”Freiheit nur für die Anhänger der Regierung, nur für Mitglieder einer Partei – mögen sie noch so zahlreich sein – ist keine Freiheit. Freiheit ist immer Freiheit des anders Denkenden.”
-Rosa Luxemburg (zur russischen Revolution 1918)
Selain revisi RUU KPK baru-baru ini yang sudah disahkan DPR dan pemerintah dan pasal-pasal yang memberatkan pihak perempuan, masih ada revisi (alih-alih dekolonialisasi) pasal-pasal lain (yang direncanakan akan secepat mungkin disahkan) dalam hukum pidana yang tidak kalah pentingnya yang menyangkut kehidupan bernegara yaitu dalam
pasal 598 ayat 1 yang berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana.”
dalam pasal 304
“Setiap orang di muka umum yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesiea dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V”
dalam pasal 306
“Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apapun dengan maksud meniadakan keyakinan seseorang terhadap agama apapun yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana paling lama 4 tahun atau denda paling banyak kategori IV (Rp 200juta)”
dan yang paling notorius pasal 188 berbunyi:
Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran kommunisme/marxisme-leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun
dalam pasal 240
“Setiap orang yang dimuka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah yang sah yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana denda paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”
dalam pasal 241
“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V”
Sejak manusia sudah mulai menulis sejarahnya sendiri sudah muncul banyak kisah tentang manusia membungkam mulut manusia lainnya atas dasar ketidak setujuan mulai dengan cara kekerasan (menggunakan fungsi aparat), persekusi (dengan mengandalkan paradigma yang berlaku di suatu masyarakat tertentu yang bertujuan untuk menyerang individu atau grup tertentu) sampai kepada kodifikasi hukum. Suka tidak suka konflik adalah bagian dari hidup, ia jauh lebih intim dan setia daripada orang-orang yang seseorang sayangi. Konflik membelah, tanpa disadari namun juga menciptakan, konflik adalah guru tanpa pamrih. Ia membentuk kutub dengan istilah antagonis dan protagonis, tapi siapa yang paling tahu bahwa kebenaran dipihak antagonis atau protagonis? Lagipula siapa yang berhak untuk melabeli protagonis dan antagonis jika bukan dari kedua kubu tersebut atau dari orang-orang yang ingin terjun terlibat? Dalam berdemokrasi dirkursus rasional dibutuhkan bagi warga negara untuk membuktikan bahwa sebuah argumentasi mampu menemukan kecacatan dari argumentasi yang sudah dipercaya. Diskursus rasional hanya dapat hidup di ruang bebas dan kebebasan sudah menjadi syarat paling utama (notwendige Bedingung atau sudah hak) dalam negara hukum (Rechtsstaat), bahkan kebebasan itu sudah bagaikan udara bagi kreatifitas. Seperti manusia dan seluruh mahluk hidup yang akan mati akibat udara tercemar, kreatifitas redup dalam bungkaman kuasa.
Berangkat dari polemik RKUHP ini menyodorkan pertanyaan yang filosofis dengan kata lain yang sangat mendasar seperti apa itu kebebasan? Batasnya apa? Sepenting apa? Dan apa syaratnya? Silahkan teman-teman dengan sebebas-bebasnya menyampaikan dan beradu argumentasi dalam Reich der Freiheit!
(narasi oleh: revoltierende13)
Tujuan yang ingin dicapai dari Pernyataan Sikap PPIJ:
1. Menyatakan sikap PPIJ yang mungkin akan sampai ke pemerintah, DPR, dan juga pihak-pihak yang terkait dan berharap mereka mempertimbangkannya.
2. Bila poin (1) tidak tercapai setidaknya Pernyataan Sikap PPIJ dapat menjadi edukasi bagi kita yang membacanya agar peduli dengan situasi sosial politik yang terjadi.
Pernyataan Sikap PPI Jerman
DPR dan pemerintah Republik Indonesia akan segera mengesahkan RUU KUHP di rapat paripurna RUU KUHP seakan ingin disahkan terburu-buru di akhir masa jabatan meskipun secara isi masih memuat pasal-pasal karet yang berpotensi mengancam nilai-nilai demokrasi yang berakibat pada ketidakadilan. Langkah keterburu-buruan ini mengabaikan begitu banyak kritik dan saran esensial dari masyarakat padahal masyarakat luaslah yang akan terkena dampak langsung dari pengesahan RUU KUHP ini.
Menanggapi rencana pengesahan RUU KUHP oleh DPR dan pemerintah di rapat paripurna PPI Jerman menyatakan sikap:
1. Menolak pasal pasal dalam draf RUU KUHP yang mencerminkan pemerintahan otoriter yang enggan dikritik di mana pasal pasal ini seakan melupakan sejarah Indonesia di masa kemerdekaan dan masa reformasi, yaitu pasal 219 mengenai “Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wapres” pasal 241 mengenai “Penghinaan terhadap Pemerintah dan pasal 354 tentang Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara”.
2. Menolak pasal-pasal dalam draf RUU KUHP yang mengancam kebebasan menyampaikan pendapat dan menafikkan keanekaragaman perspektif individu dalam melihat kehidupan yaitu pasal 304 pasal 305 pasal 306 mengenai “Tindak Pidana Terhadap Agama” dan pasal 188 mengenai “Penyebaran Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme”.
3. Menolak pasal-pasal karet dalam draf RUU KUHP yang berpotensi memudahkan kriminalisasi individu karena ketidakjelasan pendefinisian, di mana seharusnya konflik-konflik ini dapat diselesaikan secara perdata, yaitu pasal 598 mengenai “Tindak Pidana Berdasarkan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat” dan pasal 440 tentang “Tindak Pidana Penghinaan”.
4. Menolak pasal dalam draf RUU KUHP yang dapat mengkriminalisasi individu yang sebenarnya merupakan korban sistemik dari mafia jalanan dan ketidakmampuan pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat, yaitu pasal 432 tentang “Penggelandangan”.
5. Menolak pasal-pasal dalam draf RUU KUHP yang berpotensi mengakibatkan ketidakadilan baru karena pengecualian hukuman yang masih diskriminatif, yaitu pasal 470 pasal 472 tentang “Pengguguran Kandungan” dan pasal 251 tentang “Penawaran untuk Melakukan Tindak Pidana”.
6. Menolak pasal dalam draf RUU KUHP yang terlalu mencampuri hak dan privasi individu yang seharusnya dihormati, yaitu pasal 419 tentang “Perzinaan”.
7. Menolak pasal dalam draf KUHP yang menganggap remeh peran keluarga dan masyarakat dalam pendidikan seksual, bahkan berpotensi mengkriminalisasi mereka, yaitu pasal 414 dan pasal 416 tentang “Mempertunjukkan Pencegah Kehamilan dan Pengguguran Kandungan”.
8. Berdasarkan latar belakang dan poin poin tersebut PPI Jerman menuntut DPR dan pemerintah untuk menunda pengesahan RUU KUHP, meninjau ulang pasal-pasal dalam draf RUU KUHP secara lebih rasional melalui dialog dengan masyarakat juga para ahli dan lebih transparan dalam pembahasan RUU KUHP.
Demikianlah pernyataan sikap dari PPI Jerman. Salam perhimpunan!