Skip to content

Gebrakan Anak Muda dalam Bidang Ekonomi dan Keadilan Sosial (Bagian 2)

2. Gebrakan Anak Muda dalam Bidang Ekonomi (Pembicara: Fadli Mustamin dan Miscbachul Munir / Moderator: Kartika Anggraeni dan Arnold Budhi Prasetyo)

Tinja yang Bermanfaat

Setelah diskusi politik, sesi kali ini diisi oleh dua pelajar muda Indonesia yang sedang merintis badan usaha independen di Jerman, yaitu Fadli dan Munir. Fadli merupakan seorang pelajar Master dalam bidang pertanian yang menemukan celah kapitalisasi justru di bidang akademik ketika dia rutin menjalani penelitian. Penelitian yang dilakukan Fadli ialah mengenai tinja manusia. Semua orang kaget mendengar kata itu dan mempertanyakan untuk apa tinja diteliti karena tinja itu bau, tidak ada indahnya, tiada manusia ingin menyentuhnya, bahkan jika tidak sengaja menginjak tinja di pinggir jalan reaksi manusia akan hal itu bukan main geramnya. Namun, ternyata tinja memiliki nilai utilitas yang sangat tinggi dan memiliki peran yang menentukan untuk mencegah pencemaran lingkungan. Adalah hal yang lazim di Indonesia, bahwa tinja dibuang ke kali atau ke septik tank yang hanyalah penampungan sementara. 95 % tinja di Indonesia dibuang ke sumber air dan tempat pembuangan sampah akhir yang dapat menyebabkan kolera dan diare untuk anak-anak. Lain halnya yang terjadi di Eropa, umumnya setelah tinja disiram, tinja tersebut akan ke pipa khusus yang nantinya akan didaur ulang, teknologi ini dinamakan Waste Water Treatment Plan, di mana tinja didaur ulang menjadi suatu hal yang bermanfaat. Untuk menerapkan teknologi ini di Indonesia tidaklah mudah karena biaya yang sangat mahal sehingga pemerintah Indonesia lebih memilih berinvestasi di sektor lain. Cara untuk menciptakan sistem sanitasi yang murah, lebih efisien dan tidak membutuhkan teknologi yang terlalu tinggi ialah dengan menjadikan tinja sebagai pupuk. Tentunya ada banyak macam tipe dari pupuk agar sesuai dengan tanah dan jenis tanaman yang diharapkan, namun Fadli fokus kepada pupuk untuk penanaman kelapa sawit dan kopi. Fadli saat ini telah memiliki prototipe dan sedang melakukan pengumpulan dana untuk memulai proyek ini di Indonesia. Menarik untuk diketahui bahwa pengelolaan pupuk dalam skala rumah tangga masih belum memungkinkan. Hal ini akan terjadi ke depannya jika metode pengelolaan ini sudah diaplikasikan secara umum. Menurut Fadli teknologi ini sangat penting penggunaannya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia karena pemerintah dapat menghemat persepuluh anggarannya untuk sanitasi.

Usaha Fadli mengekspresikan trend ekonomi hari ini yang mengacu pada circular economyCircular economy adalah sistem ekonomi yang bertujuan untuk mengurangi sampah dan mengolahnya kembali menjadi komoditas. Circular economy ini juga diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang asri dan menghemat sumber daya. Sebagaimana yang kita ketahui, sumber daya alam semakin terbatas dan telah terjadi perubahan iklim akibat faktor produksi yang menggerus sumber daya alam secara berlebihan. Maka dari itu tidaklah mengherankan bahwa hari ini muncul berbagai macam makanan yang proteinnya terbuat dari serangga atau sayuran yang diolah menjadi seperti daging. Beralih ke etika bisnis, bagi Fadli kunci kesuksesan dalam berbisnis adalah kolaborasi, sejauh ini Fadli sudah memiliki kontak dengan NGO dan pemerintah daerah di Sulawesi Selatan, tetapi kita harus ingat bahwa mindset kitalah yang harus dirubah. Proyek ini memang ditujukan untuk development project, namun jika kita terlalu fokus untuk ini, maka 3 sampai 6 tahun setelah funding selesai kita barangkali akan kehilangan tujuan lagi. Oleh karena itu hal ini harus diartikan sebagai transfer teknologi melalui bisnis di mana peluang ekonomi jangka panjang akan lebih memungkinkan. Sebagaimana di Nigeria dan di Sri Lanka, proyek ini sudah berjalan secara komersil dengan bantuan pemerintah. Tanpa campur tangan pemerintah usaha ini akan sulit berjalan karena sistem sanitasi adalah sistem yang sangat kompleks. Dalam hal ini pengusaha tidak bisa berjalan sendirian.

Kemudahan Melalui Asisten Tour Guide Virtual

Munir sebagai pendiri GetGoing.co.id, sebuah website yang bergerak di bidang tour guide, sedang melakukan pilot project. Pilot project ini berguna untuk memvalidasi pasar dengan pengumpulan data sehingga ia dapat mengetahui apakah proyeknya ini bernilai secara ekonomi. GetGoing merupakan website yang memberikan kemudahan untuk pelancong Indonesia yang datang ke Eropa dengan memfasilitasi dalam penyediaan tiket, rental mobil, penginapan dan tour guide. Munir pun berencana ke depannya akan memperluas cakupan bisnisnya sehingga turis Eropa pun dapat secara mudah berpariwisata di Indonesia. Lebih jauh lagi, GetGoing tidak hanya akan bergerak di bidang pariwisata, namun ingin merambah di bidang-bidang lainnya yang mencakup transportasi, akomodasi, penyediaan barang dan pelayanan virtual dalam satu aplikasi sehingga pelancong dapat merencanakan dan memanajemen perjalanannya dengan sangat praktis. Dengan kata lain GetGoing akan menggabungkan ide bisnis dari Traveloka dan Gojek dan berusaha mengembangkannya lebih jauh agar aplikasinya dapat digunakan oleh user setiap hari secara berkala melalui virtual asistennya.

Inisiatif dan Permasalahan Pegiat Start Up beserta Solusinya

Saat ditanya mengenai dari mana muncul sebuah inisiatif bisnis, Munir mengatakan bahwa PPI berperan besar dalam hal ini. Ia belajar bagaimana dirinya bisa mengenali sebuah masalah sosial dan bagaimana cara mengatasinya. Munir mengatakan pengalamannya ketika turis Indonesia yang tidak mahir dalam berbahasa asing berada dalam situasi urgensi, yaitu mendadak sakit. Di sini Start Up Munir hadir sebagai contact person. Fadli mempunyai pengalaman yang berbeda. Memang pada awalnya Fadli datang ke Jerman sebagai seorang peneliti, namun ia pun aktif dalam berorganisasi dan mencari relasi. Dengan pengalaman itu, ia melihat bahwa sebuah masalah tidak hanya dapat diselesaikan oleh seorang peneliti, namun seorang pebisnis pun mampu melakukannya.

Fadli mengatakan bahwa dalam proses mengembangkan startupnya tidaklah mudah, terdapat banyak penolakan, terdapat banyak ketidakpahaman di pihak calon investor, di mana ia harus berulang-ulang kali mempresentasikan produknya. Solusi hal ini menurutnya ialah dengan mencari sebuah ekosistem, di mana ekosistem itu saling mendukung satu sama lain sehingga individu-individu di situ dapat berkembang bersama-sama. Kolaborasi pun menjadi penting dalam sistem pemasaran produk untuk memahami keuntungan apa yang diinginkan oleh investor sehingga pendanaan lebih mudah didapat. Lain halnya dengan Munir, Munir tidak mengalami sebuah permasalahan dalam hal pendanaan karena bisnisnya ini sangat dapat secara langsung dibiayai oleh client yang memperoleh pelayanannya. Ia lebih mengalami permasalahan internal. Sebagai mahasiswa ia mengalami kesulitan lebih ke dalam fokus ketertarikan bidang, di mana gairahnya dalam perkuliahan dapat bercampur aduk dengan gairahnya dalam berbisnis. Oleh karena itu individu harus sadar ke arah mana ia ingin lebih fokus dan mencurahkan pikiran, waktu dan tenaganya. Keduanya mengharapkan dukungan dari pemerintah untuk mempermudah startup-startup baru berkembang di Indonesia, terutama di bidang regulasi dan kepastian hukum bagi jenis startup Munir dan ketersediaan pupuk melalui pabrik yang lebih terdesentralisasi bagi jenis startup Fadli. Sebagai tambahan, Fadli mengatakan bahwa Universitas Bonn memiliki sebuah departemen baru bernama enaCom yang dapat membantu di tahap manapun mahasiswa yang ingin memulai atau mengembangkan Startupnya. Akhir diskusi ditutup oleh presentasi singkat Munir dan Jayanto Halim yang sedang merencanakan sebuah proyek drone yang dapat bergerak di bidang agrikultur, logistik, pengawasan, fotografi, videografi, kartografi, dan maintenance. Mereka melihat bahwa teknologi drone ini mampu menyelesaikan berbagai permasalahan Indonesia di setiap bidang. Proyek ini merupakan sebuah proyek besar yang masih membutuhkan bantuan kerja sama dari banyak ahli dan investor, di mana mereka berharap bahwa ada orang-orang tertarik bergabung.

3. Gebrakan Anak Muda di Bidang Keadilan Sosial (Pembicara: Zacky Khairul Umam dan Dr. Fidelis Regi Waton, SVD / Moderator: Arnold Budhi Prasetyo)

Prolog Keadilan Sosial

Diskusi ini dimulai dari sebuah prolog singkat moderator yang memaparkan bagaimana indeks demokrasi Indonesia dari BPS yang bertentangan dengan indeks kota toleran dari Setara Institut. Di samping itu dipaparkan pula sembilan poin Hak Asasi Manusia dari Amnesty Internasional, di mana sembilan poin ini masih belum benar-benar diselesaikan secara tuntas oleh pemerintah Indonesia. Moderator pun memaparkan dua isu sosial politik yang sempat dibahas oleh PPI Jerman dalam bentuk narasi dan surat pernyataan sikap, yaitu mengenai Papua dan RUU KUHP. Di akhir prolog diputarkan sebuah rekaman wawancara anonim dengan seorang Indonesia di Jerman yang memiliki orientasi seksual dengan sesama jenis dan bagaimana pengalaman ketidakadilan yang diterimanya, terutama karena steorotip masyarakat dan reaksi pemerintah Indonesia mengenai isu LGBTIQ.

Humanisme dan Pemahaman Budaya sebagai Solusi Diskriminasi

Fidelis sebagai pembicara pertama dan juga rohaniawan Katolik yang merangkap sebagai dosen filsafat di Philosophisch-Theologische Hochschule SVD St. Augustin menanggapi isu LGBTIQ dan memaparkan bahwa memang pandangan resmi gereja Katolik ialah perkawinan orientasi seksual non heteroseksual tidak diakui karena bertentangan dengan moral agama yang menyatakan bahwa perkawinan bertujuan untuk mempertahankan spesies. Meskipun begitu, Fidelis melihat bahwa setiap individu boleh hidup sesuai dengan identitasnya. Bagi seorang beriman, dengan mengafirmasi identitasnya ia telah hidup selaras dengan kehendak Tuhan yang menciptakannya. Di samping itu dalam konteks kemanusiaan kita harus melihat bahwa setiap manusia apapun kepercayaan maupun orientasi seksualnya tetaplah merupakan manusia yang sama seperti saya sebagai pribadi. Fidelis merasa terganggu atas negara yang terlalu ikut campur dalam urusan pribadi, sebuah negara yang tidak mampu membedakan urusan privat dengan urusan publik. Zacky, seorang Khatib Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) dan cendekiawan muslim, melihat pula bahwa ajaran agama Islam masih cukup konservatif dalam melihat isu LGBTIQ. Namun, dalam tradisi Islam klasik fenomena LGBTIQ diakui sebagai ada dan ditanggapi dengan lebih toleran. Masyarakat muslim klasik lebih toleran karena mereka menghargai sebuah ambiguitas dalam konteks kemanusiaan, di mana tidak setiap fenomena dinilai secara halal dan haram. Isu mengenai LGBT menurutnya sangatlah kompleks, di mana sejarah dan hukum masa lalu harus dianalisis ulang sehingga solusi atas hal ini dapat muncul. Menurut Zacky, humanisme harus tetap menjadi nilai penting untuk dijadikan titik tolak dalam interaksi antarmanusia, meski dalam kenyataannya latar belakang identitas agama dan budaya tetap sulit ditinggalkan. Di Indonesia sendiri dalam tradisi Jawa dan Makassar keberadaan LGBTIQ dapat dilihat sebagai fenomena yang alamiah sehingga agama monoteis Timur Tengah tidak boleh sewenang-wenang meruntuhkan tradisi ini. Oleh karena itu pemahaman konteks budaya sangat penting untuk dipahami.

Pemahaman Agama yang Toleran 

Fidelis melihat bahwa Indonesia mengambil jalan tengah dalam pembentukan negara, di mana para pendiri bangsa mengawinkan tradisi kebangsaan Eropa dengan kultur relijius Indonesia. Indonesia adalah sebuah kompromi di antara negara sekuler dan negara agama. Dalam hal ini, para bapak bangsa melihat bahwa bangsa masyarakat Indonesia sanggup hidup dalam keragaman sehingga Indonesia dapat menjadi tempat yang nyaman bagi orang dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Namun sayangnya dalam perjalanan waktu masyarakat Indonesia lupa akan hal ini dan terlalu berfokus pada identitas politik yang didasarkan pada identitas agama. Bila Indonesia sanggup melihat esensi utama dalam sebuah agama tanpa menjadikannya sebagai kendaraan politik, maka Indonesia yang memiliki enam lembaga moral dalam departemen agama seharusnya mampu menjadi sebuah negara yang memiliki kesadaran moral dan karakter bangsa yang patut diacungi jempol. Sayangnya lembaga moral ini masih belum mampu membentuk karakter moral bangsa karena terlalu terfokus pada kebebasan beragama dalam artian positif, yaitu keharusan beragama. Bila lembaga moral ini mampu melihat kebebasan agama dalam artian negatif, yaitu kebebasan dalam tidak memeluk agama (ateisme), maka moralitas tidak akan hanya dipandang sempit dalam konteks agama, namun lebih luas lagi dalam konteks kemanusiaan, di mana orang tak beragama pun mampu menjunjung tinggi sebuah moralitas.

Indonesia masih berada dalam taraf beragama yang terlalu emosional. Menurut Fidelis, taraf beragama yang lebih rasional terjadi di Eropa, di mana masyarakat mampu untuk memisahkan urusan privat dan urusan publik sehingga diskriminasi tidak mudah terjadi. Dalam konteks kehidupan berpolitik, kehidupan bernegara atau hukum dalam konteks kemanusiaannya harus menjadi nomor satu dan penempatan Tuhan harus diletakkan di bawahnya. Negara harus mampu berada di atas semua agama dan golongan sehingga tirani mayoritas tidak terjadi. Menurut Fidelis, agama sebagai relasi dengan Tuhan berbeda dengan agama sebagai sebuah organisasi. Masyarakat yang mampu melihat agama sebagai relasi individu dengan Tuhan, tidak sekedar sebuah organisasi, akan menjadi lebih toleran, bahkan terhadap mereka yang tidak beragama. Hal konkret yang dapat dilakukan demi Indonesia yang lebih toleran ialah penghapusan kolom agama dalam KTP.

Zacky melihat bahwa Pancasila sebenarnya merupakan sebuah pemikiran yang revolusioner, namun sayangnya banyak umat muslim yang masih melihat bahwa Pancasila sebagai sesuatu yang tidak islami, contohnya ialah gerombolan yang ingin mengembalikan sila pertama Pancasila sesuai dengan Piagam Jakarta. Latar belakang pemikiran ini sebenarnya muncul karena kegeraman atas dogma Pancasila dalam penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) di zaman orde baru yang sangat mengekang. Pancasila untuk zaman ini harus mampu direvitalisasi sebagaimana ketika ia muncul, sebuah Pancasila yang mampu mengakomodir perbedaan demi mencapai sebuah kesejahteraan bersama. Untuk mencapai sebuah keadilan sosial, basis kebijakan publik harus didasarkan pada sebuah data yang akurat. Anak muda harus mampu membuat startup yang tidak terlalu berorientasi pada profit, namun lebih ke arah penyediaan data yang berguna sebagai basis kebijakan publik. Menurut Zacky anak muda tidak boleh anti politik dan justru harus masuk ke dalam birokrasi demi perubahan bangsa karena perubahan dari dalam akan lebih berdampak luas meskipun hal ini lebih sulit.

Negara dan Rekonsiliasi

Ketika dihadapkan pertanyaan bahwa NU harus turut bertanggung jawab dalam tragedi kemanusiaan 1965 sebagaimana permintaan maaf Gus Dur atas hal tersebut, Zacky menjawab bahwa sebenarnya tragedi tersebut merupakan kasus perselingkuhan antara agama dan kepentingan politik dan hal itu memang harus diakui, di mana anak mudalah yang akan lebih berperan dalam penuntasan kasus ini. Sebagai tambahan pernyataan Zacky, Fidelis melihat bahwa setelah kejatuhan Suharto Indonesia lupa dalam rekonsiliasi nasional karena masyarakat yang jatuh dalam euforia kebebasan. Indonesia harus belajar pada Jerman yang mampu mengelola sejarah kelam NAZI di masa lalu. Dalam konteks Papua, Fidelis mengkritik kardinal gereja Katolik Indonesia yang tidak berani berkomentar apapun mengenai kasus Papua, padahal ia dengan gagahnya mengecam kejadian penembakan di masjid di Selandia Baru. Sebagai pernyataan akhir diskusi, Fidelis menyatakan bahwa sikap diam harus diberangus. Schweigen ist Gold, diam itu emas, dalam konteks ini tidaklah berlaku. Menuturnya justru dalam konteks ini justru Schweigen ist feige, diam itu takut. Kebenaran universal bagi Fidelis ialah kebenaran ilmu pengetahuan, di mana kebenaran ilmu pengetahuan ini harus berada di atas kebenaran-kebenaran lainnya, termasuk di atas kebenaran agama. Hanya kebenaran ilmu pengetahuanlah yang mampu mencakup semua, sementara kebenaran agama hanyalah sesuatu yang partikular.

Manifesto Gebrakan Anak Muda dan Pesta Rakyat (Bagian 3):
https://ppijerman.org/manifesto-gebrakan-anak-muda-dan-pesta-rakyat-bagian-3-akhir/