
RASA (Ramuan Aksara dan Suara): Sebuah pagelaran musikalisasi puisi
Oleh: Muhammad Nur Ar Royyan Mas
Lara, Merana, bukan hanya tajuk berita
Gersang nan Gaduh tiada waktu bersatu
Berikutlah potongan sajak puisi yang dituliskan oleh Azmi Hoffmann, dinyanyikan dengan nada lirih oleh Febriyani Haryanto, untuk membuka malam pagelaran musikalisasi puisi persembahan PPI Jerman dan Deutsch-Indonesische Gesellschaft e.V. Malam puisi RASA itu berhasil mengundang lebih dari 60 tamu yang memadati ruang remang-remang di Alte Feuerwache, Köln. Menampilkan enam pembaca puisi dan dua musikalisasi puisi, pementasan puisi diselimuti dengan rasa khidmat. Selain dapat mendengarkan dan menyaksikan lantunan syair puisi oleh penyair, audiens juga disuguhkan dengan kompilasi teks puisi dalam dua bahasa, bahasa Indonesia dan Inggris. Hal ini untuk memudahkan audiens yang bukan penutur bahasa Indonesia, untuk dapat memahami lantunan puisi yang dibawakan.
Melanjutkan pembacaan puisi pertama adalah Ayu Purwaningsih, yang mengambil sajak puisi Sapardi Djoko Damono berjudul “Hujan bulan Juni.” Pembacaan puisi tersebut ia bawakan bersama dengan iringan gitar oleh Alvenski Rafiola (Alfie). Melanjutkan malam puisi, Yos Osvaldo Estefan, membacakan puisinya berjudul “Orientasi.” Puisi tersebut merupakan karya yang ia tulis dalam bahasa Indonesia, yang kemudian ia bacakan juga terjemahannya dalam bahasa Inggris. Dalam puisinya, Yos, menyinggung disorientasi-nya sebagai seorang diaspora Indonesia di negeri asing, dan isu javasentris yang merupakan refleksi dari kehidupannya kala berpindah dari Sulawesi Utara ke Yogyakarta di usia muda.
Did you do it in the name of God?
Tampil sebagai solois dengan gitar, Tengku Rizki Zulkarnain membawakan lagu ciptaan Mustafa the Poet, seorang seniman dari Kanada, berjudul “Name of God.”
Mbo Aryani Willems kemudian melanjutkan dengan membaca karya puisinya berjudul “You are so complicated.” Puisi itu ia bacakan dalam bahasa Indonesia, kendati ia tulis mula-mula dengan bahasa Inggris.
Kamu itu sangat complicated.. aku dengar lagi kalimat itu.
Aku jawab..
Ya, ibuku Bumi bapakku Langit
Tubuhku terbuat dari debu Bintang dan siklusku seperti Bulan.
Kadang aku bisa menjelma menjadi Dewi Durga, Bhatari bertangan empat. Menyusui bayiku, sambil mengawasi anak yang lain bermain di halaman rumah. Sementara kaki kananku mengelus perut kucing diatas lantai. Bau kue pisang yang baru buat semerbak dari oven dan suara mesin cuci yang hampir selesai mengilustrasi semua adegan ini.
Betapa compli… complexnya diriku ini.
Decak kagum dan sorak sorai penonton menyambut puisi Mbo Aryani. Bait-bait puisinya ia bawakan dengan ekspresif, diiringi dengan bahasa tubuh yang memberikan interpretasi atas apa yang ia bacakan. Dalam puisinya, Mbo Aryani menolak disebut “ribet” sebagai bentuk pengejawantahan kompleksitas dan multidimensionalitas perempuan. Kendati sudah lama tidak menulis puisi dalam bahasa Indonesia, puisinya berhasil menggugah hati para audiens yang mendengarkan secara saksama.

Setelah rehat sejenak, acara kembali dilanjutkan pada pukul 17:00 waktu setempat. Lena Simanjuntak, yang merupakan ketua DIG e.V., membacakan karya puisinya dengan judul “Doa Magdalena” yang ia tulis di tahun 1998, di tengah keriuhan Reformasi yang mengorbankan ratusan nyawa, khususnya perempuan. Lantunan puisi itu merupakan potongan dari karya tulis yang membutuhkan waktu satu jam untuk dibacakan. Inang Lena membawakan puisinya dengan menyanyikannya bak syair doa di hari Minggu. Ia cerita bagaimana ia telah berkelana ke berbagai tempat untuk membawakan puisinya.
Sri Tunruang, atau yang kerap disapa Tante Ning, kemudian membacakan puisi ciptaan Chalik Hamid, seorang eksil yang hidup dan wafat dalam pengasingan di negeri kincir angin. Puisi itu berjudul “KUBURAN KAMI ADA DI MANA-MANA.” Di samping Tante Ning, berdiri Febriyani Haryanto dan Dimas Novananda yang mengiringi dengan lagu Indonesia Pusaka. Iringan musik itu menambah kesan kelam dan lirih sang penulis yang menghabiskan hidupnya dalam sunyi keterasingan. Puisi ini merupakan dedikasi bagi 61 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Penulis menyindir bagaimana Indonesia, walaupun sudah lama merdeka, tidak bisa memerdekakan para eksil, yang terus berkelana dalam pengasingan. Tante Ning menceritakan bagaimana di luar negeri terdapat lebih dari 10 ribu eksil, dan 30% dari mereka tidak berkeluarga.
Menutup malam dan tampil memuncaki acara, kelompok seni yang menamakan dirinya sendiri “Canis” hadir dengan gebrakan yang syarat makna dan penuh rasa mencekam. Anggota grup memasuki ruangan dengan raungan bak seekor anjing yang memecah sunyi. Penulis puisi, Sukma Gama, hadir sebagai pemeran utama dalam pementasan seni tersebut. Teriakan, raungan, gerak-gerik mencekam mewarnai penampilan mereka. Bait puisi Suka Gama dibawakan dengan iringan musik oleh Alvenski Rafiola pada gitar, Tengku Rizki Zulkarnain pada drum, dan Bimo Ikan pada instrumen bass. Lantunan musik bercorak oriental tersebut kemudian diramaikan dengan kehadiran sosok penari, yang meramaikan musikalisasi puisi Canis. Scene keributan di tengah penampilan puisi itu dinarasikan dengan peragaan sesosok pria yang membaca koran, tertawa terbahak-bahak, yang kemudian teriak meronta-ronta akibat cengkraman si Canis.

Malam ditutup dengan riuh ekstase penonton. Anggota grup Canis sempat memberikan sedikit interpretasi dari penampilan mereka. “We are the 1%” ujar Tengku Rizki Zulkarnain, menekankan tanggung jawab moril diaspora Indonesia dengan privilese lebih sehingga mereka bisa menempuh pendidikan dan hidup di luar negeri. “Es ging so einfach” ujar Alvenski Rafiola, menceritakan momen pertemuan para aktor, penulis, dan musisi dalam satu sesi tunggal geladi. Raungan suara anjing menyambut penampilan mereka, sebagai bukti bahwa penampilan puisi mereka telah meninggalkan kesan yang kuat di dalam ingatan para audiens.
Acara RASA kemudian ditutup dengan mengundang para pembaca puisi untuk menceritakan sedikit tentang proses kurasi karya puisi yang mereka lalui, proses penulisan, interpretasi yang mereka dapatkan, dan pesan penutup dari pembaca untuk audiens.
Köln, 2 Juni 2025
Kredit foto: Ayubilla Hanna Putri, Fauzan Yafi Ariansyah