Skip to content

Europawahl 2024: The rise of the extreme-right

Ditulis Oleh: Muhammad Nur Ar Royyan Mas | Mahasiswa Master Universität Bonn, peserta International Parliament Scholarship di Deutscher Bundestag, Berlin

Waktu baca: 15 menit

Minggu, 9 Juli 2024, seluruh warga Uni Eropa (UE) dapat menggunakan haknya untuk memilih partai pilihan mereka di parlemen Eropa. Partai-partai Jerman memerebutkan 96 kursi di parlemen Eropa. Bagi teman-teman diaspora di Jerman, sudah tidak asing lagi kita melihat berbagai plakat dan spanduk partai-partai Jerman yang telah menghiasi jalanan dan berbagai sudut kota. Bagi partai politik di Jerman, pemilu UE sangatlah relevan, karena tahun depan akan diadakan pemilu parlemen Jerman (Bundestagswahl). Secara tidak langsung, pemilu parlemen Eropa merupakan gladi bersih untuk pemilu parlemen Jerman di tahun berikutnya. 

Memahami Politik Jerman

Sebelum memahami politik Uni Eropa, penting untuk memahami konteks politik lokal Jerman. Kurzgesagt, denah politik di Jerman selama tiga tahun terakhir sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Setelah 16 tahun fraksi partai CDU/CSU – atau yang kerap disebut Union, konservatif katolik – menguasai parlemen Jerman, dari tahun 2005 hingga 2021, fraksi Union akhirnya kehilangan mayoritas di parlemen Jerman, dengan kekahalan tipis dari partai sosialis demokrat, SPD, yang merupakan rekan koalisi mereka selama belasan tahun. SPD yang memenangkan pemilu 2021, membentuk koalisi dengan fraksi Bündnis 90/die Grüne (partai hijau), dan partai liberal demokrat, FDP. Dengan itu, posisi fraksi CDU/CSU berubah seketika menjadi oposisi pemerintah, lantaran posisi mereka di parlemen yang bukan merupakan mayoritas lagi (24,2% melawan 51,8% koalisi), dan tidak menggaet partner koalisi manapun. 

Keterangan: Hasil pemilu parlemen Jerman 2021. Koalisi antara SPD, Grüne, dan FDP membentuk mayoritas di parlemen dengan 51,8% suara.

Sumber: tagesschau

Setelah memenangkan pemilu parlemen di tahun 2021, partai SPD membentuk koalisi dengan partai Grüne dan FDP. Koalisi ini dijuluki die Ampel, yang artinya lampu lalu lintas, lantaran ketiga warna dari tiga partai ini membentuk tiga warna komponen lampu lalu lintas, yaitu merah (SPD), kuning (FDP), dan hijau (Die Grüne). Koalisi ini lalu menandatangani perjanjian koalisi, atau Koalitionsvertrag, di tahun yang sama. Di dalam kontrak koalisi, terangkum semua nilai-nilai yang diperjuangkan bersama-sama, dan berbagai perjanjian politik yang harus dihormati dan dipatuhi seluruh anggota partai dalam empat tahun jalannya pemerintahan die Ampelregierung. Di dalam kontrak disebutkan juga pembagian kursi menteri di pemerintahan Jerman antara ketiga partai. 

Kontras dengan sistem politik Indonesia yang menganut sistem presidensial, Jerman menganut sistem politik parlementer. Apa perbedaannya dengan sistem presidensial? Ada poin-poin penting yang wajib kita pahami. 1) Jerman dipimpin oleh seorang Bundeskanzler, atau seorang kanselir. Kanselir Jerman dipilih empat tahun sekali, oleh anggota parlemen terpilih. Dengan ini, demokrasi di Jerman adalah demokrasi tidak langsung, atau demokrasi representatif. Masyarakat memilih perwakilan rakyat, perwakilan rakyat memilih seorang pemimpin. 2) Jerman juga memiliki seorang presiden, namun kedudukan dan fungsinya hanya sebatas representasi simbolis kenegaraan. 3) Seluruh mekanisme politik di Jerman harus melalui proses yang rumit, yang melibatkan berbagai Bundesorgane atau organ politik, utamanya melalui Bundestag. Setelah proses di parlemen Bundestag, Bundesrat, yang merupakan representasi 16 negara bagian di Jerman, harus menyetujui agenda yang telah diangkat dan disetujui oleh parlemen. Pada proses akhir, presiden Jerman akan menandatangani pengadaan UU ataupun kebijakan pemerintah yang berhasil lolos melalui proses yang panjang tersebut.  

Keterangan: Infografis Gesetzgebung atau proses pengadaan undang-undang (UU) di Jerman. 

Sumber: https://crp-infotec.de/deutschland-gesetzgebungsverfahren-bund/ 

Pemilu Parlemen Uni Eropa 2024

Pemilu Uni Eropa 2024, yang diikuti oleh seluruh penduduk 27 negara anggota, akan menghasilkan susunan parlemen baru dengan 720 kursi di parlemen. Pemilu parlemen UE di Jerman tidak memiliki electoral threshold atau ambang batas bagi partai untuk mengirim perwakilan di parlemen. Berbeda dengan pemilu parlemen Jerman yang memiliki Fünf-Prozent-Hürde, atau ambang batas parlemen sebesar 5%. Ini berarti, partai yang berpartisipasi di pemilu parlemen UE di Jerman, dapat menembus parlemen UE walaupun perolehan suaranya kecil. 

Mirip dengan pemilu parlemen Jerman, politik parlementer Uni Eropa merupakan politik representatif. Masyarakat Eropa memilih perwakilan rakyat, perwakilan rakyat terpilih mengangkat ketua komisi parlemen. Setiap negara anggota UE memiliki jatah di kursi parlemen Eropa. Jerman memiliki jatah sebanyak 96 kursi.

Keterangan: Infografis pendudukan kursi oleh fraksi di parlemen Eropa

Sumber: statista, EP

Gegap gempita pemilu parlemen UE dapat dirasakan tidak hanya bagi warga negara UE ataupun warga Jerman tulen, namun juga rekan-rekan diaspora Indonesia yang memiliki residensi permanen di Jerman – pemilik blaue Karte – yang dapat turut menyalurkan hak pilihnya. Selain itu, khusus di Jerman, remaja di atas 16 tahun sudah dapat berpartisipasi di pemilu[1]. Berbeda dengan negara UE lainnya yang memiliki ambang batas usia di atas 18 tahun. Hal ini turut menyebabkan kenaikan partisipasi pemilu parlemen UE di Jerman, menembus angka 64,8%[2], 3,4% lebih tinggi dari partisipasi di pemilu sebelumnya di tahun 2019. 

Bonus demografi di pemilu eropa 2024, ditambah dengan perubahan iklim politik sejak pandemi dan perang agresi Rusia di Ukraina, pemilu parlemen UE 2024 terasa panas. Spanduk, banner, dan poster partai-partai politik Jerman banyak menghiasi jalanan. Politikus, dan anggota partai, juga aktif turun di jalanan, stasiun, pusat kota, pusat perbelanjaan, hingga mengetuk pintu rumah (Haustürkampagne), untuk mengkampanyekan partai mereka, sambil membagikan selebaran dan aksesoris partai. 

Ada banyak slogan yang turut menghiasi suasana kampanye selama pemilu eropa kali ini. Dari partai Grüne, mereka banyak memasang banner dan selebaran bertuliskan  “Machen, was zählt” (lakukan, apa yang bernilai), “Klima schützen. Wirtschaft stärken” (melindungi iklim, menguatkan ekonomi), “ein starkes Europa bedeutet ein sicheres Deutschland” (Eropa yang kuat berarti Jerman yang aman). Berbagai spanduk Die Grüne juga dihiasi oleh wajah Terry Reintke, kandidat utama partai Grüne untuk parlemen Eropa[3], yang kebetulan berasal dari Gelsenkirchen, kota markas klub bola Schalke 04. Dari partai lain, seperti CDU/CSU, yang merupakan partai pengusung Ursula von der Leyen, presiden komisi parlemen Eropa, menggagas tiga poin inti dalam kampanye mereka, yaitu “Freiheit, Sicherheit, Wohlstand” (kebebasan, keamanan, kemakmuran)[4]. Beberapa lini kampanye mereka yang dapat ditemui di spanduk kampanye di antaranya “Sicherheit braucht Ihre Stimme” (keamanan membutuhkan suara Anda), “für Sicherheit und Freiheit” (untuk keamanan dan kebebasan)[5]. Sementara dari partai SPD, terlihat banyak memasang spanduk berhiaskan foto kanselir Jerman, Olaf Scholz, didampingi Katarina Barley, yang merupakan kandidat utama partai SPD untuk parlemen eropa sejak pemilu 2019 lalu. Beberapa tagline kampanye mereka meliputi “Gemeinsam für ein starkes Europa” (bersama-sama demi Eropa yang kuat), “Deutschlands stärkste Stimmen für Europa” (suara terkuat dari Jerman untuk Eropa)[6].

Keterangan: Spanduk kampanye dari partai SPD (kiri), Grüne (tengah), dan CDU (kanan).

Sumber: doa/Daniel Bockwoldt

Mengutip hasil survei dari laman situs dawum.de, sebelum diadakannya Europawahl, sudah terlihat jelas bahwa partai CDU/CSU diprediksikan meraih mayoritas suara hingga 30%. Hal ini tidak mengejutkan, lantaran rendahnya angka kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Jerman, yang dipimpin koalisi partai SPD, Die Grüne dan FDP[7]. Per tagesschau, ketidakpuasan masyarakat Jerman berada di angka 76%[8]. Ketidakpuasan itu juga terarahkan terhadap tokoh-tokoh besar di pemerintahan Jerman, seperti Olaf Scholz (Kanselir), Robert Habeck (Menteri Ekonomi dan Iklim), dan Christian Lindner (Menteri Keuangan), yang juga merupakan petinggi partai mereka masing-masing. 

Hasil konkret dari ketidakpuasan masyarakat Jerman terhadap partai pemerintahan, menyebabkan mereka mengalihkan pilihan mereka ke partai lainnya, khususnya partai yang lebih konservatif, seperti CDU/CSU (fraksi Union), dan partai populis sayap kanan seperti AfD (Alternative für Deutschland). Mengutip survey dari laman tagesschau, partai Grüne kehilangan setengah juta pemilihnya ke Union, dan setengah juta lainnya menjadi golput. Lebih ekstrem lagi, partai SPD kehilangan 1,4 juta suara ke Union[9]

Unik untuk dicatat, pemilu Eropa kali ini turut dimeriahkan oleh partai alternatif kiri yang baru saja terbentuk, yaitu Bündnis Sahra Wagenknecht (BSW). Dan lebih mengejutkannya lagi, mereka berhasil meraup 6,2% suara[10]. Hal ini merupakan pukulan telak bagi partai die Linke (partai kiri), yang merupakan basis dari partai BSW, sebelum pecah kongsi di parlemen Jerman mulai tanggal 6 Desember 2023[11]

Keterangan: petinggi partai AfD, Dr. Alice Weidel (kiri) dengan Tino Chrupalla (kanan), merayakan hasil pemilu Eropa pada Minggu, 9 Juni 2024. Partai AfD menang telak di Jerman bagian timur, dengan perolehan suara 29,2%. 

Sumber: https://www.zdf.de/nachrichten/politik/deutschland/europawahl-osten-afd-100.html, epa

AfD pesta besar, pil pahit bagi SPD dan Grüne

Dengan perolehan 15,9% suara, partai AfD menduduki peringkat dua, di bawah CDU/CSU yang memperoleh 30% suara. Riuh pikuk dapat dirasakan dalam rekaman video perayaan hasil Europawahl oleh anggota partai AfD di Berlin, pada hari Minggu, 9 Juni 2024[12]. “Das geht noch nach oben heute Abend, das geht noch nach oben” (suara masih akan naik malam ini, suara masih akan naik) ujar pimpinan partai AfD, Dr. Alice Weidel. Di balik pemenang, tentu ada yang kalah. Suasana menyambut hasil rekapitulasi suara terlihat mencengangkan bagi partai SPD dan Die Grüne. Lars Klingbeil dari SPD mengatakan bahwa hasil kali ini merupakan “bittere Niederlage” (kekalahan yang menyakitkan), “es gibt nichts schönzureden” (tidak ada hal bagus yang bisa dibicarakan). Kepala partai CSU, Markus Söder, mengatakan bahwa “Die Ampel ist de facto von den Bürgerinnen und Bürgern abgewählt worden.” (koalisi partai pemerintahan secara de facto tidak dipilih kembali oleh masyarakat)[13]

Partai Die Grüne adalah partai yang kehilangan suara terbanyak di pemilu parlemen UE kali ini. Suasana menyambut hasil hitung cepat pemilu terasa tegang bagi Die Grüne. Die Grüne berhasil memperoleh 20% perolehan suara di pemilu 2019, sedangkan tahun ini mereka hanya mendapatkan 11,9% suara. Yang artinya, mereka kehilangan 8% suara mereka. Ekspektasi yang dipasang cukup tinggi pra-pemilu untuk bisa mengalahkan AfD dan SPD di kancah eropa, justru berujung petaka. “Es ist kein Ergebnis das wir zufrieden sind” (ini bukanlah hasil yang kita banggakan) ujar petinggi partai Grüne, Omid Nouripour[14]. Melalui akun sosial media X (eks Twitter), kandidat utama partai Grüne untuk parlemen Eropa, Terry Reintke, mengatakan “Auch wenn das Ergebnis ein anderes ist, als wir gehofft haben, werden wir niemals zulassen, dass sich Faschist*innen in unseren Parlamenten breitmachen. NIEMALS.” yang berartikan: “Pun ketika hasil (pemilu) berbeda dari yang kita harapkan, kami tidak akan membiarkan orang fasis mengambil alih parlemen. TIDAK AKAN.” Ucapan yang terdengar seperti ancaman ini, sudah tidak ada artinya lagi. Sebab, tidak ada yang dapat mengontrol – Grüne sekalipun, yang hanya sebuah partai – siapa yang masyarakat Jerman hendak pilih. Selain itu, semuanya sudah terlambat. Hasil pahit bagi Grüne adalah hasil kerja yang mereka kerahkan dalam lima tahun ke belakang. 

Di sisi lain, partai populis kiri BSW tidak dapat diremehkan, sebab mereka berhasil meraih sukses besar di pemilu perdana mereka. Raupan 6,2% suara, mengungguli partai tradisional seperti FDP dan die Linke, cukup mengejutkan banyak pihak. Hal ini ditengarai oleh kampanye mereka yang secara spesifik membahas isu perang dan perdamaian, dan salah satu dari tujuh goal mereka dalam pemilu kali ini adalah: migrasi yang terkontrol[35]

AfD: problematis, namun sukses besar

Bagi yang mengikuti diskursus politik Jerman, publik Jerman sempat digegerkan dengan reportase yang dipublikasi oleh media CORRECTIV pada 10 Januari 2024, “Geheimplan gegen Deutschland[15]. Reportase ini meliput pertemuan rahasia yang diadakan di Potsdam, dihadiri oleh anggota partai AfD, aktivis ekstrem kanan dari Austria, dan beberapa pemberi modal. Hal yang didiskusikan dalam pertemuan tersebut sangat mencengangkan publik, salah satunya adalah agenda deportasi atau remigrasi massal. Remigrasi pada pertemuan tersebut dimaksudkan bagi imigran dan juga Warga Negara Jerman dengan Migrationshintergrund atau berketurunan imigran. Pembukaan kemungkinan negara Afrika untuk menjadi penerima remigrasi juga turut dibicarakan. Hasilnya, reportase tersebut memicu demonstrasi massal, melibatkan total lebih dari satu juta demonstran, di lebih dari 300 kota di Jerman. Sejak reportase dirilis, pembubaran/pelarangan partai AfD (AfD-Verbot) menjadi ramai dibicarakan di ranah publik dan politik Jerman. Opsi pelarangan partai AfD tetaplah terbuka, namun banyak politikus Jerman menganggap pelarangan partai politik di Jerman sangatlah menantang dari segi legalitas hukum dan strategi politis. 

Belum selesai persoalan Geheimtreffen, publik kembali digegerkan dengan laporan koneksi antara anggota parlemen dari partai AfD dengan pendanaan dari Rusia, dan laporan spionase dari Tiongkok, yang melibatkan Maximilian Krah, kandidat utama AfD untuk parlemen Eropa. Akibatnya, Krah sudah tidak dilibatkan dalam delegasi AfD di parlemen Eropa[16].  

Despite all this, dengan segala skandal di tubuh partai, AfD justru meraih sukses besar dalam pemilu parlemen Eropa. Jika dilihat dalam peta partai pemenang di Jerman, AfD hampir berhasil menguasai seluruh daerah Jerman Timur, dengan sedikit pengecualian di beberapa daerah seperti Berlin. Bagi banyak orang, hal ini sangat mengkhawatirkan. Di satu sisi, kekecawaan masyarakat Jerman terhadap pemerintahan Jerman sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Namun, meningkatnya perolehan suara AfD secara drastis harus diperhatikan. Apa yang masyarakat Jerman inginkan? Apakah bisa jadi, politikus di Jerman tidak cukup mendengarkan keluhan penduduknya sendiri? 

Keterangan: Pemenang pemilu parlemen UE di seluruh daerah pemilihan (dapil) di Jerman. Hitam: CDU, CSU (Bayern), Hijau: Die Grüne, Merah: SPD, Biru: AfD. 

Sumber: dpa

Pandemi, perang Rusia-Ukraina, krisis energi, inflasi 

Koalisi pemerintah Jerman memulai masa pemerintahannya dengan banyak tantangan. Pandemi yang masih berlangsung, perang agresi Rusia terhadap Ukraina mulai tahun 2022, dan segala efek samping dari perang tersebut. Banyak tantangan yang harus di-tackle secara langsung, meliputi: 1) Ketergantungan Jerman terhadap gas Rusia. Jerman sangatlah bergantung terhadap gas dari Rusia. Bentuk kerjasama Jerman dan Rusia bisa dikatakan cukup stabil sepanjang masa kepemimpinan Kanselir Angela Merkel. Namun, hal ini berubah drastis setelah invasi Rusia terhadap Ukraina. Negara blok barat seketika memutus relasi politik dan ekonomi dengan Rusia. Dengan kondisi geopolitik yang memanas, Jerman pun mau tidak mau harus memutus hubungan dengan Rusia. Jerman sudah tidak mengimpor gas dari Rusia, terhitung mulai bulan September 2022. Sebagai gantinya, Jerman mengimpor Liquid Natural Gas (LNG) dari atau melalui negara lain seperti Norwegia, Belanda, dan Belgia[18]. Sayangnya, harga gas di Jerman masih terlampau tinggi, dibandingkan harga pra-perang. 2) Harga listrik. Sejak perang Ukraina, harga listrik di Jerman melambung tinggi. Rekor paling tinggi dicapai di akhir September 2022, ketika harga listrik mencapai 70 sen per kWh (Kilowatt per jam)[19]. Sebagai bentuk kompensasi, pemerintah Jerman menawarkan Einmalzahlung (one-off payment), sebesar 200 Euro, pada tahun 2023, bagi pelajar di Jerman[20]. 3) Inflasi. Melengkapi segala tantangan krisis energi, Jerman juga dihadapkan dengan stagnasi ekonomi, dan inflasi. Mengutip data dari Statistisches Bundesamt (Badan Pusat Statistik Jerman), Verbraucherpreisindex atau indeks harga konsumen, yang merupakan salah satu indikator terbaik untuk inflasi, naik sebesar 19,2% dari basis tahun 2020[21]. Walaupun nominal upah minimum di Jerman telah menginjak angka 12,41 Euro, meningkat 29% dari upah minimum pada tahun 2021, Reallohn atau real wage, yaitu gaji yang dikompensasikan dengan inflasi, masih saja negatif[22].

Krisis pengungsi, dan awal mula dibentuknya partai populis kanan AfD

Selain tiga faktor tadi, ada satu hal yang cukup krusial: migrasi. Sejak berdiri kembali seusai perang dunia II, di sekitar tahun 70an, Jerman mengundang Gastarbeiter (tenaga kerja asing), utamanya dari Turki, untuk memenuhi kebutuhan lapangan pekerjaan di Jerman. Kini, para Gastarbeiter tersebut banyak yang menetap di Jerman, dan membangun keluarga di Jerman juga. Hal ini menyebabkan perubahan demografis terhadap penduduk Jerman, yang kini juga terdiri dari WN berketurunan asing. 

Puncaknya, pada tahun 2015, terjadi Flüchtlingskrise atau krisis pengungsi. Ada salah satu kutipan terkenal oleh Kanselir Jerman kala itu, Angela Merkel, yang mengatakan “wir schaffen das” (kita bisa) dalam sebuah pertemuan CDU di Cologne[24]. Ini mengartikan bahwa, Jerman sanggup menerima pengungsi. Krisis pengungsi kala itu disebabkan oleh perang di negara timur tengah, seperti Suriah, Irak dan Afganistan. Lonjakan angka pengungsi di Jerman mencapai 1,4 juta pencari suaka di tahun 2015[23]

Sejak krisis pengungsi, isu imigran di Jerman mulai panas diperbincangkan di ranah publik. Partai Alternative für Deutschland (AfD) didirikan tahun 2013 di negara bagian Hessen, namun salah satu motif utama berdirinya AfD bukanlah karena krisis migran, melainkan kebijakan ekonomi UE, yaitu Europäischer Stabilitätsmechanismus (ESM, mekanisme stabilitas Eropa) pada tahun 2012[27]. Kebijakan ini mengatur bagaimana UE mendanai negara-negara anggotanya yang membutuhkan pinjaman besar demi menyokong ekonominya, seperti Yunani, Spanyol, dan Cyprus. Melalui ESM, Jerman berkomitmen berkontribusi cukup besar bagi negara-negara UE lainnya[25]

Setelah dibentuk pada tahun 2013, menyusul kekecewaan terhadap Uni Eropa dan pemerintahan Jerman, partai AfD berpartisipasi dalam pemilu Jerman tahun 2013. Mereka gagal melenggang ke Berlin lantaran “hanya” memperoleh 4,7% suara[26], di bawah 5% dari ambang minimum. Di pemilu berikutnya tahun 2017, mereka berhasil melenggang ke Berlin dengan perolehan suara Zweitstimme yang cukup fantastis, yaitu 12,6%. Sebelumnya pada tahun 2014, mereka berhasil juga melenggang ke parlemen Eropa. 

Apa haluan politik AfD sebenarnya, dan apa yang mereka inginkan? 

Tidak sulit untuk menebak, apa yang menjadi agenda utama dari partai populis sayap kanan seperti AfD. Selain bersikap kontra terhadap UE, mereka juga menganggap migrasi sebagai ancaman bagi masyarakat Jerman. Dalam program mereka, mereka menuntut penghapusan hak dasar atas suaka, dan menuntut perlindungan perbatasan negara Jerman dan Eropa. Nilai-nilai yang mereka perjuangkan juga merupakan nilai yang sangat konservatif: AfD ingin meningkatkan angka kelahiran Jerman dan mendorong perawatan anak di rumah daripada di taman kanak-kanak (Kita). AfD juga mempromosikan “deutsche Leitkultur”, yaitu dominasi budaya Jerman[27]. Gaya politik mereka yang populis ini, turut menjadi kunci kesuksesan mereka di daerah yang cenderung less developed, dan berideologi konservatif, seperti di Jerman Timur, yang merupakan daerah bekas kedudukan Uni Soviet. Yang mengkhawatirkan juga, bahwa perolehan suara AfD di daerah Jerman Barat tidak dapat diacuhkan. Mereka kerap memperoleh suara yang tidak kecil.

Sedikit cerita mengenai apa yang aku saksikan selama mengikuti program magang di parlemen Jerman, AfD merupakan partai yang kerap di-bully dari segala penjuru. Partai koalisi pemerintahan, SPD, Grüne, dan FDP, menaruh posisi yang jelas terhadap AfD: no tolerance. Mereka tidak ingin mengasosiasikan kesamaan apapun dengan AfD. Di sisi lain, CDU/CSU, yang merupakan fraksi oposisi terbesar di parlemen, secara natural merupakan partai konservatif-katolik, dan secara inheren merupakan partai konservatif juga. Kedua fraksi – CDU/CSU dan AfD – ini terkadang memiliki kedudukan yang sama dalam beberapa topik, seperti dalam perihal gender, LGBT, imigrasi, politik islam, dan topik sensitif lainnya. Fraksi Union banyak menyibukkan diri dengan kritik terhadap performa pemerintah. Sedangkan AfD seringkali membawa agenda yang trivial, seperti pengembalian impor gas dari Rusia, pengaktifan kembali reaktor nuklir di Jerman, penghapusan kebijakan carbon pricing, hingga menuntut penggunaan batu bara selama Jerman masih membutuhkannya. Aku menyebut persoalan seperti ini trivial, lantaran semua partai di parlemen Jerman sudah tidak memedulikan perihal tersebut, dan menuntut pembahasan akan hal-hal tersebut tidak akan menghasilkan hasil yang signifikan selain penolakan secara mentah-mentah. 

Keterangan: kandidat utama partai Grüne untuk parlemen Eropa, Terry Reintke (tengah), bersama dengan petinggi partai Grüne, di Columbiahalle, Berlin, dalam menyambut hasil pemilu.

Sumber: dpa

Apa yang salah dengan Die Grüne?

Setelah ramai hasil pemilu Eropa pada Minggu, 9 Juni 2024, headline lini masa di keesokan harinya dipenuhi dengan perkataan pedas terhadap kekalahan SPD dan khususnya Die Grüne. Ramai penggunaan kosakata seperti abgestraft (penghukuman), die Ampel hat die Quittung bekommen (koalisi pemerintah Jerman mendapatkan catatan teguran), Grünen-Absturz (kekahalan partai hijau), dsb. telah menghiasi berbagai lini masa media. Sudah sangat jelas bahwa Die Grüne merupakan Verlierer atau loser dari pemilu kali ini. Tidak hanya kehilangan lebih dari 8% suara, mereka secara tidak terduga kehilangan suara pemilih dari kaula muda. Hanya 11% pemilih partai Grüne merupakan pemilih berusia 16-24 tahun, berbeda dengan tahun 2019 yang mencapai angka 35%[35]. Sudah selayaknya anggota partai Grüne tidak menunjukkan ekspresi bahagia dalam menyambut hasil pemilu eropa di Columbiahalle, Berlin. 

Sebagai peserta magang di salah satu kantor anggota parlemen Die Grüne, mungkin ada beberapa pengamatan yang aku bisa katakan, tentang mengapa orang Jerman kehilangan kepercayaannya terhadap partai Grüne. Aku sudah bahas sedikit mengenai tagline kampanye partai Grüne dalam Europawahl tahun ini, kini akan aku jabarkan mengapa Grüne kehilangan suaranya secara signifikan.

  1. Fokus program yang salah

Berbagai pakar dan ahli mengatakan bahwa partai Grüne salah menaruh konsentrasi program mereka. Mengutip hasil survei dari laman tagesschau, masyarakat Jerman memiliki concern utama pada (diurutkan sesuai popularitas): 1) Perdamaian, 2) keamanan sosial, 3) imigrasi, 4) perlindungan iklim[35]. Agenda perlindungan iklim dan lingkungan sudah bukan prioritas utama masyarakat Jerman. Iya, masyarakat Jerman mengkhawatirkan efek perubahan iklim yang dapat menjumpai siapa saja di waktu yang tak terduga, seperti banjir di daerah Ahrtal pada tahun 2021 dan Saarland belum lama ini. Masyarakat Jerman ingin perlindungan lingkungan, tapi terukur sesuai dengan proporsi. 

Di kampanye mereka, Die Grüne memiliki fokus dalam empat hal: kemakmuran (Wohlstand), keadilan (Gerechtigkeit), perdamaian (Frieden) dan kebebasan (Freiheit). Sayangnya, poin-poin tersebut tidak begitu tepat dengan apa yang masyarakat Jerman khawatirkan. Die Grüne tidak berhasil memikat pemilih dalam persoalan seperti imigrasi (Zuwanderung), yang merupakan alasan utama bagi pemilih AfD, dan perdamaian (Frieden), yang merupakan alasan utama bagi pemilih partai BSW[28]

  1. Pertikaian internal koalisi Ampel

Sudah bukan rahasia umum bahwa koalisi Ampel, yang terdiri dari partai SPD, Grüne, dan FDP, memiliki kesulitan dalam menyatukan pendapat. Sampai-sampai partai Grüne harus “mengorbankan” komitmennya terhadap perubahan iklim, dengan ikut menghapuskan batasan emisi CO2 sektoral. Hal ini ditengarai oleh ketidakmampuan sektor transportasi untuk mematuhi batas emisi sektoral yang telah ditentukan[30]. Menteri transportasi, Dr. Volker Wissing (FDP), menuntut kompensasi atas batas emisi CO2 sektoral, dengan menuntut perubahan pada klausa hukumnya. Ia dan partainya, menuntut koalisi pemerintah untuk menghapuskan batas emisi CO2 sektoral. Pada akhirnya, Klimaschutzgesetz (UU perlindungan iklim) berhasil direvisi, yang mana seluruh anggota parlemen dari koalisi Ampel menyetujuinya[31]. Hal ini membuat masyarakat bertanya-tanya, di mana komitmen partai Grüne dalam melindungi iklim, kalau mereka justru mendukung penghapusan target CO2 sektoral?

Pertikaian mengenai hukum perlindungan iklim hanya merupakan satu dari sekian banyak pertikaian internal di antara partai koalisi Ampel. Masyarakat menilai bahwa partai-partai pemerintahan hanya memerdulikan kepentingan masing-masing[32]

Keterangan: Christian Lindner (kiri), Robert Habeck (tengah), dan Kanselir Olaf Scholz (kanan).

Sumber: dpa/Michael Kappeler

  1. Hilangnya momentum bagi Die Grüne dan performa mengecewakan

Sukses besar Die Grüne pada pemilu eropa 2019 harus kita kaitkan dengan maraknya demonstrasi Friday for Future oleh kaula muda. Die Grüne hadir bak penyelamat. Namun, lima tahun terakhir tidak nampak begitu indah bagi Grüne, yang sukses memenangkan 20% suara di tahun 2019. Datangnya faktor eksogen seperti pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, dan kemudian pemutusan hubungan antara Jerman dan Rusia, salah satunya dengan pemberhentian impor gas dari Rusia, menyebabkan Grüne menjadi kambing hitam masyarakat Jerman. Bagaimanapun, Die Grüne juga memainkan peran penting di kebijakan-kebijakan tiga tahun ke belakang di tingkat nasional Jerman. Memang, persoalan inflasi, biaya hidup tinggi yang terjadi di Jerman, persenjataan perang, kebijakan pensiun yang membebankan generasi muda, tidak dapat dibebankan ke partai Grüne seorang. Tapi bahwa mereka sebagai pemangku kekuasaan, secara sengaja tidak mencegah pengambilan keputusan yang mengecewakan di pemerintahan, menyebabkan citra mereka tidak begitu baik di mata para pemilih. 

Tidak hanya gagal perform dalam menjaga kemakmuran rakyat, Grüne juga turut mempromosikan persenjataan perang Ukraina-Rusia, di samping juga menunjukkan sikap suportif terhadap perang Israel di Gaza. Memperparah keadaan, kegagalan dalam menyasar kekhawatiran masyarakat Jerman, ditambah dengan fokus berlebih partai Grüne terhadap isu sosial seperti penghapusan model keluarga tradisional, peran gender, politik minoritas, politik migrasi, dan penggunaan tagline murahan untuk menyerang terang-terangan politik sayap kanan dan liberal[33] ketimbang persoalan seperti keamanan dan migrasi[34], membuat konsentrasi partai menjadi kabur. Aku tidak mengatakan bahwa isu sosial tidak penting itu disuarakan di kancah politik Jerman dan Eropa, tapi bahwa masyarakat Jerman sedang tidak memikirkan itu banyak-banyak, membuat Die Grüne harus banyak merubah fokusnya.

Tidak hanya Die Grüne gagal menggaet pemilih baru, mereka justru kehilangan basis suara mereka. Hal ini dapat dikaitkan dengan komitmen mereka terhadap perubahan iklim yang meragukan. Lolosnya revisi UU mengenai penghapusan batas emisi CO2 sektoral, membuat Grüne kehilangan basis suara mereka sendiri. Memang pada akhirnya, keputusan ini patut dipahami dalam konteks kontrak koalisi antara partai pemerintahan. Namun, Grüne seolah menjadi korban dari komitmen mereka sendiri. Kehilangan kepercayaan dari basis suporter setia, sambil di waktu bersamaan, dikambinghitamkan oleh masyarakat yang kecewa dengan performa pemerintah Jerman. 

What now?

Dengan meningkatnya popularitas partai populis sayap kanan AfD dan populis kiri BSW secara bersamaan, arah politik Jerman kini nampak muram. Tren ini tidak hanya terjadi di Jerman, tapi Eropa secara keseluruhan. Kegagalan koalisi Ampel dalam memperjuangkan kekhawatiran masyarakatnya, keberhasilan AfD dalam menyasar persoalan migrasi, serta keberhasilan BSW dalam menyasar persoalan perdamaian dalam kampanye mereka, membuat publik bertanya-tanya soal komitmen partai koalisi Ampel. Fakta bahwa Union gagal meraih kemenangan absolut lantaran peralihan suara ke partai sayap kanan dan kiri yang turut memecah konsentrasi pemilih, membuat posisi mereka juga tidak mudah. Namun, satu hal yang pasti. Koalisi pemerintahan Jerman tidak memiliki masa depan yang cerah. Suasana politik antara koalisi Ampel mengindikasikan bahwa koalisi ini tidak akan bertahan lama. Pertanyaanku, berapa banyak suara yang akan diraup oleh partai AfD di pemilu 2025 nanti? 

Sebagai outsider, aku hanya bisa mengamati dari luar, apakah hasil dari pemilu Eropa ini akan konsisten dengan pemilu parlemen Jerman tahun 2025 mendatang. Jika iya, apa yang harus aku lakukan? Demonstrasi besar-besaran menentang politik sayap kanan ternyata terbukti tidak merepresentasikan wajah Jerman yang sebenarnya. Untuk sementara waktu hingga pemilu parlemen Jerman 2025, partai populis seperti AfD dan BSW dapat tersenyum lebar. Sedangkan untuk SPD, Grüne, dan FDP, pemilu Eropa merupakan kartu kuning terakhir bagi mereka. Waktu terus bergulir. There is no time left

Motto penulis: Seorang suami, pelajar S-2 di Uni Bonn, sedang menjalani program magang di Bundestag Jerman.

[1] https://www.tagesschau.de/europawahl/wahl/wahlalter-16-100.html 

[2] Spiegel https://www.spiegel.de/politik/deutschland/europawahl-64-8-prozent-hoechste-wahlbeteiligung-in-deutschland-seit-der-einheit-a-81618f43-047e-472f-a16a-9087d57c1f63 

[3] https://www.gruene.de/artikel/machen-was-z%C3%A4hlt-unsere-motive-zur-europawahl-2024

[4] https://www.cdu.de/artikel/freiheit-sicherheit-wohlstand

[5] https://www.cdu.de/artikel/5-gruende-cdu-zu-waehlen

[6] https://www.spd.de/europa/europaprogramm

[7] Wirtschafts Woche, printed edition.

[8] https://www.tagesschau.de/wahl/archiv/2024-06-09-EP-DE/umfrage-regierung.shtml

[9] https://www.tagesschau.de/wahl/archiv/2024-06-09-EP-DE/analyse-wanderung.shtml

[10] https://www.tagesschau.de/europawahl/bsw-linkspartei-100.html

[11] https://www.bundestag.de/dokumente/textarchiv/2023/kw49-linke-980766

[12] https://www.youtube.com/watch?v=_Vo5njGIdNg

[13] https://www.tagesschau.de/europawahl/wahl/europawahl-ergebnis-deutschland-100.html

[14] https://www.zdf.de/nachrichten/heute-sendungen/videos/gruene-nouripour-europawahl-2024-video-102.html 

[15] https://correctiv.org/aktuelles/neue-rechte/2024/01/10/geheimplan-remigration-vertreibung-afd-rechtsextreme-november-treffen/ 

[16] https://www.zeit.de/politik/deutschland/2024-06/maximilian-krah-nicht-teil-der-neuen-afd-delegation-im-europaparlament

[17] https://www.sueddeutsche.de/politik/parteien-diskussion-um-afd-verbotsverfahren-haelt-an-dpa.urn-newsml-dpa-com-20090101-240104-99-487330 

[18] https://www.zdf.de/nachrichten/wirtschaft/gasversorgung-energiesicherheit-deutschland-pipelines-russland-100.html 

[19] https://www.ndr.de/nachrichten/info/Strompreis-aktuell-So-viel-kosten-die-Kilowattstunden,strompreis182.html

[20] https://www.bundesregierung.de/breg-de/suche/einmalzahlung-200-studierende-2214004

[21] https://www.destatis.de/EN/Themes/Economy/Short-Term-Indicators/Pricemonitor/pricemonitor.html#248920 

[22] https://www.destatis.de/DE/Presse/Pressemitteilungen/2024/02/PD24_076_62321.html 

[23] https://zdfheute-stories-scroll.zdf.de/Faktencheck_Wir_schaffen_das/index.html

[24] //www.bpb.de/shop/zeitschriften/apuz/312832/vor-dem-5-september/#footnote-target-7

[25] https://www.bundestag.de/resource/blob/192558/e6f4c478790ef5dfaf9bff6fee02a31d/ESMFinG_EN_2012.pdf

[26] https://www.bundestag.de/parlament/wahlen/ergebnisse_seit1949-244692

[27] https://www.morgenpost.de/politik/article211963849/afd-alternative-fuer-deutschland-gruendung-ausrichtung-partei-fakten-steckbrief.html 

[28] tagesschau

[29] Augsburger Allgemeine/Müller

[31] https://www.tagesschau.de/inland/klimaschutzgesetz-ampel-solarpaket-100.html

[30] https://www.tagesschau.de/inland/expertenrat-klimaziel-verkehrssektor-100.html

[32] BILD/Schäfer

[33] Welt/Poschardt

[34] SZ/Timmler

[35] https://www.tagesschau.de/wahl/archiv/2024-06-09-EP-DE/umfrage-wahlentscheidend.shtml 

[36] https://bsw-vg.eu/

Sumber gambar heading:

https://www.bmi.bund.de/DE/themen/verfassung/wahlrecht/europawahlen/europawahl-2024/europawahl-2024-node.html