Skip to content

Review Buku: Kehidupan Sosial di Batavia

Ditulis Oleh: Muhammad Nur Ar Royyan Mas | Mahasiswa Master Universität Bonn

Review Buku: Kehidupan Sosial di Batavia

Penulis buku: Jean Gelman Taylor

Reviewer: Muhammad Nur Ar Royyan Mas

Reading time: 7 menit

Tahun lalu saya tiba-tiba ingin sekali memperdalam pengetahuan saya tentang sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Mungkin, rasa penasaran ini tumbuh karena pada bulan April 2019 saya berjumpa dengan teman saya mahasiswa dari Belanda yang sedang menempuh pendidikan S2 di Denmark. Kami banyak berbincang, bertukar pikiran, dan dari situ saya sadar bahwa pengetahuan orang Belanda terhadap sejarah kolonialisme Belanda, sangat minim sekali. Begitu pun saya. Bulan Agustus 2019, saya pulang ke Indonesia, dalam rangka libur semester musim panas. Saya segera pergi ke toko buku terdekat di Surabaya, dan mata saya tertuju pada sebuah buku berjudul “Kehidupan Sosial di Batavia”. Awalnya saya berpikir bahwa buku ini bercerita tentang sisi gelap kolonialisme Belanda di Indonesia, mungkin tentang perjuangan pahlawan kita di masa lampau, atau apapun itu yang mungkin belum dibicarakan di sekolah, karena buku ini cukup tebal. Namun, dugaan saya salah. Buku ini mengulas sejarah Kota Batavia dari sudut pandang berbeda. Bukan dari sudut pandang pejuang kemerdekaan, namun dari sisi kehidupan sosial masyarakat ibu kota Batavia kala itu. Khususnya saat masa kependudukan VOC, yang bermula dari tahun 1609, hingga VOC runtuh pada tahun 1799. Jujur, saya menemukan banyak kesamaan antara pola hidup masyarakat Batavia zaman itu, dengan masyarakat Indonesia zaman sekarang. Di sini saya akan memotong bagian-bagian umum seperti kedatangan pasukan VOC yang dipimpin oleh JP Coen dan berbagai hal yang sudah kita dengar di kelas sejarah di sekolah.

Yuk, mari kita bahas apa saja poin-poin yang saya dapatkan dari buku ini.

Kasta Sosial


Sistem kasta terasa sangat kuat di ibu kota Batavia. Batavia merupakan sentra untuk seluruh kegiatan VOC di Asia. Setidaknya kita akan mengenal banyak sekali istilah-istilah untuk kelas-kelas sosial di Batavia.

  • Mestizo (atau Mestiza untuk perempuan) adalah orang yang terlahir dari perkawinan campuran. Indies, yang berarti orang eropa yang mengikuti budaya Mestizo.
  • Kreol, merupakan orang yang lahir di Asia dari orang tua asal Eropa.
  • Mardijker, budak non-Indonesia (banyak keturunan portugis) yang dimerdekakan dan keturunannya merupakan anggota gereja reformasi yang dibaptis.
  • Orang Eropa, merujuk pada orang yang lahir di daratan Eropa.
  • Komunitas Eropa, berisi orang yang lahir di eropa maupun asia dengan keturunan Eropa.

Jika saya katakan dalam bahasa gaul, rasisme di Hindia Belanda kala itu tidak dapat dibendung. Komunitas Eropa adalah orang yang terpandang, dibanding kelompok masyarakat pribumi. Banyak masyarakat lokal yang menjadi budak di rumah tangga orang Eropa, perempuan lokal yang menjadi simpanan lelaki Belanda (atau dikenal juga dengan istilah gundik), dan hanya ada satu cara bagi orang non-Eropa untuk naik kasta, yakni dengan menikahi orang Belanda, yang mana orang tersebut otomatis harus masuk agama Kristen. Tanpa menikahi orang Belanda, orang non-Eropa dapat mendapatkan privilese. Dengan memeluk agama Kristen, seseorang bisa memiliki berbagai keistimewaan, seperti bantuan sebagai orang miskin, kesempatan bersekolah, namun juga bisa mengejar jabatan penting di struktur organisasi VOC, yang kebanyakan dipegang oleh orang Belanda.


Disini penting juga untuk mengenali hirarki kepegawaian VOC. Kedudukan terendah adalah juru tulis atau pegawai biasa, yang mana jika seorang pegawai cukup rajin dan pintar, bisa naik pangkat menjadi asisten, akuntan, pedagang junior, hingga pedagang senior. Sayangnya, tidak banyak pegawai VOC yang berhasil dalam menempuh karir. Untuk menjadi pedagang senior, seseorang butuh waktu yang cukup lama, apa lagi jika seseorang tidak memiliki relasi atau hubungan darah dengan orang penting di VOC. Apalagi untuk menjadi gubernur jenderal, seperti Mattheus de Haan yang memerlukan 53 tahun untuk mendapatkan jabatan gubernur jenderal. Bagaimanapun juga, kelompok pedagang selalu berada di posisi teratas dalam komunitas Eropa di Asia, walaupun kebanyakan orang Eropa di koloni Belanda adalah prajurit dalam dinas kemiliteran VOC.

Tidak semua orang Eropa dapat bertahan hidup lama


Jangan kira bahwa orang Eropa yang datang ke Nusantara dapat hidup dengan baik. Belum saja tiba di Nusantara, ketika masih dalam perjalanan laut dari Belanda yang memakan waktu sekiranya 10 bulan, banyak yang merenggut nyawa di laut. Sebuah dokumen menyatakan bahwa dari 300 orang yang diberangkatkan pada September 1640, hanya 80 yang bertahan hidup. Selain itu, banyak orang yang dikirim ke Nusantara merupakan orang miskin dan tersingkirkan, yang mana pada abad ke-17 terjadi perang di seluruh eropa berkaitan tentang agama. Sesampainya di daratan Nusantara, banyak juga yang tidak dapat bertahan hidup lama. Kehidupan di Nusantara (khususnya Batavia) tidak begitu indah. J.P. Coen sempat mengeluhkan kemalasan, kebodohan, dan ketidakmampuan berbahasa yang dimiliki prajurit VOC kala itu. Mabuk di tempat umum, pertengkaran, dan kasus kriminal lain, merupakan hal biasa. Pemerintah VOC kala itu menerapkan sanksi berat pada berbagai kasus kriminal.

Selain permasalahan sosial di atas, para imigran Belanda kerap memiliki kebiasaan tidak sehat, diperparah dengan wabah penyakit seperti kolera serta gondok yang kerap mengurangi populasi Batavia, mendorong kalangan atas untuk membangun rumah/vila di luar Batavia, seperti Depok, hingga Bogor.

Bahkan, VOC harus menggunakan kontrak kerja yang biasanya berdurasi 5 tahun, agar dapat membawa orang Eropa ke Nusantara dan bekerja pada VOC. Banyak juga dari pekerja ini yang kembali ke Belanda, namun sebagian juga tetap tinggal di Nusantara, sebagai masyarakat bebas (burgher), karena kontrak kerja mereka telah habis, kecuali jika mereka ingin memperpanjang kontrak.

Misi utama VOC


Rencana VOC sebenarnya sederhana, tapi ambisius. Mereka ingin membentuk monopoli perdagangan yang absolut di kepulauan Nusantara. Mereka juga didukung oleh kekuatan Angkatan Laut Belanda, dan mereka juga memiliki banyak populasi tentara yang bertugas menjaga aset-aset mereka. Perekonomian VOC sangatlah bergantung pada tenaga kerja budak, yang mana J.P. Coen percaya para yatim piatu untuk menjadi penduduk di daerah yang ia singgahi, karena dengan itu mereka tidak akan punya inisiatif kembali ke Belanda, dan mereka tidak punya opsi lain selain patuh pada aturan VOC. Karena cukup banyak anak yang lahir dari bapak orang Eropa, banyak dari mereka yang akhirnya ditelantarkan, sehingga mereka harus ikut ke pemukiman ibunya, atau tinggal di penampungan yang dimiliki VOC. 

Untuk mencapai misi monopoli perdagangan secara absolut, VOC bersikap tegas dalam menindak lanjuti perdagangan swasta diluar VOC. Aturan demi aturan dibuat, sehingga perdagangan di daerah VOC menjadi monopoli mereka sepenuhnya.

Gundik


Saya cukup kaget ketika menyebutkan kalimat ini, tidak banyak teman saya mengerti apa artinya. Gundik adalah istilah yang digunakan untuk budak perempuan, yang juga dijadikan objek seksual majikan Belanda. Perilaku orang Belanda di Batavia sendiri sangat melenceng dari budaya Eropa. Mereka ditempatkan di tempat yang jauh dari tanah kelahirannya, dan Batavia juga kekurangan wanita. Terdapat banyak catatan mengenai berbagai kapal dari Belanda yang membawa wanita Eropa ke Nusantara, namun tidak banyak yang mampu bertahan hidup dalam perjalanan. Situasi ini diperparah dengan tidak adanya migrasi perempuan dari Eropa pada 1632 hingga 1669. 

Di pemukiman Belanda, banyak diadakan pesta liar, dengan berbagai catatan pegawai VOC yang menikahi “perempuan hitam.” Orang Belanda sendiri awalnya tidak boleh menikahi perempuan lokal. Lambat laun, VOC mulai menerapkan aturan baru, karena maraknya pernikahan tidak sah, dimana banyak anak yang ditelantarkan bahkan praktik aborsi juga tidak terhindarkan. VOC pun memperbolehkan pernikahan pegawai rendahan dengan penduduk lokal, yakni dengan syarat bahwa mereka harus masuk Kristen, mengganti nama dengan nama Kristen yang baru, dan pada waktu berikutnya juga dengan syarat pengetahuan tentang bahasa Belanda.

Kota eksklusif, terpisah dari peradaban lain di Nusantara


Kota Batavia adalah kota eksklusif. Tidak semua orang bisa masuk dan tinggal disana. Kebanyakan orang yang tinggal di Batavia adalah pendatang, didominasi oleh pedagang. Mereka juga tumbuh kembang terpisah dari daerah asal mereka, entah mereka yang dari Eropa, maupun yang dari daerah luar Batavia di Nusantara. Kota Batavia juga terpisah secara geografis, karena dikelilingi oleh hutan dan tembok kota yang tinggi. Jika kita lihat peta kota Batavia, lokasinya sangat strategis, dengan laut di sisi utara, yang menjadi satu-satunya penghubung Batavia dengan dunia luar, dan juga dihiasi dengan kanal bak kota Amsterdam. Selain itu, ada juga dinding tinggi di pinggir kota, untuk mencegah orang masuk secara ilegal. Saking ketatnya, ada catatan harian penjaga kota yang mencatat kedatangan keluarga Eropa di malam hari melalui kanal menuju ke Batavia, karena para petinggi VOC mulai membangun vila di luar tembok kota.


Usaha untuk menunjukkan kelas sosial


Biasanya, lelaki Belanda dan istrinya akan berpakaian cukup mewah ala orang eropa, agar menunjukkan strata sosial mereka. Ini juga menjadi tanda betapa tamaknya orang Belanda kala itu, yang berusaha memperkaya diri mereka. Selain itu, mereka juga biasa membawa budak kemana-mana, sembari mereka membawakan kotak sirih, dan mungkin juga payung. Mestizo gemar hidup mewah, berfoya-foya dalam jumlah besar, dan pamer harta. Banyak perempuan yang dinikahi di usia 12 atau 13 tahun, di saat banyak dari mereka masih tidak mengetahui apa-apa mengenai kehidupan rumah tangga, bahkan banyak yang masih buta huruf. Perempuan di Batavia umumnya berpakaian khas Nusantara, yakni dengan kain dan kebaya. Kecuali pada hari Minggu, banyak dari mereka yang menggunakan pakaian Eropa.

Namun, menunjukkan kekayaan secara materiil saja tidak cukup. Perempuan Belanda yang tinggal di Asia harus meneruskan penggunaan nama Belanda untuk memastikan kedudukan mereka dalam masyarakat Eropa. Jika biasanya pernikahan akan membawa perempuan naik kasta mengikuti suami, keadaan ini di lingkungan VOC justru akan terdengar asing. Pernikahan dengan perempuan keturunan pejabat atau klan penting, akan meningkatkan kelas sosial sang suami. Banyak klan yang cukup terkenal di kalangan orang Eropa di Asia, seperti Augustin Michiels dari klan Michielsz, yang mana setiap kali ia berkunjung ke perkebunannya, ia akan disambut dengan iringan gamelan. Tidak kalah, gubernur jenderal juga harus disambut dengan istimewa, bahkan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn dibuatkan syair-syair tersendiri. Intinya, semakin tinggi jabatan seseorang, semakin besar upacara, serta pendamping yang dapat dibawa. Hal ini sempat diatur di Batavia, sehingga akan terlihat jelas sekali perbedaan antara berbagai posisi jabatan dan strata sosial masyarakat kala itu.

Penduduk Batavia memiliki obsesi untuk mengumpulkan kekayaan dan memamerkannya, seperti gubernur jenderal dan para petinggi VOC juga hobi membangun vila megah di luar tembok Batavia. Selain untuk menghindari ancaman penyakit seperti malaria dan gondok, mereka membangun vila atas dasar kekayaan mereka. Contohnya adalah bangunan yang didirikan Reynier de Klerk pada 1760. Bangunan ini menjadi gedung arsip Republik Indonesia dan masih dapat dikunjungi hari ini, berlokasi tidak jauh dari kota tua Jakarta. Bangunan vila milik petinggi VOC memiliki ciri khas yakni dibangun di atas bidang tanah yang luas, dua tingkat, dihiasi taman, dan membutuhkan waktu satu hingga dua jam perjalanan dengan perahu melalui kanal atau dengan kuda.

Bahasa

Penduduk Batavia adalah penduduk yang heterogen, terdiri dari berbagai ras dan kelompok masyarakat. Penggunaan bahasa Belanda di Batavia awalnya sangatlah tidak efektif. Dari awal kedatangan VOC ke Batavia hingga abad ke-18, bahasa Portugis dan Melayu masih menjadi bahasa sehari-hari masyarakat Batavia. Bahasa Portugis sendiri merupakan salah satu bahasa yang memiliki pengaruh cukup kuat dalam bahasa Melayu. Selain itu, bahasa Portugis disebut juga sebagai bahasa untuk berdagang.

Bagaimana dengan bahasa Belanda? Bahasa Belanda biasanya menjadi bahasa pengantar di sekolah. Pemerintah kolonial kerap kali mencoba berbagai macam model pendidikan. Pada tahun 1642, Pendeta Johannes Stertemius mendirikan sekolah Latin, di mana murid-murid sekolah tersebut hanya boleh berbicara dalam bahasa Latin, bahasa prestisius yang digunakan kaum intelektual Eropa. Sayangnya, hal ini terbukti kurang efektif. VOC sendiri menganggap penggunaan bahasa Belanda merupakan tanda kesetiaan politik dan kepercayaan terhadap agama Kristen. Pada abad ke-19, banyak orang Belanda yang mengeluhkan masyarakat lokal dalam penggunaan bahasa Belanda, namun VOC menginginkan bahasa Belanda digunakan secara luas selama kekuasaan VOC. Hanya orang yang dapat berbicara bahasa Belanda yang akan mendapat posisi menguntungkan di VOC, dan boleh mengenakan baju Eropa.

Perbudakan

Kekayaan dan kenikmatan ditunjukkan dengan kepemilikan budak. Namun, acap kali ditemukan di Daily Register bahwa para budak sering diperlakukan dengan sangat buruk dan secara mengejutkan banyak dari mereka yang meninggal. Pada tahun 1757, terdapat 1200 budak di Batavia, hingga akhirnya impor dan perdagangan budak dilarang secara resmi pada 1860. Pada prinsipnya, orang-orang Eropa yang memiliki budak dapat membuat mereka pindah ke agama Kristen dan membebaskan mereka. Tapi, banyak tercatat berbagai perbuatan keji majikan terhadap budak-budaknya, bahkan kesalahan kecil seperti lambat ketika dipanggil oleh majikan, akan dihukum berat oleh majikan. Biasanya, jika satu budak dibunuh, maka budak yang mempunyai hubungan dengan budak tersebut harus dijual atau dipindah. Setidaknya ada satu catatan tentang seorang warga kaya yang diusir dari seluruh area VOC karena perlakuan keji terhadap budaknya.

Namun, cukup unik untuk dicatat, ada rekomendasi tersendiri bagi orang yang ingin memiliki budak, bahwa orang dari Makassar dan Bali sangat tidak dianjurkan untuk dijadikan budak, lantaran ketakutan pihak koloni Belanda atas budak yang kerap kali memberontak. Selain itu, orang Jawa juga tidak boleh tinggal di dalam tembok kota.

Pendidikan

Konsep sistem pendidikan di Batavia sangat bergantung pada gubernur jenderal yang menjabat, karena masing-masing dari mereka memiliki agenda sendiri. Berbagai macam model pendidikan sudah dicoba di Batavia, seperti sekolah Latin, seminari Teologi, dan lain-lain. Di sekolah Latin, murid hanya boleh menggunakan bahasa Latin. Sekolah ini tutup setelah dua tahun berdiri. Sedangkan seminari Teologi yang didirikan tahun 1745 oleh Gubernur Jenderal van Imhoff, memiliki tujuan untuk membantu mengembangkan agama Kristen, dan sekolah ini diperuntukkan untuk kalangan bawah. Sekolah ini setiap tahun menawarkan tiga hingga empat murid terbaik untuk dikirim ke Belanda dengan pembiayaan oleh VOC. Namun, hanya satu siswa yang dapat berangkat ke Belanda dan kembali ke Indonesia, yakni Nicolaas de Graaij. Yang cukup unik dari seminari Teologi ini adalah akademi kelautannya. Disana mereka mengajarkan aritmatika, bahasa, navigasi, diagram, dan praktik kelautan. Akademi kelautan ini tergolong ketat, karena melarang anak dari gundik dan pribumi untuk masuk asrama akademi, dan juga melarang siswa untuk berbicara dengan bahasa pribumi. Pada akhirnya, sekolah yang didirikan van Imhoff ini tidak diteruskan oleh penerusnya, karena dianggap sia-sia dan boros. Hal ini akan terus terjadi dengan gubernur jenderal berikutnya, yang tidak meneruskan kebijakan pendidikan dari pendahulunya. Pada umumnya, sekolah yang dibangun pemerintah hanya dapat bertahan antara dua hingga tiga tahun.


Salah satu lembaga yang cukup dikenal di Batavia adalah Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (akademi seni dan ilmu pengetahuan Batavia) yang didirikan oleh Jacobus Cornelis Mattheus Radermacher pada tahun 1778. Mereka mengkampanyekan ilmu pengetahuan di komunitas Indies. Banyak tulisan yang dihasilkan dari akademisi lembaga ini, seperti penyakit tropis, sistem pengairan, perumahan di kota, yang merupakan subjek dalam tulisan-tulisan Jacobus van der Steege, atau juga tentang tanaman dan binatang Indonesia oleh Frederik Baron van Wurmb. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan terasa berbeda saat Inggris menguasai daerah kekuasaan VOC. Tokoh besar seperti Thomas Raffles, yang menulis buku History of Java, adalah salah satu tokoh penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan, walaupun hanya menduduki Jawa untuk kisaran waktu lima tahun saja.

Tidak jelasnya sistem pendidikan di Batavia membuat pejabat-pejabat VOC tidak habis akal. Mereka akan berusaha mengirim anak laki-laki mereka ke Belanda untuk menuntut ilmu. Tidak hanya anak laki-laki saja, anak dari van Imhoff sendiri dikirim ke Belanda sejak berumur satu tahun, alih-alih dibesarkan di Batavia. Radermacher, pendiri akademi seni dan ilmu pengetahuan Batavia, adalah lulusan hukum dari Belanda, namun sebelumnya sudah tiba di Batavia sebagai pedagang junior. Tujuan komunitas Eropa mengirim anak-anak mereka mengenyam pendidikan di Eropa salah satunya juga agar mampu mengenalkan budaya Eropa ke Batavia, karena kehidupan Batavia sangat erat dengan budaya Mestizo dalam setiap aspek kehidupan. Kelak mereka akan kembali lagi ke Batavia dan mendapatkan jabatan strategis di hirarki VOC, atau mengabdi di daerah kekuasaan VOC.

Pelajaran dari masa lalu untuk hari ini


Hanya sedikit aspek kehidupan di Batavia yang saya dapatkan dari buku ini, dapat saya tuangkan di rangkuman ini. Selesai membaca buku ini, saya cukup terkejut  bahwa kehidupan sosial di Indonesia kini kerap memiliki kesamaan dengan kehidupan sosial di Batavia, dua hingga tiga abad lalu. Mulai dari sifat gengsi, nepotisme dalam pemerintahan dan swasta yang masih terjadi hingga saat ini, pejabat korup, senioritas dalam struktur masyarakat yang inheren, sifat pemimpin yang tidak meneruskan kebijakan pendahulunya, semuanya ada pada zaman VOC. Saya tidak dapat mengesampingkan tradisi “positif” seperti mengirimkan anak mengenyam pendidikan di luar negeri, yang sebenarnya bisa jadi merupakan efek samping dari sistem pendidikan di Batavia yang belum memiliki kualitas yang memadai kala itu. 

Hal-hal yang ditemui di peradaban Batavia, masih dapat kita temui hari ini di Indonesia. Tulisan ini tidak bertujuan untuk menyalahkan masa lampau negeri ini di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial, tapi saya menemukan korelasi antara masa lalu dengan masa kini. Kita perlu belajar banyak dari sejarah masa lalu, untuk membangun masa depan yang lebih cerah.

Sumber Foto: https://komunitasbambu.id/product/kehidupan-sosial-di-batavia-orang-eropa-dan-eurasia-di-hindia-timur/