Skip to content

Mengurai Persoalan dalam Timbunan Sampah

Ditulis oleh Laras Prasakti | Mahasiswa S3 Teknik Material RWTH Aachen.

Dalam sebuah film animasi ternama, digambarkan bahwa masa depan, manusia telah berhasil menjajaki peradaban antariksa yang sangat modern. Setelah durasi berjalan, kita mulai paham bahwa keberhasilan tersebut dilatarbelakangi oleh bumi yang telah berubah. Di era itu, bumi bukan lagi planet biru yang indah, tetapi bongkahan masif berisikan sampah. Pemandangan yang tertangkap hanyalah pegunungan sampah yang membentang bagai pegunungan alpen. Sunyi, suram, tandus, tanpa kehidupan. Balutan romantisme dan komedi memang bisa mengobati keresahan penonton melihat gambaran bumi dalam film tersebut. Namun, meminjam istilah yang dipakai Dr. Strange, bisa jadi gambaran tersebut adalah alternate possible future pada bumi kita saat ini.

Persoalan pengelolaan sampah memang masih menjadi tantangan di seluruh dunia. Diperkirakan hanya sekitar 14% sampah yang didaur ulang dan dimanfaatkan (Kurniawan, dkk., 2022). Tak hanya di negara-negara berkembang, masih rendahnya laju daur ulang juga dialami oleh negara-negara lain, misalnya, negara-negara Uni Eropa, Amerika, Jepang dan Korea Selatan (Kurniawan, dkk., 2022). Kondisi tersebut pada akhirnya masih bertumpu pada penggunaan landfill untuk menangani sampah-sampah yang tidak terolah kembali. Di Indonesia, sampah yang dihasilkan setiap hari, biasanya akan dikumpulkan, diangkut, diproses dan berakhir di tempat pembuangan sampah akhir. Di dalam alur tersebut, terdapat istilah Tempat Penampungan Sementara (TPS), Tempat Penampungan Sementara Reduce-Reuse-Recycle (TPS 3R), Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) dan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) (waste4change.com).

Idealnya, istilah-istilah tersebut merupakan proses berkesinambungan yang bertujuan meningkatkan laju daur ulang, mengefisienkan pengolahan dan meminimalkan buangan di TPA. Fasilitas TPA atau landfill diperlukan karena terdapat sampah yang tidak akan dapat dihilangkan sepenuhnya, meskipun melalui daur ulang yang canggih atau minimalisasi produksi sampah dari sumbernya. Konsep landfill pun tidak serta-merta membiarkan sampah yang diterima begitu saja. Terdapat berbagai macam teknologi landfill, tetapisetidaknya, pilihan untuk landfill dapat dibagi menjadi 3 jenis. Dua jenis pertama, yaitu sanitary landfill dan controlled landfill, bertujuan untuk mengisolasi sampah dari lingkungan dengan kompleksitas sistem yang berbeda. Secara sederhana, isolasi dilakukan melalui penimbunan sampah secara terstruktur di dalam cekungan besar dalam tanah yang telah dilapisi. Desain tersebut diharapkan dapat mencegah tersebarnya kontaminan dalam sampah melalui udara dan rembesan di dalam tanah. Jenis yang ketiga adalah open dumping, di mana sampah ditampung di area terbuka. Saat ini, jenis ketigalah yang menjadi penerapan terbanyak di lapangan. Walaupun semestinya, jenis tersebut tak semestinya menjadi pilihan.

Kondisi berbagai TPST/TPA dapat diakses melalui website Sistem Informasi Pengelola Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam website tersebut, tertera jumlah sampah yang masuk ke suatu landfill berkisar dalam skala ribuan hingga ratusan ribu ton per tahun. Lebih lanjut, terdapat menu yang sedianya menunjukkan alokasi sampah yang terkelola dengan berbagai cara di landfill tersebut. Namun demikian, jumlah tersebut sering tertera sebagai angka “nol”, atau dengan kata lain, tidak dilakukan pengelolaan (atau setidaknya, tidak tercatat). Adapun yang tidak berisi angka “nol”, berisi jumlah recovery yang dilakukan oleh pemulung, dengan nilai yang tidak sebanding jika disandingkan dengan jumlah sampah yang masuk. Dari penelusuran singkat tersebut, setidaknya berkorelasi dengan kondisi tumpukan-tumpukan sampah yang mungkin sering kita jumpai di TPA/TPST. Dari berbagai media nasional pun, tak jarang informasi mengenai aneka permasalahan berkaitan dengan landfill sampai ke telinga kita.

Secara desain, fasilitas-fasilitas TPA besar di Indonesia pada umumnya dimaksudkan sebagai sanitary landfill, atau paling tidak controlled landfill (Meidiana dan Gamze, 2010; Munawar, dkk., 2018). Selain itu, keinginan pengelolaan sampah yang baik juga telah tertuang dalam Undang-Undang No 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Kondisi aktual yang relatif jauh dari ideal ini terjadi akibat berbagai permasalahan. Salah satu yang paling mendasar adalah biaya, sebagaimana biasa ditemui pada penerapan teknologi skala besar. Agar dapat “memenuhi” kriteria sanitary atau controlled landfill, misalnya, dibutuhkan tanah dalam jumlah besar untuk menimbun sampah secara berkala. Biaya-biaya yang muncul untuk penyediaan tanah menjadi hambatan utama tercapainya pemenuhan kriteria tersebut. Anggap jika ketersediaan tanah tidak menjadi soal, proses pekerjaan di area landfill membutuhkan pembagian area-area kerja agar dapat efisien. Dalam hal ini, aspek jumlah sumber daya dan kondisi infrastruktur menjadi tantangan. Apabila diasumsi bahwa tidak ada masalah di area operasi landfill, fasilitas pelengkap, misalnya pengolah air lindi atau penampung gas metana masih perlu untuk dibangun dan dikelola pula. 

Konsep neraca massa menjelaskan hubungan antara jumlah massa yang masuk, keluar dan terakumulasi dalam suatu sistem. Matematika sederhana akan menuliskan konsep ini dengan “jumlah masuk – jumlah keluar = jumlah terakumulasi”. Melalui logika sederhana, kita bisa menerka bahwa jika jumlah masuk lebih besar daripada yang keluar, tentunya jumlah yang terakumulasi akan menjadi semakin besar. Jika kerangka berpikir ini kita terapkan pada landfill yang bertindak sebagai “akumulator” dalam sebuah sistem neraca sampah berskala masif, jumlah “masuk” dan “keluar” adalah yang menjadi fokus kita untuk menangani kondisi landfill saat ini yang sudah terlanjur tidak optimal. Upaya-upaya di kedua titik tersebut perlu menjadi tindakan serius sembari perbaikan existing landfill dan pembuatan landfill baru dilakukan. Konsep daur ulang, meskipun terkesan cliché karena berulang kali terdengar, merupakan hal krusial untuk dilakukan. Desentralisasi pengolahan sampah di kelompok-kelompok wilayah atau masyarakat yang lebih kecil juga sangat potensial, mengingat berbagai proyek teknologi inovatif pengolah sampah biasanya lebih mudah dilakukan dan dipelihara pada skala kecil – menengah. Gerakan-gerakan kecil di area hulu ini akan berdampak signifikan jika dimulai serentak dan berkelanjutan. Di sisi lain, aspek “jumlah keluar”, telah memiliki beragam teknologi untuk mengurai timbunan sampah di landfill. Proses dengan incinerator, misalnya, yang secara mudah membakar beragam sampah hingga menyisakan 10-20% volumenya saja, dapat menjadi pilihan. Dengan proses sortir yang tepat, nilai bakar sampah bisa ditingkatkan, dan dapat menjadi sumber energi untuk operasi maupun masyarakat sekitar. Debu dari pembakaran bisa ditangkap dan dipadatkan menjadi material konstruksi. Teknologi penyerap CO2-nya pun telah tersedia dalam berbagai pilihan. Kesuksesan penguraian landfill kita, dapat dibilang, tergantung dari integrasi konsep-konsep tersebut.

(Persamaan neraca massa sederhana)

Berbagai konsep-konsep teknologi dan sistem ideal yang telah diceritakan di paragraf-paragraf sebelumnya bukanlah hal baru. Sebegitu seringnya hingga mungkin terdengar usang. Begitu pula dengan hambatan-hambatan yang mengganjal berbagai konsep tadi. Namun demikian, menghadapi permasalahan landfill bukanlah sebuah alternatif, melainkan hal yang absolut. Permasalahan ini tidak mudah, sekalipun untuk banyak negara maju. Hal yang tidak mudah sekalipun bukan berarti mustahil untuk dilakukan. Kita sudah tahu teknologinya, konsepnya dan efektivitasnya di lapangan. Setelah membaca tulisan ini, semoga kita menjadi bagian dari solusi. Kunci menghadapi tantangan dan mencapai hal-hal besar hanya 3 saja, dream big, start small, move consistently