Skip to content

Mama!

Ditulis oleh Siti Femi Amalia | Mahasiswa Master Global Food, Nutrition and Health Universität Bayreuth

Hari ini hari pertamanya lahir ke dunia. Belum tahu apa-apa, hanya menangis yang bisa dilakukannya. Sosok
penuh peluh menyambut haru mendekapnya. “Anakku…,” ucap sosok yang nantinya ia kenal sebagai Mama. 
Hari ini hari pertamanya mengeluarkan sepatah kata. “Maa-mm-maa,” tertatih ia mengucapkannya. Meski
begitu, ia tetap merasa bahagia. Karena dari sorot matanya, Mama juga terlihat bahagia. 


Hari ini hari pertamanya bersekolah. Karena ini dunia baru, awalnya ia merasa ogah. Belum lagi ia dan Mama
sementara harus terpisah. “Huu…huu…Mama…,” ia menangis tak sabar ingin pulang ke rumah. 


Hari ini hari pertamanya menginjak bangku SMA. Awalnya ia merasa ragu, apakah ia akan mampu melewati
masa putih abu-abu. Namun, peluk hangat dan tepukan lembut di pundak dari Mama menenangkannya.
“Pamit ya, Ma!” ujarnya seraya mencium tangan Mama. 


Hari ini pertama kalinya ia dan Mama berselisih. Ia tak suka Mama yang terlalu banyak melarangnya. Ia terluka
karena baginya Mama tidak mengerti dirinya. “Ah! Mama!” bentaknya emosi, lalu beralih keluar meninggalkan
Mama karena risih. 


Hari ini hari pertamanya meninggalkan rumah untuk berkuliah. Penuh gembira ia membayangkan betapa
serunya berkelana. Bertemu dan berkenalan dengan dunia yang serba baru baginya. Disaat yang bersamaan,
Mama terlihat enggan mengucap perpisahan. “Sudahlah Mama,” tuturnya berusaha menenangkan.


Hari ini hari pertamanya memulai pekerjaan. Ia terbenam dalam kesibukan dan tuntutan. Sesekali ia melirik
tulisan panggilan masuk dari Mama di layar telepon genggamnya. “Nanti ya, Ma.” Ia memutus sambungan
panggilan dan kembali sibuk dengan kegiatannya. Saat malam tiba, ia sudah merasa terlalu lelah untuk sekadar
menelepon Mama. 


Hari ini pertama kalinya ia merasa langit runtuh menimpa dunia. Mama sudah berpulang, sudah tiada. Kabar
yang sontak membuatnya terguncang, membuatnya tak berdaya. “Mama! Mama!” raungnya tak mampu
membendung air mata. Ia berlari panik meninggalkan semua. Dalam  benaknya hanya ingin pulang bertemu
Mama segera. 


Hari ini hari pertamanya hidup tanpa Mama. Tak  lagi ada yang memanggilnya ‘anakku’ dengan suara terindah
di dunia. Tak lagi ada sorot mata bahagia Mama yang dulu pernah menjadi sumber bahagianya. Tak lagi ada
peluk hangat dan tepukan lembut di pundak dari Mama yang menenangkannya. 


Melamun ia menatap rumah yang kini tanpa Mama. Tersadar ia bahwa ada banyak hal yang dilewatkannya.
Bahwa saat pamit bersalaman,  tangan kasar Mama mulai mengeriput dimakan usia. Bahwa setelah ia
membentak Mama, beliau diam-diam menyeka air matanya. Bahwa saat Mama enggan mengucap perpisahan,
yang beliau harapkan anaknya berjanji akan sesekali mengunjungi. Bahwa selagi ia beranjak dewasa, Mama
juga beranjak menua. “Mama…Mama…,” isaknya memanggil, berharap Mama kembali tetapi tentu saja nihil. 


Saat lahir ia tak tahu apa-apa tentang Mama. Saat beliau sudah tiada pun, ia masih belum tahu apa-apa
tentang Mama.  
P.S. The very fact that you still have parents means that you are gifted. Don’t take them for granted…

Motto Penulis: A poetaster. A rhymester. A versifier.

Sumber Foto: Agar Ibu dan Bayi Selamat – Sehat Negeriku (kemkes.go.id)