Tema: “Larangan Ekspor Bahan Mentah dalam Konteks Kebijakan Hilirisasi Industri dan Ekonomi Ruang Indonesia“
Latar Belakang
Forum PPI Jerman No. 7 berlangsung online hari Sabtu, 29 Juli 2023 lalu. Forum tersebut berniat menghadirkan dan mengundang perwakilan dari Kementerian Investasi/BPKM serta dua akademisi yang berkencimpung pada bidang ekonomi inovasi dan hukum perdagangan internasional. Pada akhirnya, Prof. Dr. Delik Hudalah, S.T., M.T., M.Sc., Guru Besar Perencanaan Wilayah dan Desa ITB, serta I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, S.H., M.Hum., LLM., PhD., pengajar di Fakultas Hukum Internasional Universitas Udayana menerima undangan kami.
Berikut poin-poin pembahasan dari kedua narasumber yang hadir.
Pembicara 1: I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja, S.H., M.Hum., LLM., PhD.
- Apakah Indonesia melanggar peraturan / hukum internasional untuk kebijakan larangan ekspor nikel dan bahan mentah yang juga hendak dilaksanakan untuk benda-benda mineral lainnya? Dan bagaimana hal tersebut dibuktikan?
- Bagaimana Indonesia mendirikan kerangka hukum bisnisnya dalam memanfaatkan investasi penanaman modal luar negeri (FDI) untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan industrinya (industrial policy), termasuk hilirisasi?
- Mengapa tren ekonomi nasionalisme atau nasionalisme sumber daya mengemuka dan terwakilkan pada kebijakan-kebijakan industrial terkait pemanfaatan sumber daya alam dari negara-negara yang kaya sumber daya alam seperti Indonesia, maupun negara-negara di Amerika Selatan?
Pembicara 2: Prof. Dr. Delik Hudalah, S.T., M.T., M.Sc.
- Bagaimana pengaruh positif kebijakan hilirisasi terhadap kondisi perekonomian nasional di Indonesia?
- Bagaimana dampak tata spasial pelaksanaan kebijakan hilirisasi nikel terhadap pengembangan ekonomi regional wilayah-wilayah kaya nikel dan wilayah-wilayah di mana infrastruktur hilirisasi dan industrialisasi dibangun?
- Apakah terjadi dampak negatif dari ekstraktivisme yang dilakukan di “garda terdepan” (frontier) dari kegiatan penambangan? Dalam arti eksternalisasi negatif yang harus ikut dipertimbangkan sebagai konsekuensi pembangunan?
Forum ini dimoderatori oleh Zulqadri Ansar, mahasiswa doktoral Land Management di TU München. Forum ini juga didukung oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) cabang Jerman, yang diketuai oleh Prof. Hendro Wicaksono, guru besar diaspora Indonesia di Jacobs University, Bremen, serta organisasi kemahasiswaan Kabinet KM Insitut Teknologi Sumatera, Lampung.
Landasan Teori
Departemen Riset, Pendidikan, dan Kajian strategis PPI Jerman periode kepengurusan 2022/2024, yang diketuai oleh Windi Kurnia, PhD Candidate Universität Braunschweig, mengangkat isu ini untuk menanggapi gugatan yang diajukan kepada WTO oleh Uni Eropa terhadap kebijakan larangan ekspor mineral Indonesia, khususnya nikel, dalam rangka kebijakan hilirisasi pengelolaan SDA di Indonesia. Berikut merupakan landasan teori yang menjadi latar belakang pelaksanaan Forum PPI Jerman No. 7, 29 Juli 2023 lalu.
Dalam sebuah forum bisnis, Presiden Jokowi mengingatkan lagi mengenai persoalan dilema ekonomi Indonesia. Kata beliau, pada zaman VOC dahulu ada yang namanya “tanam paksa”, dan hari ini di era – yang notabene disebut-sebut sebagai – kesetaraan dan hubungan internasional: “ekspor paksa”.
Memang, dalam sistem dunia (World System) menurut Wallerstein, yang menata pergaulan antarnegara semenjak paruh kedua abad lalu, setiap negara harus mempertahankan neraca perdagangan internasionalnya paling minimal untuk mempertahankan kestabilan nilai tukar mata uang nasional, yang berfungsi sebagai landasan pembangunan, mekanisme investasi, dan lainnya. Kalau ekonomi sebuah negara – apalagi negara berkembang – memburuk, maka banyak hal yang harus diimpor dari luar untuk memenuhi kebutuhan sebuah negara akan meningkat harganya berlipat-lipat, akibat turunnya kekuatan mata uang nasional, sehingga inflasi dalam negeri tak terhindarkan, yang pada akhirnya akan memberatkan kehidupan masyarakat biasa. Kita dapat mengamati dalam kehidupan sehari-hari kita di Indonesia, seberapa banyak kita dikelilingi oleh barang impor. Tentu, kita tidak selalu sadar, bahwa sehari-hari kita menulis dengan pensil buatan Jerman, pena buatan Jepang, di atas kertas yang diimpor dari Cina, yang sebelumnya di cetak dengan mesin dari Jerman, dan tinta dari Austria. Artinya, barang-barang yang sifatnya memenuhi keseharian kita harus kita impor, dan menambah angka minus dalam neraca perdagangan internasional kita. Mengapa Indonesia mengimpor barang-barang tersebut? Tentunya karena Indonesia tidak bisa memproduksi barang-barang tersebut secara mandiri.
Di sisi komoditas yang lain, seperti mineral, migas, dan lainnya, dinamikanya agak lain. Sebab banyak perjanjian dan hukum dagang internasional yang ditaati untuk menjalankan perdagangan tersebut. Yang ingin dicapai Indonesia dengan larangan ekspor bijih nikel mentah ialah peningkatan nilai ekspor Indonesia pada neraca perdagangan internasional. Bila bijih nikel diolah terlebih dahulu menjadi feronikel, nilainya akan bertambah 7 kali lipat (dibuktikan dengan peningkatan signifikan nilai ekspor sektor nikel dari era sebelum larangan ekspor 2019 dan sesudahnya 2021). Baru-baru ini, investasi pengolahan nikel dengan metode high pressure acid leaching (HPAL) dari Cina telah masuk, untuk memproduksi bahan-bahan olahan nikel yang digunakan untuk produksi baterai. Nilai tambah dari produk turunan tersebut berkisar 11 kali lipat, yang akan tercermin ke dalam peningkatan angka ekspor. Tak hanya itu, Kementerian BUMN juga telah merilis road map pengembangan industri baterai serta industri daur ulangnya untuk keperluan elektromobilitas, dengan dibarengi gerilya Kemenko Marves untuk menarik investasi pabrik mobil listrik di Indonesia.
Sejatinya hilirisasi diambil dari trilogi konsep upstream, midstream, dan downstream dari proses produksi industri-industri yang berkaitan dengan ekstraksi migas. Pemerintahan Indonesia mengartikulasikannya untuk nikel, dan berbagai komoditas ekstraksi lainnya, seperti batu bara (yang dapat dimurnikan dan dijadikan LNG, BBM, etanol, dst.), bauksit (bahan pembuat aluminium), dan lainnya. Pada intinya, seluruh upaya ini bertujuan untuk meningkatkan “kompleksitas” kegiatan penciptaan nilai atau ekonomi di Indonesia, yang berdampak pada semakin surplusnya neraca dagang internasional, penyerapan tenaga kerja ahli, dan berbagai efek tidak langsung dan terinduksi lainnya, yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan kualitas hidup setiap orang Indonesia dengan berkeadilan – sila kelima Pancasila. Daripada kata kebijakan “hilirisasi” mungkin kata “industrialisasi” dirasa lebih tepat, atau “peningkatan kompleksitas ekonomi” (Hausmann), supaya Indonesia juga terstimulasi untuk mengembangkan keseluruhan potensi produksi yang dimilikinnya.
Namun, upaya pelaksanaan industrialisasi dalam negeri ini tidak dilihat secara positif oleh negara-negara industrial lainnya, termasuk yang tergabung di Uni Eropa. Barangkali karena negara-negara tersebut sudah terlanjut berinvestasi di industri midstream dan downstream di dalam negeri sendiri maupun di negara lain, seperti Cina – yang menguasai lebih dari mayoritas kepemilikan, simpanan, dan pengolahan mineral-mineral langka (rare earth). Sehingga, Uni Eropa telah menggugat Indonesia melalui mekanisme pengadilan internasional, untuk menunjukkan ilegitimitas dari larangan ekspor nikel mentah dari Indonesia. Media-media internasional juga memberitakan kebijakan Indonesia ini sebagai upaya “proteksionisme” dan juga “nasionalisme sumber daya alam” (resource nationalism). Inilah yang menyebabkan Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan yang disampaikan pada paragraf pertama, bahwa Indonesia sedang dihadapkan pada sesuatu yang dahulu pada era kolonialisme mewujud pada “tanam paksa”, dan hari ini, di era globalisasi: “ekspor paksa”. Maka, tak heran bahwa banyak ilmuwan sosial yang masih menggunakan kata “neo-kolonialisme” atau “neo-imperialisme” dalam menyoroti beberapa jenis hubungan dagang dan internasional yang terjadi antara “negara maju” atau “pusat” dan “negara berkembang” atau “pinggiran” (periphery). Mekanisme yang dimaksud terwujud pada asimetri antara paksaan ekstraktivisme di negara berkembang, untuk mensuplai kegiatan industrial bernilai tambah tinggi di negara maju, sehingga kesejahteraan umum hanya semakin meningkat di negara-negara maju, sedangkan negara yang memiliki SDA-nya hanya mendapat terlalu sedikit (baca juga: “kutukan negara kaya sumber daya”), selain eksternalitas-eksternalitas seperti kerusakan lingkungan hidup dan perubahan dadakan struktur sosial masyarakat dari rural menuju buruh yang juga berdampak negatif.
Maka dari itu, kami menganggap bahwa perjuangan untuk peningkatan kompleksitas ekonomi Indonesia melalui hilirisasi sektor nikel juga merupakan perjuangan untuk menegakkan keadilan sosial secara global dalam rangka pemenuhan hak setiap negara untuk menjadi makmur, selain untuk perjuangan Indonesia dalam meningkatkan kemakmuran dan kualitas hidup tiap warganya.
Output Forum PPI Jerman
Output dari Forum PPI Jerman No. 7 merupakan unggahan video youtube dari acara Forum ini, serta Pernyataan Sikap serta press release penyerta. Keduanya dapat ditemukan pada laman website kami https://ppijerman.org/forum-ppij/. Pernyataan Sikap ini disusun oleh PPI Jerman, dan tidak mewakili baik para Narasumber, ICMI Jerman maupun BEM ITERA.
Penulis: Geraldus Martimbang, Kepala Departemen Riskastrat PPI Jerman 2023/2024.