“Seorang remaja pelajar kelas 1 SMA di Yogyakarta harus berurusan dengan hukum gara-gara memaki dan menghina polisi di Facebook. Tersangka diketahui mengumpat jajaran kepolisian dengan kata-kata yang tidak pantas.”…
Sepotong kutipan berita di awal tulisan ini menegaskan relasi remaja, media sosial, dan berujung status tersangka dalam kasus penghinaan. Media sosial saat ini menjadi sarana untuk menyatakan eksistensi seseorang, kadang media sosial digunakan pula untuk ajang pamer dan tak sedikit pula media sosial digunakan untuk menyatakan kasta seseorang dengan melihat mulai dari unggahan gambar, cara berpakaian, dengan siapa seseorang pergi, kemana seseorang berlibur. Banyak orang lupa bahwa media sosial adalah sarana mengekspresikan diri. Setiap orang memiliki hak untuk menjadi dirinya sendiri tanpa paksaan orang lain. Di sini kita dapat melihat dunia maya atau media sosial perlu kedewasaan dalam memanfaatkannya.
Bebas bermedia
Tidak dapat dipungkiri bahwa tiap orang bebas menggunakan media sosial, bebas mengekspresikan diri, tetapi kebebasan mengekspresikan diri itu pula diikuti dengan konsekuensi yang besar. Ada cacian, ada makian, bebas mengekspresikan diri, bebas berpendapat, tetapi orang lain juga bebas mengekspresikan diri, bebas berpendapat. Tidak sedikit pula dari mereka yang tidak suka melihat perbedaan, tidak suka melihat seseorang yang bahagia. Hal ini terjadi karena masih ada orang yang tidak sadar bahwa media sosial digunakan untuk berekspresi, berbagi cerita berbagi rasa, bukan digunakan sebagai alat membuktikan suatu hal.
Media sosial, seperti kasus di awal tulisan ini, seolah-olah dijadikan suatu alat penilai hidup manusia, tidak sedikit orang yang menilai buruk seseorang karena konten-konten yang ada di media sosial mereka, tidak sedikit orang yang mencaci maki seseorang karena tidak sejalan dengan pemikiran mereka. Cacian dan makian ini membuat banyak orang menjadi takut untuk menjadi diri sendiri karena banyak cacian yang akan dilontarkan apabila seseorang tidak sesuai dengan standar hidup masyarakat sekitarnya. Orang melupakan bahwa tiap-tiap individu di dunia ini unik dan memiliki cara yang berbeda untuk menyatakan dirinya sendiri
Tiap orang memiliki hak untuk menyampaikan ketidaksetujuan mereka di media sosial, itu hal yang wajar. Namun, lambat laun pernyataan tidak setuju ini menjadi semakin “kasar” lebih ke arah tidak menyukai dan tidak mau menghormati sang pengunggah konten. Menurut Saurav Bhanot (scoopwhoop.com) penyampaian pendapat secara kasar ini terjadi karena saat ini ada media sosial yang notabene belum ada di zaman dulu. Kini orang merasa bebas mengekspresikan pendapatnya tanpa harus takut bahwa orang lain akan marah. Berekspresi di dunia maya lebih aman karena kita bisa saja memalsukan nama, foto dan data-data yang ada.
Melihat situasi ini, tentu kebebasan dalam konteks ini menjadi pedang bermata dua. Satu sisi setiap orang bisa menjadi pribadi yang lebih bebas untuk menyuarakan pendapat. Sisi lain dari kebebasan itu, ada juga dampak negatif di sini, merasa bebas menyatakan pendapat secara negatif, menjatuhkan pihak lain, menghancurkan kepercayaan diri yang dapat berujung mematikan otentisitas diri manusia itu sendiri.
Perlu kedewasaan
Dalam menyikapi ini, diperlukan kedewasaan untuk mengimbangi kebebasan. Kebebasan bukan berarti boleh menjadi seorang yang brutal dapat melakukan apapun yang diingini. Kebebasan berarti tahu cara bersikap di suatu komunitas atau wadah yang memberikan hak untuk berekspresi.
Memiliki media sosial di zaman sekarang merupakan contoh aktualisasi diri dan ekspos pada dunia. Banyak orang yang akan menyerang dengan entah hujatan, atau tekanan, jika tidak sesuai dengan standar hidup atau norma masyarakat yang ada. Hal ini menjadi suatu tantangan untuk benar-benar menjadi diri sendiri. Standar hidup masyarakat disini maksudnya bagaimana mayoritas orang berpikir, bagaimana orang menghabiskan waktu mereka dan bagaimana mayoritas orang hidup. Secara sederhana, standar hidup dapat diartikan sebagai gaya hidup orang kebanyakan.
Media sosial digunakan sebagai sarana untuk mengekspresikan diri, dilihat dari sisi ini, setiap pribadi perlu bertanya kembali kepada diri sendiri, apa guna media sosial yang membentuk pribadi seseorang dengan standar hidup orang lain? Di sini kita ditantang untuk menjadi pribadi yang otentik yang bebas, yang berarti kita bebas untuk menjadi diri sendiri, tanpa menghilangkan rasa hormat terhadap individu-individu lain.
Setiap pribadi harus menjadi seseorang yang memiliki prinsip yang diterapkan dalam hidup bersama, tidak perlu mengikuti gaya hidup yang saat ini sedang terkenal di masyarakat. Dalam idiom Jawa, harus menjadi orang yang “empan-papan”, berarti pandai-pandai menempatkan diri dalam berbagai situasi dan tahu menyikapi seluruh perbedaan tanpa menghilangkan sisi khas dan pribadi yang otentik.
Kedewasaan dalam kebebasan ini harus diperoleh dari didikan keluarga sendiri. Orang tua harus mengajari anak untuk bersikap dewasa dalam hidup bermasyarakat. Orang tua zaman sekarang terlalu berfokus pada membiayai anak, beberapa orang tua lupa untuk menyejahterakan anak. Menyejahterakan berarti mendukung dari sisi moral, tidak sekedar mendukung dari sisi ekonomi. Orang tua takut tidak bisa memberi anak kehidupan yang layak sedangkan anak sendiri juga perlu diberi edukasi untuk menghadapi dunia yang keras.
Orang tua perlu mendampingi anak dalam penggunaan media sosial yang begitu bebas. Mendampingi berarti memberitahu mana yang benar dan mana yang salah, orang tua tidak bisa sekedar melarang anak untuk tidak melakukan hal a atau b karena salah, tapi orang tua juga perlu memberi alasan dibalik larangannya, jadi pemikiran anak tidak terhenti pada sekedar “tidak”, tetapi pemikiran logis anak berkembang. Jadi anak lebih siap dalam menyikapi media sosial yang bebas.
Keluarga, terutama orang tua memiliki peran utama dalam mendewasakan anak dalam menggunakan media sosial karena anak menghabiskan sebagian besar waktu hidupnya bersama keluarga. Karakter dan kepribadian anak tentu akan terbentuk sesuai kebiasaan keluarga sang anak mengajarkannya. Kedewasaan dalam kebebasan dalam media sosial tentu akan tercapai apabila orang tua memberikan konten yang tepat sesuai dengan umur anaknya. Bila orang tua bisa memilah mana konten yang sesuai yang harus diberikan pada anak dan orang tua juga mampu memberikan pengertian mengapa konten a atau b tidak layak untuk anaknya yang sedang berusia muda belia atau menengah, tentu sang anak juga akan berusaha berpikir dan memahami alasan-alasan yang ada.
Maka dari itu, para orang tualah yang memegang kunci kedewasaan anak dalam menyikapi kebebasan. Orang tua harus menekankan bahwa bebas bukan berarti kita bisa melakukan segala hal semau sendiri, tetapi bebas berarti mengetahui batas-batas hal yang boleh dilakukan, dan tidak boleh dilakukan. Perlunya ditumbuhkan kesadaran akan batas-batas pergaulan, hak-hak orang lain, dan norma hidup bersama. ***