Skip to content

Diskusi Online “Indonesia (Semakin) Gelap”: Menyoroti Militerisasi Pemerintahan dan Krisis Demokrasi 

Jerman, 23 Maret 2025 – Dalam acara diskusi online bertajuk “Indonesia (Semakin) Gelap: Selamat Datang Kembali Dwifungsi ABRI?”, PPI Jerman mengundang tiga narasumber untuk membahas revisi UU TNI yang belum lama disahkan oleh DPR. Diskusi ini menyoroti regresi reformasi militer, pelemahan supremasi sipil, serta ancaman terhadap sistem politik yang demokratis di Indonesia. 

Kemunduran Reformasi Militer dan Dominasi Militer dalam Pemerintahan 

Membuka sesi diskusi, Sigit Suryo Nugroho, yang merupakan mahasiswa doktoral di Universität Heidelberg, menjelaskan bahwa reformasi 1998 merupakan upaya untuk mengembalikan peran TNI sebagai alat pertahanan negara dan bukan sebagai aktor politik. Namun, sejak era Presiden Joko Widodo, terjadi kemunduran dengan kembali menguatnya peran militer dalam jabatan sipil dan pemerintahan

Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya pos sipil strategis di Kementerian Pertahanan dan berbagai lembaga negara yang diisi oleh pejabat militer aktif. Terdapat juga preferensi terhadap kader militer dalam posisi eksekutif, yang dapat menggerus peran decision-maker sipil dalam pemerintahan. Tak lupa juga, dengan revisi UU TNI yang baru disahkan,

memungkinkan prajurit aktif menduduki lebih banyak jabatan sipil, memperpanjang usia pensiun perwira, dan memperkuat dominasi militer dalam birokrasi. 

Sejumlah peserta diskusi juga menyoroti bahwa bukan hanya militer yang mendorong masuknya tentara ke ranah sipil, tetapi juga aktor politik sipil yang memanfaatkan militer demi kepentingan elektoral dan kepentingan politik pragmatis

Sejarah dan Konteks Politik Militer Indonesia 

Hadir sebagai narasumber kedua, Sri Tunruang, yang merupakan aktivis dan petinggi organisasi Arbeitskreis Indonesien e.V. di Aachen, menyatakan bahwa sejak era Orde Baru, militer memiliki rekam jejak panjang dalam politik praktis, termasuk represi terhadap masyarakat sipil. 

Oleh sebab itu, Presiden K.H. Abdurrahman Wahid – atau yang akrab disapa Gus Dur – mengeluarkan Dekret Presiden pada tahun 2000, menegaskan supremasi sipil dengan memisahkan TNI dari ranah politik dan pemerintahan. Selain itu, pada tahun 2000 juga diterbitkan Ketetapan MPR No. 7 Tahun 2000 untuk memperjelas bahwa TNI adalah alat pertahanan negara dan tidak boleh terlibat dalam politik praktis. 

Sri Tunruang, atau yang kerap disapa dengan panggilan Tante Ning, menceritakan hasil persidangan internasional ITP Den Haag yang mengungkap sepuluh jenis pelanggaran berat oleh militer selama Orde Baru, termasuk pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, dalam dekade terakhir, terjadi peningkatan kembali pengaruh militer dalam politik, termasuk revisi kebijakan yang memberi ruang lebih besar bagi militer dalam pemerintahan

Krisis Politik dan Oligarki Partai di Indonesia 

Hadir sebagai tamu yang paling dinantikan, Feri Amsari, yang merupakan dosen hukum tata negara di Universitas Andalas, hadir di sesi diskusi dengan mengangkat persoalan mendasar dalam sistem politik Indonesia yang semakin dikuasai oleh oligarki keluarga dan elite ekonomi

Ia menyatakan bahwa tidak ada partai politik di Indonesia yang benar-benar berbasis ideologi; sebagian besar berfungsi sebagai perusahaan keluarga dengan kepentingan bisnis. Selain itu, ia juga menyoroti peluang partai politik baru untuk muncul sangat kecil, akibat aturan pemilu yang dirancang untuk mempertahankan dominasi partai besar. Selain itu, proses verifikasi partai politik sering kali penuh kecurangan, dan banyak partai yang lolos karena kepentingan bisnis atau aliansi dengan penguasa. Hal ini banyak ia temui saat membuat film Dirty Vote, yang rilis beberapa hari menjelang Pemilu 2024. 

Salah satu contoh yang disoroti oleh Feri Amsari, atau yang kemudian disapa dengan ‘Uda’ Feri, adalah bagaimana pengangkatan pejabat di posisi strategis dilakukan secara serampangan, seperti Sekretaris Kabinet (Seskab) yang ditempatkan di bawah Sekretariat Militer Presiden (Sesmilpres), meskipun secara hukum tidak sesuai dengan Pasal 47 UU TNI

Perlawanan Sipil dan Peran Diaspora 

Pada sesi diskusi dengan audiens, para narasumber dalam diskusi ini menggarisbawahi pentingnya kesadaran politik dan perlawanan sipil yang kuat untuk menghalau kembalinya rezim pemerintahan yang semena-mena. 

1. Gerakan sipil harus bersatu dan tidak mudah diadu domba, sebagaimana ditekankan oleh almarhum Munir dalam perjuangannya terhadap demokrasi dan HAM. Masyarakat sebaiknya tidak mudah terpecah dan berkonflik secara horizontal, sehingga tidak menyadari konflik vertikal yang seharusnya menjadi konsentrasi bersama. 

2. Pendidikan politik dan advokasi demokrasi harus terus diperjuangkan, termasuk dari luar negeri, sebagaimana PPI Jerman pernah menjadi salah satu pengkritik utama Orba hingga era pasca reformasi. 

3. Diaspora memiliki peran strategis dalam menjaga demokrasi, baik melalui advokasi di luar negeri maupun dengan membangun kekuatan alternatif di dalam negeri. 

Perjuangan Demokrasi Harus Dilanjutkan 

Diskusi ini ditutup dengan seruan kepada seluruh elemen masyarakat untuk terus mengawal demokrasi dan menolak upaya militerisasi dalam pemerintahan

Beberapa pernyataan penutup dari narasumber: 

“Lakukan apa yang Anda bisa lakukan.” Pesan Tante Ning. 

“Jangan pesimis, proses demokrasi selalu bergulir.” Ujar Sigit. 

“Kita harus terus melawan dengan kesadaran politik, bukan dengan kekerasan.” Tutup Uda Feri. 

Sebagai kaum intelektual Indonesia di luar negeri, para pelajar Indonesia di luar negeri memiliki kewajiban moral untuk terus menyuarakan aspirasinya dan menjaga nilai-nilai demokrasi, baik di dalam maupun di luar negeri.