pemerintahan selanjutnya untuk merealisasikan program ini”, ujar Hessel Juliust, Ketua Forum PPI Jerman. Program Makan Siang Gratis yang dicanangkan, direncanakan, dan saat ini sedang diuji coba kan di Sukabumi oleh Tim Ahli TKN Prabowo-Gibran merupakan program utama pembangunan manusia yang digadang-gadang akan menelan biaya 400 Triliun rupiah. Angka raksasa tersebut dituturkan oleh pelbagai politisi yang tergabung pada TKN dan menimbulkan kontroversi publik semenjak masa kampanye. 

“Kami ingin mencoba mengajak publik untuk membahas rencana kebijakan yang kontroversial ini secara objektif,” tambah Kepala Departemen Riset dan Kajian Strategis PPI Jerman, Geraldus Martimbang. Sebab, pada dasarnya kebijakan makan siang gratis, atau universal free meals, merupakan instrumen kebijakan yang telah diterapkan pelbagai negara. Yang membedakan, selain dari urusan teknis pengadaan, adalah target capaian kebijakan, penerima manfaat, skala program, dan besaran pembiayaannya. 

Di konteks Indonesia, panelis Dian Yuanita Wulandari, Peneliti dan Pemerhati Sosial Ekonomi Pertanian, menekankan latar belakang tingginya angka stunting di Indonesia yang dialami oleh hampir sepertiga, 31%, dari seluruh anak Indonesia. Sehingga, program Makan Siang Gratis dapat menjadi salah satu instrumen kebijakan yang dapat berkontribusi untuk menurunkannya. Namun, beliau juga menyoroti tingginya angka impor pangan di Indonesia, misalnya beras, sayur, dan buah-buahan, juga fakta bahwa 80% supply susu di Indonesia bergantung pada impor. Peningkatan konsumsi akibat program Makan Siang Gratis tentunya akan semakin meningkatkan impor, yang tidak sejalan dengan visi kemandirian pangan yang dicita-citakan Indonesia sejak lama. 

Dari sisi logistik, panelis I Dewa Gede Karma Wisana, Ph.D, selaku Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menekankan potensi kesulitan pengadaan pada daerah-daerah dengan tidak memadainya infrastruktur dan kondisi geografis yang menantang. “Di Sukabumi, yang sedang diujikan, biaya per porsi berkisar Rp 16.000,00, dan karena sekolahnya ada di atas bukit dan dapurnya ada agak jauh di bawah, akhirnya anak-anak yang harus ikut membawa makanannya”, tuturnya, menyoroti detil-detil teknis yang bila tidak dirancang masak-masak justru akan merugikan peserta didik. Penyediaan basis data yang kuat atas ketersediaan bahan pangan juga harus didorong dan dibarengi dengan pelibatan lembaga-lembaga riset pangan di daerah, yang dekat di lapangan dan mengerti mengenai kekhususan kondisi pangan tiap daerah.

Persoalan “skala program” dan bagaimana “memulai” program yang diwacanakan menjadi sangat masif ini juga menjadi sorotan bahasan akibat kapasitas pembiayaan di Indonesia yang terbatas. “Kita harus sadar, bahwa makan siang gratis ini tidak gratis,” ujar panelis Akhmad Akbar Susamto, Ph.D, Direktur Riset CORE Indonesia. Dengan hanya 28% belanja “diskresioner” dari APBN 2024, maka program Makan Siang Gratis hanya dapat dibiayai dengan mengurangi pembiayaan program-program pemerintah yang sudah ada atau dengan hutang luar negeri. Beliau menyoroti besarnya cicilan bunga hutang Indonesia yang sudah mencapai hampir 500 T per tahunnya dan menyarankan untuk tidak menambah beban hutang yang sudah tinggi rasionya terhadap penerimaan negara. “Semua bergantung pada skala pelaksanaan program”, tambahnya, dan menekankan bahwa penyediaan 400 T untuk skala penuh program sulit dicapai.

Forum PPI Jerman semenjak diinisiasi tahun 2021 bertujuan untuk menghadirkan panelis aktor-aktor pembuat kebijakan publik dan memantik pertukaran gagasan antar panelis dan mahasiswa diaspora. “Mahasiswa-mahasiswa di Jerman, meskipun jauh dari tanah air, kami harapkan untuk ikut aktif dalam membahas pelbagai isu serius, yang terkait dengan arah pembangunan di Indonesia,” tutur Sekretaris Jendral PPI Jerman yang akrab disapa Taqi. Agnia Dewi Larasati, Ketua Umum PPI Jerman perempuan pertama juga menambahkan, “Perhimpunan Pelajar Indonesia di luar negeri secara historis juga selalu berpartisipasi aktif dalam pembangunan di Indonesia, yang ditunjukkan sendiri oleh banyak founding fathers Indonesia persis seabad lalu di Belanda. Sehingga, kami ingin meneruskan tradisi itu.”

Ditulis oleh Geraldus Martimbang, Inisiator Forum PPI Jerman.

Dokumentasi acara: ppij.org/DokumentasiForumPPIJerman9

Rekaman acara: ppij.org/MenyingkapMakanSiangGratis