Skip to content

PPI Jerman Untuk Papua

“Indonesia merupakan negara demokrasi yang dewasa di dalam fungsi-fungsinya, bersama dengan komitmen yang sangat tinggi terhadap promosi dan perlindungan HAM di semua level, hampir mustahil pelanggaran HAM terjadi tanpa diketahui dan diperiksa.”

Demikian yang dikatakan oleh diplomat muda Nara Masista Rakhmatia dua tahun silam di sidang PBB KTT ke 71 mengkritik keras negara-negara pasifik yang diduga mengganggu kedaulatan negara karena mengungkit isu-isu pelanggaram HAM dan wacana kemerdekaan Papua Barat. Beliau juga mengatakan Indonesia adalah pendiri dewan HAM PBB dan inisiator komisi HAM antar kawasan ASEAN dan komisi IOC permanen independen HAM, serta sudah meratifikasi instrumen-instrumen utama HAM yang terintegrasi didalam hukum nasional.

Kala itu pada tanggal 1 desember wacana kemerdekaan oleh para intelektual Papua dilaksanakan dengan dukungan Belanda dibentuklah Nieuw Guinea Raad sebuah badan politik unikameral yang sampai hari ini kejadian tersebut masih dikenang baik, namun setahun setelahnya atas nama penumpasan pengaruh imperialisme Belanda di kawasan Indonesia melalui operasi Trikora yang disahkan oleh Presiden Soekarno dengan bantuan Amerika Serikat akhirnya Papua berhasil menjadi bagian dari wilayah negara kesatuan tersebut.

Ketika kekuasaan Orde Lama jatuh akibat sikap otoriter pemerintah dan pemberontakan, pemerintahan Orde Baru di tahun 1967 mengimplementasikan prinsip ekonomi pasar bebas sekaligus memberikan PT. Freeport ijin tambang di Tembagapura yang dahulu sudah diduga oleh pelancong-pelancong Eropa akan kekayaan alamnya, padahal referendum Papua menurut kesepakatan resmi New York Agreement masih akan dilaksanakan di tahun 1969. PT Freeport memperoleh profit sangat besar yang menjadikan perusahaan itu menjadi perusahaan tambang gigantik dan salah satu sumber penerimaan pajak terbesar negara. Bukan main banyaknya hasil bumi dan uang yang ditransfer oleh provinsi Papua ke Jakarta, meski demikian index pembangunan manusia disana memiliki angka terendah.

Selama 57 tahun Papua menjadi bagian dari Indonesia selain pembangunan yang selalu macet, penggantian identitas disetiap rezim secara arbitrer, gizi buruk melanda, minimnya tenaga kesehatan dan pendidikan, transmigrasi besar-besaran yang secara tidak langsung mengarah kepada perampasan lahan, hak-hak dasar bagi orang Papua juga tidak benar-benar dijamin terutama kebebasan berpolitik dan berpendapat yang seringkali dianggap separatis ketika mengutarakan pendapat, tidak heran pula jika orang Papua mengalami banyak perlakuan rasisme dari orang Indonesia non Papua – karena koteka dan kesukuannya mereka disebut “tidak beradab”, gemar mabuk (bahkan monyet), sulit dididik, berkulit gelap dan praduga lainnya yang tidak ditelaah dengan bijak. Tidak banyak yang dapat diketahui tentang Papua berhubung banyaknya jumlah aparat bersenjata disana sedang berpatroli – kedatangan wartawan nasional maupun internasionalpun dibatasi dan dijaga ketat. Bahkan pasca huru-hara wisma mahasiswa Papua di Surabaya diikuti dengan demonstrasi di Jayapura, Manokwari dan Sorong baru-baru ini pemerintah malah bertindak semakin agresif dengan memperlambat jaringan internet di Papua dan bereaksi “saling memaafkan” serta aparatnya dengan menambah jumlah personel atas nama keamanan.
———————————
Setelah mendengar kritik dari Nara, apa Indonesia sebagai negara demokrasi yang dewasa selama 57 tahun sampai hari ini sudah berhasil menjadikan orang Papua sebagai bagian dari warga negara Indonesia? Mengapa keterlibatan orang papua hampir tak terlihat? Solusi apakah yang lebih baik untuk Papua, Papua yang merdeka atau Papua sebagai Daerah Istimewa seperti Aceh dan Yogyakarta? Apakah pembangunan infrastruktur secara struktural yang dilakukan pemerintah selama ini sudah optimal atau jangan-jangan tak lebih daripada bentuk kontinuitas kejahatan struktural? Atau ada yang keliru dari awal konstruksi sosial dalam sejarah Indonesia yang selama ini diyakini? 
Silakan teman-teman berdiskusi secara santai 🙂

*Penyusun Narasi: revoltierende13