Skip to content

Reformasi Tak Pernah Benar-Benar Hidup

Oleh: Ar Royyan Mas

Kabar ulang tahun ke-27 reformasi menggema di lini masa. Angka 27 kerap dianggap simbolis. Dalam dunia musik, usia ini menjadi batas nafas terakhir bagi figur-figur besar seperti Jimi Hendrix, Kurt Cobain, hingga Amy Winehouse. “Klub 27” istilahnya. Namun, jika musisi-musisi tadi di 27 tahun usianya telah meninggalkan mahakarya agung, maka di dunia politik Indonesia, Reformasi seperti lahir namun tak bernyawa.

Amanat reformasi memang sudah lama berada di titik rawan: hidup segan, mati tak mau. Apakah cita-cita reformasi masih berdenyut? Atau memang sejak awal ia hanya bayang-bayang harapan, bukan kenyataan?

Mari kita kembali ke enam tuntutan utama mahasiswa di tahun 1998, kala menggulingkan Presiden Soeharto:  Mengadili Soeharto dan kroninya; Amandemen UUD 1945; Penghapusan dwifungsi ABRI; Otonomi daerah seluas-luasnya; Penegakan supremasi hukum; Penghapusan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Dua dekade lebih berselang, mari kita refleksikan situasi negeri kita hari ini. Mahasiswa yang dulu turun ke jalan, menyampaikan aspirasi kritis, sudah berubah menjadi pragmatis, berdansa ria di panggung politik. Tagar reformasi dikorupsi sempat ramai digulirkan di media massa. Tapi apakah itu benar? Bisa jadi, reformasi tidak dikorupsi, karena sejatinya memang tidak pernah benar-benar diwujudkan. 

Mengadili Soeharto?

Alih-alih diadili, Soeharto justru akan dijadikan pahlawan. Di tengah sorak-sorai pembangunan era Orde Baru, kita sering lupa bahwa jargon pembangunan-isme yang dimaksud itu dilandasi di atas pembunuhan massal tahun 65, praktik penghilangan paksa, represi masyarakat sipil, depolitisasi sipil dan KKN. Pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati segelintir kelompok saja, sedangkan rakyat hanya kebagian cipratannya. Apakah Soeharto sosok yang layak diberi tanda jasa atas kerusakan berkepanjanan yang ia sebabkan untuk negeri ini?

Dwifungsi ABRI: Tidak pernah benar-benar hilang

Tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI sempat nampak terwujud. Militer seperti kehilangan taring di kancah politik, menyisakan pemain-pemain tunggal dengan kuasa supreme. Tapi kini, kekuatan militer dalam ranah politik praktis sedang dihidupkan kembali. Usia pensiun ditambah, keterlibatan perwira di ruang sipil dibuka lebar, dan operasi non-perang dibuat gamang lewat revisi UU TNI. Sebelum revisi UU TNI 2004, personel aktif militer memang boleh menjabat di 10 kementerian/lembaga. Penambahan empat kementerian/lembaga, semestinya tidak mencemaskan, ujar sebagian orang. Namun kita patut mewaspadai isi hati penguasa, kala mengajukan revisi UU TNI. Proses yang meresahkan masyarakat karena minim partisipasi dan diwarnai dengan mansplaining masyarakat yang katanya kemakan misinformasi dan hoaks, telah menjadi bukti bahwa pemerintah sudah tuli dan tidak punya simpati.

Retorika otonomi daerah

Wacana otonomi daerah sudah lama terasa retoris. Daerah diberi tanggung jawab, tapi tidak diberi daya untuk menghidupi dirinya sendiri. Pemerintah daerah dibuat tak berdaya menghadapi eksploitasi sumber daya. Ketika hutan-hutan dilucuti, entah untuk proyek swasembada pangan ataupun ekstraksi sumber daya alam, masyarakat adat disisihkan, dan hasil ekstraksi dibawa ke Jakarta untuk dipoles menjadi angka pertumbuhan ekonomi tahunan yang nir-makna dan nir-dampak terhadap masyarakat luas.

Supremasi Hukum: No Viral, No Justice

Keadilan di negeri kita berbasis viral-sentris. Tanpa perhatian publik, badan penegak keadilan tak akan bergerak. Aparat negara hanya akan diam dan bersikap normatif, jika tak dituntut kebisingan publik. Seakan-akan hukum sudah tidak lagi berlandaskan prinsip dan norma hukum, tapi ke-viral-an.

KKN? 

Korupsi bukan lagi sekadar penyakit, melainkan pola. Lembaga anti-rasuah sudah dibuat mandul. Mau bertindak cepat atas kasus korupsi pun harus izin dulu. Kasus korupsi tampak hanya menjadi instrumen penguasa belaka, menangkap siapa saja yang berada di seberang penguasa. Sulit untuk menghilangkan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Demokrasi kita dilandasi pendekatan transaksional antara politisi dan rakyat. Suara masyarakat mudah dibeli dengan seonggok serangan fajar dan paket bansos.

Saatnya refleksi

Bisa jadi, reformasi memang belum pernah hidup. Ia hanya diklaim lahir, diagung-agungkan, tapi belum pernah dibesarkan. Prosedur demokrasi kita terus berjalan, namun tidak substansial. Partisipasi publik terbatas pada bilik suara, bukan karena kesadaran politis yang dialektis dan kritis.

Oleh karena itu, mari kita bangkit. Politik bukan sekadar urusan segelintir elit. Kita tidak boleh hanya datang lima tahun sekali ke bilik suara dan sisanya diam begitu saja. Situasi negeri ini tercipta karena keputusan yang diambil secara politis, sehingga perubahannya juga harus dilaksanakan secara politis. Aristoteles sudah menegaskan bahwa manusia adalah makhluk politik. Maka bersikap kritis dan mengambil tindakan politis seharusnya tidak dicap berlebih, apalagi dicap aktivis. Namun sudah menjadi kewajiban kolektif masyarakat suatu negara demokratis.  

Mari renungkan tanggung jawab kita. Menjadi spectator sandiwara politik yang bobrok berarti turut menyokongnya. Retorika yang digaungkan di publik harus dapat mengonversi spectator menjadi spect-actor. Partisipasi aktif sipil harus dimulai dari menyadarkan diri, membangun refleksi, lalu melahirkan aksi. Karena aksi tanpa refleksi hanyalah aktivisme sesaat, dan refleksi tanpa aksi hanyalah omong kosong bermodalkan jargon nir-makna. 

Rapatkan barisan, bangun kesadaran. Hidup reformasi. Panjang umur perjuangan. Kita masih berada di titik permulaan perjuangan. 

Köln, 21 Mei 2025

Sumber foto: https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/indonesia-has-long-way-to-go-two-decades-after-reformasi-jakarta-post