Jerman, 7 Maret 2025 – PCI Muhammadiyah Jerman, bekerja sama dengan PPI Jerman dan Maarif Institute, menggelar webinar bertajuk “Diaspora Indonesia dan Pendidikan: Membangun Jembatan antara Indonesia dan Jerman.” Acara ini menghadirkan Prof. Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar Menengah (Mendikdasmen) Republik Indonesia, yang juga aktif di Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagai Sekretaris Umum.
Webinar ini dibuka dengan pemaparan oleh Menteri, lalu dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dan diskusi. Dalam pemaparannya, Menteri Abdul Mu’ti menyampaikan gagasannya untuk Kementerian Pendidikan Dasar Menengah dalam menghadapi berbagai problematika dalam sistem pendidikan nasional.
Pendidikan Sejak Dini dan Evaluasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Dalam paparannya, Prof. Abdul Mu’ti menekankan bahwa pendidikan harus dimulai sejak dini, bahkan sejak masa kehamilan. Mengacu pada konsep yang tertuang dalam buku Prenatal Classroom, ia menyoroti pentingnya nutrisi bagi ibu hamil dalam membentuk kualitas generasi mendatang. Dalam perspektif Islam, keyakinan bahwa nyawa (ruh) telah ditiup sebelum anak lahir juga menjadi landasan penting bagi kebijakan yang memperhatikan gizi ibu hamil. Beliau mengaitkan program MBG dengan kebutuhan gizi anak sejak di kandungan. Beliau mengharapkan MBG juga dapat disasarkan kepada ibu hamil, tidak hanya anak-anak di sekolah.
Manfaat Pendidikan dan Pengalaman di Luar Negeri
Hadir di tengah audiens yang kebanyakan merupakan diaspora Indonesia di luar negeri, Menteri Abdul Mu’ti menyoroti berbagai keuntungan menempuh pendidikan di luar negeri, di antaranya:
- Penguasaan bahasa asing yang meningkatkan daya saing global.
- Wawasan luas dan pengalaman internasional yang membuka perspektif baru dalam berpikir.
- Kesempatan membangun koneksi global yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan karier dan kontribusi bagi Indonesia.
- Masyarakat yang majemuk di luar negeri dapat membentuk pribadi dengan pikiran yang lebih terbuka.
- Ia juga mengingatkan bahwa banyak tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia, seperti Bung Hatta, menimba ilmu serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari luar negeri. Oleh karena itu, meskipun berada di luar negeri, diaspora harus tetap menjaga identitasnya dan terus berkontribusi bagi kemajuan bangsa Indonesia di kancah global.
Kontribusi Muhammadiyah dalam Pendidikan Nasional
Sebagai organisasi Islam yang berkomitmen pada kemajuan bangsa, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi besar dalam dunia pendidikan, di antaranya: 10 persen siswa Indonesia menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Muhammadiyah; 850.000 mahasiswa menempuh pendidikan di perguruan tinggi Muhammadiyah; Jaringan sekolah Muhammadiyah tersebar luas, hingga di luar negeri. Bagi Menteri Abdul Mu’ti, mencerdaskan anak bangsa adalah tugas yang tertuang dalam UUD 45, serta menciptakan sistem pendidikan yang inklusif dan berorientasi pada kemajuan serta perdamaian global adalah metode dakwah Muhammadiyah.
Pembangunan Sekolah Unggul dan Daya Saing Global
Dalam sesi diskusi, Hamzah Fansuri yang juga mahasiswa doktoral di University of Heidelberg, dan bertindak sebagai moderator, menyoroti program sekolah asrama unggulan: Menteri Abdul Mu’ti menanggapi, walaupun program sekolah asrama unggulan gagasan Bapak Presiden Prabowo berada di bawah yurisdiksi Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset dan Saintek (Mendiktisaintek), nyawa dari pendidikan di sekolah tersebut masih miliki Kemendikdasmen.
Tantangan dalam Sistem Pendidikan Indonesia
Muhammad Nur Ar Royyan Mas, Ketua PPI Jerman, mengambil kesempatan untuk menyodorkan dua pertanyaan ke Bapak Menteri, yaitu diskrepansi angka anak-anak yang memulai pendidikan SD dan angka lulusan SMA, serta solusi dari ketiadaan ujian akhir di sekolah di Indonesia. Abdul Mu’ti menanggapi bahwa Indonesia memiliki angka putus sekolah yang tinggi, terutama dari tingkat SMP ke SMA. Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa faktor utama yang menyebabkan putus sekolah adalah kendala ekonomi. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah telah menerapkan Program Indonesia Pintar (PIP) guna memberikan bantuan pendidikan bagi siswa kurang mampu.
Bicara secara data, angka partisipasi sekolah di Indonesia saat ini masih berada di angka 8,9 tahun, yang berarti banyak siswa yang belum menyelesaikan pendidikan menengah atas. Sebagai solusi, konsep sekolah satu atap sedang dipertimbangkan agar siswa dapat melanjutkan pendidikan hingga tingkat SMA dalam satu sistem terintegrasi.
Terkait sistem ujian kelulusan, Abdul Mu’ti menjelaskan bahwa Tes Kemampuan Akademik (TKA) kini akan menggantikan Ujian Nasional (UN). TKA memiliki beberapa perbedaan utama dari UN:
- Bersifat sukarela.
- Diselenggarakan oleh pemerintah pusat untuk SMA, oleh pemerintah provinsi untuk SMP, dan oleh pemerintah kabupaten/kota untuk SD.
- Tidak menjadi penentu kelulusan, tetapi dapat menjadi pertimbangan dalam jalur prestasi.
- Kebijakan ini bertujuan untuk mengubah sistem pendidikan Indonesia yang selama ini terlalu berorientasi pada nilai ujian, menuju sistem yang lebih fokus pada deep learning (pembelajaran mendalam), literasi, dan numerasi.
Tantangan dalam Standarisasi Buku dan Kesejahteraan Guru
Dr. Ervan Nurtawab sebagai pengurus PCI Muhammadiyah menyoroti permasalahan standarisasi buku pelajaran, di mana buku teks acuan di sekolah di Indonesia sering kali berganti, sehingga tidak dapat diwariskan ke adik kelas. Mengutip pengalaman pribadi, kebijakan ini menyebabkan orang tua harus mengeluarkan biaya tambahan hingga Rp500.000 – Rp600.000 per tahun.
Menanggapi hal ini, Menteri Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa sistem pendidikan Indonesia masih terlalu berat pada konten. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah berencana untuk
- Menyediakan buku dalam format digital agar dapat diunduh secara gratis;
- Meningkatkan ketersediaan buku non-teks untuk mendukung pembelajaran berbasis STEM.
Dalam diskusi lainnya, Deny P. Sambodo dari PCIM Hongaria menyoroti problematika absensi guru dan tunjangan kinerja, serta status hukum guru di Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) yang perlu diperjelas dan diperkuat.
Menteri Abdul Mu’ti menanggapi bahwa banyak SILN telah ditutup, menyisakan hanya belasan sekolah di beberapa negara. Tantangan utama SILN meliputi:
- Biaya operasional yang tinggi, dengan rasio guru dan murid yang tidak seimbang.
- Regulasi yang berbeda di setiap negara, seperti Malaysia yang hanya memperbolehkan pendidikan hingga SMP.
- Kesulitan mendapatkan guru yang memenuhi standar lokal dan nasional.
Sebagai alternatif, diaspora Indonesia memiliki pilihan untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah internasional atau sekolah lokal, atau dapat membangun sekolah bersama komunitas diaspora Indonesia.
Penutup
Diskusi berlangsung hingga pukul 17:00 CET / 23:00 WIB dengan antusiasme tinggi dari peserta. Pelajaran berharga dari pertemuan ini adalah bahwa diaspora Indonesia memiliki peran strategis dalam menyongsong kemajuan bangsa di kancah global dalam berbagai bentuk kontribusi.
PPI Jerman, PCI Muhammadiyah Jerman, dan Maarif Institute berharap agar program-program Kemendikdasmen RI dapat berjalan dengan baik dan mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk diaspora Indonesia di luar negeri.
Kontributor: Muhammad Nur Ar Royyan Mas
Editor: Hamzah Fansuri
Jumat, 7 Maret 2025