19 Maret 2025 – Gabungan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) dari berbagai negara di dunia menggelar konferensi pers untuk menolak Rancangan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Dalam agenda tersebut, mereka menaruh perhatian serius pada berbagai isu mulai dari proses penyusunannya yang tergesa-gesa sehingga menimbulkan kecurigaan, dan dari aspek substansinya, yang dinilai dapat mengancam demokrasi.
Wildan Ali selaku Ketua PPI Australia menyampaikan bahwa proses legislasi yang dilakukan oleh DPR RI dan pemerintah terburu-buru dan jauh dari partisipasi publik.
“Pembahasan RUU TNI dilakukan secara tertutup dan terburu-buru tanpa melibatkan koalisi masyarakat sipil yang menimbulkan kesan ada yang disembunyikan. Lebih lanjut, keputusan untuk melakukan rapat di hotel mewah selama akhir pekan merupakan sesuatu yang anomali apalagi di tengah kebijakan pemerintah yang menerapkan efisiensi anggaran.” ujar Wildan, Rabu (19/3/2025).
Selain itu, dalam kesempatan yang sama Vadaukas Valudzia yang merupakan Sekretaris Jenderal PPI Belanda menyinggung substansi dinaikkannya batas usia pensiun. Menurutnya, dengan menaikkan batas pensiun TNI akan berakibat terhadap perlambatan proses kaderisasi/regenerasi dalam tubuh militer.
Turut hadir pula dalam agenda ini Yuan Anzal yang merupakan Ketua PPI Denmark. Dalam pernyataannya, ia menyebut bahwa substansi yang tercemar dalam RUU TNI sebagai ancaman terhadap demokrasi.
“Kehadiran Pasal 7 ayat (2) angka 15 RUU TNI memperkenankan TNI untuk terlibat dalam penanganan ancaman siber. Hal tersebut memunculkan problematika yang krusial tanpa adanya penjelasan yang relevan. Hal ini akan mengancam sistem demokrasi sebagaimana yang terjadi pada kasus di Papua pada tahun 2019 perihal internet shutdown.” Ujar Yuan.
PPI Jerman yang diwakili oleh Muhammad Nur Ar Royyan Mas turut hadir dalam konferensi pers tersebut. Ia menjelaskan bahwa hadirnya TNI di jabatan sipil pasca berlakunya RUU ini akan mengaburkan mekanisme pertanggungjawaban pidana ketika TNI melakukan pelanggaran terhadap hukum sipil, seperti halnya kasus korupsi Basarnas. Royyan pun menegaskan bahwa terdapat undang-undang lain yang lebih mendesak untuk direvisi, seperti UU Peradilan Militer.
Sementara itu, Aulia Mutiara Syifa selalu perwakilan dari PPI UK menyebut “Perluasan jabatan dan penempatan TNI aktif pada 6 kementerian/lembaga, yang sebelumnya telah dijalankan pada 10 kementerian/lembaga, akan membawa TNI dalam keleluasaan melakukan praktik dwifungsi TNI/ABRI untuk mencampuri penyelenggaraan atau administrasi pemerintahan.”
Syifa juga menggarisbawahi bahwa budaya militeristik akan mempersempit ruang aspirasi publik yang bersandar pada pendekatan sipil yang demokratis dan berbasis pada sistem merit, yang dapat berujung pada pelanggengan usaha untuk memberangus demokrasi yang sehat.
Di akhir konferensi pers ini, Ketua PPI Jepang, Prima Gandhi mewakili seluruh PPI Negara meminta pemerintah dan DPR untuk menghentikan pengesahan RUU TNI dan melakukan kajian komprehensif dengan melibatkan partisipasi publik, akademisi, dan masyarakat sipil. Selain itu, PPI dari berbagai negara ini menghimbau masyarakat untuk tetap kritis dan aktif mengawal proses legislasi yang berpotensi mengancam demokrasi.
Pernyataan selengkapnya dapat diakses pada kanal YouTube PPI Belanda: https://www.youtube.com/live/PaQgfNvlAZk?si=lGHiJ9kkhY4wGe-P
Rabu, 19 Maret 2025
Diinisiasi oleh PPI Belanda, berkolaborasi dengan PPI Australia, PPI Denmark, PPI Jepang, PPI Jerman, PPI Prancis, PPI UK.
Rilis pers ini juga dipublikasikan di laman situs PPI Belanda.