Skip to content

Dunia Sosial Organisasi Mahasiswa Diaspora Indonesia di Jerman

Foto: Kegiatan LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan) PPI Jerman 2022 di Herbstein, Hessen. Sumber: Dokumentasi PPI Jerman

Ditulis oleh Geraldus Kevin Martimbang

Organisasi-organisasi mahasiswa Indonesia di Jerman beragam. Motifnya pun bermacam-macam. Jumlah orangnya bermacam-macam. Keberagaman anggotanya juga tidak sama rata. Kegiatan-kegiatan yang diorganisasi juga berbeda.

Secara garis besar, organisasi mahasiswa Indonesia di Jerman dapat kita bedakan menjadi empat jenis, yaitu:, yakni 1) organisasi dengan basis agama; 2), organisasi dengan basis identitas nasional, 3) , organisasi inisiatif, dan 4) klub-klub sosial biasa. Perbedaan antara Yang membedakan klub-klub sosial biasa dengandari organisasi-organisasi jenis lainnya ialah tingkat keterorganisiran dan keberadaan tujuan dari keberadaan organisasi, yang mana tidak hanya sekadar in-group, namun juga out-group. Ada tujuan lebih besar yang ingin dicapai organisasi tersebut, selain dari kegiatan-kegiatan yang bersifat mengisi waktu luang. 

Klub-klub Sosial

Pembahasan yang pertama adalah mengenai klub sosial. Mari kita melihat membahas klub-klub sosial tersebut sejenak. Mereka terbentuk akibat perasaan cocok yang timbul antar-anggota. Entah karena berasal dari daerah yang sama, entah karena memiliki tingkat kesantaian/keseriusan yang mirip, dan lain sebagainya. Hubungan yang terjadi di sini cukup erat, di mana berujung pada pertemuan yangbisa terjadi cukup rutin, lebih dari satu kali seminggu. Fungsi dari klub-klub sosial ini ialah memberikan para mahasiswa diaspora Indonesia di Jerman wadah untuk bercakap-cakap secara alamiah dalam bahasa ibunya, serta juga memfasilitasi interaksi sosial yang ajek dan konsisten. Bila sebuah klub sosial macam ini, yang basis kegiatannya sejatinya ialah percakapan dan interaksi sosial langsung, telah terbentuk, hubungan antaranggota menjadi erat, sampai-sampai kisah-kisah yang paling pribadi dan menyangkut rahasia juga tertuang di dalam sirkulasi percakapan mereka. Misalkan, keluhan mengenai, “aduh, aku sudah lama nggak pulang ke Indonesia”, kangen orang tua, pacar, atau apapun itu; juga, “aduh, susah banget Klausur ini”; “aduh, orang Jerman, atau orang India, atau orang Turki”, itu, demikian dan demikian. Keluhan-keluhan seperti itu menjadi sebuah bahan percakapan yang renyah dikarenakan kesamaan latar belakang budaya, emosional, dan kompetensi yang menyangkut bahasa, yang hanya dapat dijadikan bahan tenggang rasa oleh sesama mahasiswa Indonesia. Kalau mau,  kita bisa satukan nasib penggiat klub-klub sosial tersebut bendel menjadi satu kata: keterasingan sosial yang kolektif. 

Polarisasi amat terlihat, ketika di sisi lain, kita mengamati para mahasiswa Indonesia yang memiliki banyak teman ‘bule’. Mereka tidak lagi banyak berinteraksi secara intensif dengan klub-klub sosial mahasiswa Indonesia diaspora, karena proses adaptasi budaya mereka bisa dikata nyaris sempurna, sehingga rasa-rasa “keterasingan” itu tidak begitu kental. Barangkali hanya di masa awal-awal mereka pindah ke Jerman, mereka akan banyak mingle atau bergaul dengan klub-klub sosial atau organisasi-organisasi orang Indonesia di Jerman. Namun, selepas mereka berhasil “masuk” ke dalam dunia sosial (dalam sosiologi sering disebut dengan Soziale Welt) yang dimotori oleh klub-klub sosial orang bule, dalam hal ini antara kelompok orang-orang Jerman atau kelompok mahasiswa-mahasiswa internasional yang didapatkan jaringannya dari kuliah yang sama, ataupun kelompok party yang sama, mereka akan berfokus kepada dunia sosial yang baru ini. Sebab, menjajaki dunia sosial yang baru sejatinya hampir digerakkan oleh kodrat manusia sebagai makhluk petualang. Mereka yang berhasil berpetualang, setelah memenuhi syarat-syaratnya, seperti kefasihan bahasa asing, minuman alkohol (misalkan), keterbukaan diri dan kisah biografis yang cukup dituntut di awal-awal percakapan, kesukaan terhadap musik-musik tertentu yang disenangi secara kolektif, dan seterusnya, akan merasa memiliki pembeda dari mahasiswa Indonesia yang lain yang tidak berhasil masuk ke dunia sosial para ‘bule’ itu. Tentu, ada rasa ‘bangga’ tersembunyi juga, atau paling tidak rasa ‘menjadi unik’, ketika pertalian dengan orang-orang asing itu tidak hanya berbentuk pertemanan atau persahabatan, namun juga hubungan asmara. 

Karena klub sosial memiliki sifat ‘banal’ atau bersifat ‘mengisi waktu luang’ dan berdasarkan pada spontanitas ‘kecocokan’–sulit untuk membuat indeks keterbentukan atau ‘kecocokan’ sebuah kelompok pertemanan, bukan?–, maka tingkat eksklusivitas sebuah klub sosial menjadi tinggi. Dalam artian: ada pembatasan yang jelas antara mereka yang masuk dan mereka yang di luar; in-group dan out-group. Bukan, berarti, jika dikatakan demikian, tidak boleh ada sama sekali orang-orang baru yang datang secara spontan; tentu pada kenyataannya terjadi sliwar-sliwer orang baru. Tapi, proses “masuk”-nya seseorang ke dalam klub sosial menjadi otomatis dan amat bersifat atmosferik (atau vibe), emosional, dan bukan mengedepankan indeks atau kaidah tertentu. Dengan kata lain: informal. Forma berarti bentuk; ber-bentuk, dalam konteks ini; sesuatu yang formal, berarti berbentuk dengan kaidah-kaidah yang ada, dan seterusnya. 

Bahayanya ialah, bila prinsip ‘informalitas’ klub sosial masuk ke dalam organisasi-organisasi mahasiswa Indonesia di Jerman yang seyogyanya bersifat formal. Kisah yang sering terjadi ialah, penempatan bakat-bakat atau posisi-posisi tertentu dalam posisi struktural sebuah organisasi, contohnya PPI-PPI di kota-kota, juga bahkan PPI Jerman, yang ditentukan atas dasar pertemanan dari klub sosial pribadinya. Posisi tidak akan dipenuhi dengan mahasiswa yang kompeten dibidangnya, namun mahasiswa yang dikenal dan ‘asik’ diajak ngobrol sebelumnya.

Organisasi Agama

Organisasi-organisasi Agama yang ada di Jerman tidak bisa dipisahkan secara ketat dari kategori klub-klub sosial yang kita bahas pada bagian tulisan sebelum ini. Berjalannya kegiatan-kegiatan pada kategori organisasi ini bergantung erat dengan kecocokan dan informalitas interaksi sosial yang kita sudah bahas pula, namun yang membedakan ialah ada sedikit struktur formal organisasi yang membuat klub sosial ini bisa dikata sebuah organisasi. 

Ada panitia, yang mengurusi persoalan waktu, tempat, organisasi pemuka agama, untuk kegiatan peribadahan. Dari dalam agama itu sendiri, sudah ada struktur formal seperti ritual yang sudah memiliki kaidah-kaidah operasional tertentu, seperti keanggotaan kepada agama tertentu, pengetahuan mengenai kitab suci agama tersebut, dan know-how ritual yang sudah disosialisasi dan diinternalisasikan belasan tahun sebelumnya. Tujuan dari organisasi ini relatif in-group, untuk memberikan kesempatan kepada anggota yang memiliki agama yang sama untuk beribadah bersama, dan mengalami pengalaman religius, estetik, kolektif yang rasanya akan beda bila tidak dilakukan dengan sesama mahasiswa atau orang dari Indonesia. Berdoa dan menyanyi dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia jelas terasa berbeda, misalkan. 

Menjadi menarik, atau sering juga kontroversial, ketika organisasi keagamaan tertentu itu didatangi oleh mereka bukan anggota dari agama tersebut. Rumor bisa menguar, bahwa sedang dilakukan, misalkan, kristenisasi, atau islamisasi, atau buddhaisasi, atau apapun itu. Walaupun, di Jerman, hal-hal semacam ini lalu ditanggapi dengan santai saja, berhubung keterikatan terhadap organisasi agama di kalangan diaspora tidak lagi sekuat di Indonesia. Sisi kontroversial yang lain bertolak dari dalam organisasi agama dalam menentukan out-group, atau mereka yang berada di luar organisasi mereka, yang terkadang bukan hanya berdasarkan keberbedaan agamanya, namun juga aliran politik maupun kadar liberalitas kognitif yang dimiliki oleh individu-individu yang dinilai–for lack of better word–“menyimpang”. 

Menyambung dari apa yang sudah disebutkan pada paragraf pertama, hal menarik lain yang dapat diobservasi ialah bagaimana bertautannya secara fungsi tipe organisasi agama dengan tipe klub sosial. Kenyataannya, banyak sekali klub-klub sosial yang tumbuh, mendiferensiasi, dari “kecocokan” yang diawali perkenalan, perjumpaan dan percakapan yang terjadi dalam acara-acara organisasi agama. Pada beberapa kasus, justru dalam organisasi agama tersebut dibentuk secara formal kelompok-kelompok kecil yang bertujuan persisi untuk membentuk klub-klub sosial, seperti misalkan kelompok refleksi, kelompok interpretasi dan diskusi kitab suci agama tersebut, dst. Dinamika diferensiasi internal ini di satu sisi meningkatkan kohesi interaksi dan relasi antarpartisipan, namun di lain sisi meningkatkan pula polarisasi antarkelompok yang terbentuk. Untuk sisi yang kedua, misalkan, dapat diamati dari “labelisasi sosial” yang terjadi dalam percakapan in-group mengenai kelompok yang lain, seperti “radikal”, “konservatif”, atau “liberal”, “tukang mabuk”, dst. 

Organisasi InisiatifInsiatif 

Dibandingkan dengan organisasi agama tipe organisasi ini hampir mirip, namun bedanya tersekularisasi secara struktur organisasi dan juga terasionalisasi tujuan-tujuannya. Struktur interaksi sosial dan organisasi hadir berdampingan, yang membuat dinamika, produktivitas, dan relasi personal antaranggota lebih dinamis, sekaligus lebih santai. Ya, formalitas yang diimbangi dengan informalitas, sebab faktor “kecocokan” personal tetap memainkan peran. Bila konflik terjadi, permasalahan lebih bisa diselesaikan secara damai dan dialogis, karena penentuan tujuan organisasi, proyek-proyek organisasi yang ada, struktur organisasi yang ada, tidak predetermined, namun sedari awal dibangun bersama. Dengan demikian, penyesuaian struktur organisasi menjadi lebih fleksibel. Sanksi-sanksi seperti pengeluaran anggota, atau sanksi-sanksi yang terinternalisasi ke dalam hati nurani, seperti mengundurkan diri, dsb., menjadi tidak diperlukan juga.

Beberapa organisasi mahasiswa Indonesia di Jerman yang masuk ke kategori ini, menariknya, dibuat atas dasar ketidakpuasan terhadap organisasi-organisasi ‘formal’ yang sudah ada. Ketidakterwadahan aspirasi atau spesifisitas agenda (agenda politik tertentu, misalkan) menjadi contoh alasannya. Tak bisa dipungkiri, bahwa tidak mungkin juga sebuah organisasi ‘formal’ dapat mewadahi seluruh kepentingan yang ada. Ambil contoh organsisasi politik setiap negara, yang cakupan agendanya (politik, kebijakan publik, hukum, Pemilu, dst.) wajib mewadahi seluruh anggotanya (yakni rakyat), saja, tidak berhasil melakukan itu, dengan indikator-indikator seperti buruknya selalu proses kaderisasi kepartaian di Indonesia, presentase golput, black campaign, dst. Apalagi, bila kita sedang membicarakan mengenai organisasi formal kemahasiswaan, seperti misalnya Perhimpunan Pelajar Indonesia, yang tidak memiliki instrumen organisasional yang masif seperti negara. 

Misalkan, ada organisasi insiatif yang bertujuan khusus untuk menjembatani interaksi sosial antara komunitas masyarakat diaspora Indonesia di Jerman dengan komunitas masyarakat Jerman yang tertarik dengan orang Indonesia. Ada juga yang bertujuan untuk mewujudkan agenda politik di atas basis progresivitas maupun agenda kedaerahan. Ada yang menggarap soal transfer ilmu dan know-how, dan lain sebagainya. Organisasi inisiatif dengan demikian dapat dikata memiliki fungsi untuk mewadahi agenda-agenda spesifik dari komunitas mahasiswa Indonesia diaspora Indonesia di Jerman.

Organisasi Formal Nasional

Karena tulisan ini tidak ingin menetapkan hal-hal hermeneutik dan terminologis, sebetulnya nama tipe-tipe organisasi yang sudah disebutkan dapat diubah-ubah lagi. Tipe yang terakhir ini disebut “organisasi formal”, karena tingkat formalitas organisasi ini yang paling tinggi dari yang lain. Formal dalam artian, bahwa tipe organisasi ini memuat organisasi-organisasi yang memiliki struktur-struktur tetap tertentu dalam segala ciri dan aktivitasnya, yang antara lain ialah: mengumpulkan banyak pribadi dari berbagai kalangan, aktivitas, agama, pandangan politik, dan faktor lainnya yang beragam, memiliki AD/ART sebagai hukum organisasi yang otonom dan wajib ditaati oleh seluruh pengurus dan anggota, memiliki sistem recruitment untuk para pengurusnya, memiliki tujuan-tujuan rasional, harus memikirkan keberlanjutan dalam proses regenerasi/penggantian pengurus, dst. Struktur-struktur tersebut memungkinkan organisasi tipe ini menggerakkan resources (sumber daya, dan anggota-anggotanya) dan agency (pengurus-pengurusnya) sehingga menghasilkan produk-produk kegiatan yang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan oleh organisasi tersebut, dan juga meregenerasi dirinya sendiri. Bisa dikatakan, organisasi seperti ini memenuhi kriteria sebuah sistem, yang salah satunya ditunjukan dengan memiliki stabilitas

Salah satu organisasi mahasiswa Indonesia diaspora di Jerman yang cukup populer ialah PPI, Perhimpunan Pelajar Indonesia, baik PPI Cabang di kota-kota maupun PPI Jerman di tingkatan pusat. Fungsi-fungsi yang dimiliki oleh PPI yang hari ini dapat kita amati dari program kerja-program kerjanya yang amatlah luas, berkaitan dengan fungsi pengembangan kepribadian dan akademik, advokasi kebijakan publik dan aktivisme, perlindungan dan pelayanan pelajar (sampai tahap tertentu), komunikasi budaya dengan komunitas masyarakat Jerman, networking internal dan eksternal ke organisasi-organisasi formal lain, dst. 

Yang membedakan secara radikal tipe organisasi ini dengan tipe organisasi sebelumnya ialah persoalan inklusivitas. Organisasi seperti PPI memiliki inklusivitas yang tinggi dalam keharusannya untuk mengakomodasi seluruh diaspora Indonesia di Jerman yang berprofesi sebagai mahasiswa dan sejenisnya. Bila mau dihubungkan dengan tipe-tipe organisasi sebelumnya, bisa disimpulkan secara menyederhanakan bahwa klub sosial memiliki batas inklusivitasnya dalam kecocokan personal, organisasi agama dalam kesamaan agama dan tingkat toleransi tiap-tiap organisasinya, organisasi inisiatif dalam kesamaan tujuan rasionalnya, sedangkan organisasi semacam PPI memiliki batas inklusivitasnya dalam kesamaan kewarganegaraan dalam bingkai status kemahasiswaan. Tingkat inklusivitas yang tinggi ini sejatinya merupakan ciri utama yang menstrukturasi tipe organisasi formal nasional semacam PPI.

Kelebihan yang dihasilkan akibatnya, tipe organisasi ini memiliki resource yang besar. Misalkan, PPI memiliki kapasitas untuk merangkul setiap diaspora Indonesia yang berkuliah di Jerman, mulai dari Ausbildung, S1, S2, S3, post-doc, dst. Pesona PPI bahkan tidak berhenti pada anggota aktifnya, namun juga alumninya, yang sering ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan organisasi yang ada. PPI juga terafiliasi dengan instansi-instansi kenegaraan seperti kedutaan besar maupun konsulat jenderal.  Sehingga, secara politik, PPI memiliki legitimasi representatif yang cukup untuk menjalankan politik keindonesiaan secara internal dalam pengembangan resource mahasiswa-mahasiswa Indonesia tanpa memandang stigmatisasi sosial, budaya, dan agama yang umumnya terjadi di Indonesia, maupun eksternal dalam mewakili Indonesia dalam menjalankan proyek-proyek bersama organisasi formal nasional maupun multinasional lain di Jerman. Selain politik itu, PPI juga memiliki legitimasi kultural untuk menjalankan aktivisme mahasiswa dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan yang diambil institusi-institusi pemerintahan di Indonesia. 

Akibat besarnya cakupan PPI Jerman, misalkan, diferensiasi organisasi otomatis terjadi untuk memberikan tangan-tangan baru dalam mewujudkan fungsi PPI. Diferensiasi ini terjadi pada ranah pusat-daerah dengan adanya PPI Pusat (Jerman) dan Cabang di kota-kota yang memiliki jumlah anggota mahasiswa Indonesia yang cukup. Entah yang mana yang berdiri duluan, apakah PPI Cabang dulu, atau Pusat, tidak menjadi soal. Yang menjadi soal adalah diferensiasinya, yang tentu mengakibatkan diferensiasi operasi dalam memenuhi fungsi-fungsinya; sesuatu yang seringkali kurang dipertimbangkan oleh para pengurus PPI Pusat maupun Cabang dalam membuat program kerja. Untuk fungsi seperti pengembangan kepribadian dan akademik, PPI Cabang akan lebih efektif dalam menjalankannya karena kemungkinan interaksi langsung yang banyak; program-program seperti tutorial ANP. Fungsi networking internal antarsiswa bisa dikerjakan oleh keduanya dengan perbedaan target; PPI Cabang akan lebih menggarap kohesi sosial antarsiswa di sebuah kota dengan program-program yang berisikan interaksi-interaksi langsung dan tatap muka, sedangkan PPI Jerman akan lebih menggarap hubungan semi-profesional antarpengurus-nya dan juga hubungan antara PPI Cabang. Di lain sisi, networking eksternal antarorganisasi akan lebih mudah dijalankan oleh PPI Jerman dengan legitimasi perwakilan resource yang lebih besar dan inklusif. Perlindungan dan pelayanan pelajar bisa dikerjakan oleh keduanya dengan konteks permasalahan yang berbeda; PPI Jerman akan lebih mengurus permasalahan yang berkaitan dengan kedutaan besar atau konsuler, sedangkan PPI Cabang akan memberikan pelayanan-pelayanan kemahasiswaan untuk kasus-kasus ringan yang dapat ditangani oleh pertemuan langsung. Advokasi kebijakan publik misalkan, akan jauh lebih efektif dilakukan PPI Jerman akibat legitimasi perwakilan resource yang lebih besar, yang dengan nama “Jerman”-nya lebih menarik untuk pihak-pihak yang di-adress atau diundang untuk ikut meng-adress persoalannya. Bila persoalan diferensiasi ini tidak dipahami dengan baik, maka terkadang akan dicetuskan program-program yang tidak pada porsinya; persoalan bimbingan psikologi, interaksi sosial, atau acara olahraga antarsiswa yang seharusnya lebih bisa difokuskan oleh PPI Cabang tidak perlu dikerjakan oleh PPI Pusat, kalaupun PPI Pusat tetap berperan, fungsinya hanya sebagai jembatan saja, tapi pelaksananya dan fasilitatornya tetap pada Cabang. Bila persoalan diferensiasi ini dipahami, maka kooperasi antara PPI Pusat dan Cabang yang semakin erat juga akan lebih membuahkan program-program yang lebih tepat sasaran dan yang proses manajerial dan operasionalnya lebih efektif. Bukan otonomi PPI Cabang yang sebenarnya harus dikonsepkan, melainkan kooperasi PPI yang terdiferensiasi antara PPI Pusat dan Cabang. Fleksibilitas dalam proses recruitment dan pemakluman-pemakluman dalam kinerja organisasi PPI menjadi menarik juga untuk dibahas. Meskipun terjadi proses seleksi yang cukup ketat, standar informal yang menjadi motor klub sosial tetap menjadi praktik yang umum dalam pemilihan anggota. Hal ini menunjukan semi-profesionalitas organisasi kemahasiswaan seperti PPI di Jerman, di mana para pengurusnya tidak semua terdiri dari orang-orang yang berpengalaman untuk departemen-departemen terkait, namun juga terdiri dari orang-orang yang inginberpartisipasi. Untuk itu pemakluman menjadi penting untuk mengadakan fungsi pelatihan internal yang memungkinkan proses pembelajaran bagi para anggota yang benar-benar baru.