Ditulis oleh Geraldus Martimbang | Mahasiswa Master Arsitektur Technische Universität München
I.
Eksternalisasi yang kita bahas pada tulisan ini merujuk pada proses peniadaan risiko dan dampak buruk yang diakibatkan oleh tindakan sebuah agensi. Baik tindakan yang kita inginkan untuk terjadi sedari awal maupun yang tidak. Skalanya bisa bermacam-macam, dari tindakan individual, keputusan organisasional, kebijakan publik, maupun kebiasaan kolektif dalam masyarakat.
Penggunaan kata eksternaliasi masih fleksibel dan belum ada klaim yang jelas yang meligitimasi keunggulan istilah tersebut untuk konteks tertentu. Dalam psikologi saja, eksternalisasi memilki beberapa arti seperti proses pembelajaran balita yang berorientasi kepada dunia luar atau eksternal ketimbang dalam dirinya sendiri, atau juga proses proyeksi kompleks-kompleks, perasaan, kesalahan, dan sebagainya terhadap benda, sistem, kelompok, atau individu lainnya. Dalam ekonomi, eksternalisasi dan kata bendanya, “eksternalitas”, malah sudah dilengkapi dengan kata lawannya, yakni “internalisasi”, yang merujuk kepada pengikutsertaan kembali kalkulasi kerugian yang diakibatkan oleh dampak buruk atau eksternalitas ke dalam hitung-hitungan ekonomi sebuah proses produksi. Hanya dalam ilmu ekonomi dan yang bersinggungan dengannya kata eksternalisasi sudah mendapat kanonisasi yang cukup dan dirujuk secara universal oleh para ilmuwannya. Eksternalisasi yang kita akan bahas pada teks ini lebih mirip kepada istilah eksternalisasi yang dipakai dalam ilmu ekonomi tersebut, namun akan kita perlebar untuk kita jadikan bahan percakapan filosofis. Sekarang, kita akan mulai meninjaunya secara deduktif melalui contoh-contoh konkret secara diferensiatif, pertama-tama menurut agensi atau pelaku eksternalisasi, penyebab eksternalitas.
Contoh yang pertama untuk tingkatan eksternalisasi individual dapat kita ambil dari kegiatan merokok. Dampak kerusakan paru-paru, kanker dan penyakit lainnya sudah tertulis jelas pada bungkus rokok. Pun demikian, merokok tetap menjadi aktivitas lumrah. Seseorang merokok untuk mendapatkan rasa rileks dan nyaman, tanpa menghiraukan dampak jangka panjangnya untuk kesehatan. Eksternalisasi pada tingkatan individual berarti menutupi dampak yang akan muncul secara jangka panjang untuk sebuah tujuan yang dirasakan secara jangka pendek. Contoh lainnya ialah membuang sampah sembarangan, ke sungai, karena kemalasan. Dampak kerusakan ekosistem sungai juga dieksternalisasi, sebab yang membuang sampah belum tentu melihat sampah yang kemudian mengendap di dasaran sungai, maupun menumpuk di muara sungai yang jauh jaraknya dari titik pembuangan sampah sembarangan. Sampah-sampah yang tidak terlihat oleh para pembuangnya itulah yang disebut sebagai “eksternalitas”.
Kita bisa mengupas dan memilah lebih dalam lagi eksternalisasi yang memiliki agensi individual, namun dilakukan oleh banyak individual secara kolektif, tanpa sadar. Rata-rata, ketidaksadaran ini disebabkan oleh ketidaktahuan. Dalam keseharian kita, di kehidupan modern, yang nyaman dan serba berkelindan dengan teknologi hari ini. Laptop yang kita gunakan saat ini untuk berkomunikasi merupakan sebuah produk yang memiliki risiko eksternalitas, yakni saat barang tersebut tidak lagi dipakai dan mendarat ke daratan Afrika. Di Accra, Ghana, misalnya, 30% dari barang bekas elektronik yang diimpor dari negara-negara Eropa rusak dan akhirnya menjadi gunung sampah beracun elektronik. Disekitarannya tumbuh mata pencaharian baru, yang amat buruk kondisi pekerjaan informalnya, yakni pemulung bahan-bahan elektronik. Coklat yang kita makan, yang kita jilati dari toples Nutela, yang kita beli murah sekali dari Netto, darimanakah cokelat itu berasal? Siapakah yang menggarap lahan cokelat itu? Bagaimana kondisi pekerjaan mereka? Pantai Gading, negara penghasil bijih cokelat terbesar di dunia, kehilangan 80 % hutan belantara di daratannya yang juga menjadi habitat untuk satwa alam seperti simpanse, yang semuanya terancam punah, akibat konversi lahan ke plantasi cokelat. Tak ubahnya dengan kosmetik, sabun, roti, minyak, ataupun produk-produk yang membutuhkan minyak nabati dari sawit Indonesia sebagai komponen utamanya, yang kita konsumsi sehari-hari. Kita tahu sendiri bagaimana dampak perkebunan sawit terhadap kebakaran hutan, deforesasi, dan kepunahan satwa.
Eksternalisasi tingkatan organisasional memiliki corak tersendiri. Misalkan yang terjadi pada sebuah perusahaan yang mengolah sumber daya alam, praktik eksternalisasi amatlah lumrah di Indonesia untuk menghindari biaya tambahan yang harus ditanggung perusahaan dalam memitigasi maupun mengolah eksternalitas. Misalkan perusahaan batubara yang menyuplai PLN dengan PLTU-nya dengan batu-batu hitam legam itu. Proses penambangan dan pengiriman batubara ke PLTU saja sudah merupakan dua proses yang menghasilkan dampak-dampak buruk yang tidak kerugiannya tidak masuk dalam kalkulasi keuangan perusahaan yang bertanggungjawab. Proses penebangan pohon, perusakan habitat satwa alam, penghancuran top soil, dan sisa lubang tambang di satu sisi, dan transportasi batubara menggunakan tongkang yang juga merusak ekosistem laut yang dilaluinya, serta juga proses bongkar muat batubara ketika sudah sampai ke pulau tujuan yang debunya membuat masalah kesehatan warga dan satwa yang tinggal dalam radius beberapa kilometer darinya. Kasus yang merujuk pada peristiwa terakhir yang belakangan cukup menggemparkan dan diliput oleh banyak media merupakan kasus bongkar muatan batubara di Marunda, Cilincing. Kasus serupa padahal juga terjadi di setiap tempat, di mana kapal batubara berlabuh. Padahal, ini baru membicarakan eksternalitas yang disebabkan oleh proses sampainya batubara ke pulau tujuan, belum eksternalitas yang disebabkan oleh operasional PLTU itu sendiri, yang juga merusak ekosistem air akibat peningkatan temperatur air yang digunakan dalam proses pendinginan PLTU serta juga “hujan abu” yang mengandung zat-zat berbahaya untuk kesehatan manusia dan satwa sampai radius tertentu disekitaran PLTU. Dalam hal ini eksternalisasi berlangsung secara intensional, karena jelas hukum, sampai pada tahap tertentu, sudah mengatur mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dengan menetapkan batas-batas dan kewajiban perusahaan untuk memitigasi, atau mengkompensasinya. Pun demikian, para perusahaan mengacuhkannya, dengan permainan politik dan hukumnya, untuk menghindar dari biaya-biaya tambahan yang mereduksi keuntungan perusahaan. Padahal, kemurahan dan kemudahan yang kita terima dari PLTU dan kita anggap sebagai realitas strategis merupakan sebuah ilusi, bila kita mau menambah seluruh ongkos yang menjadi eksternalitas, atau tidak dihitung, yang hanya akan membengkakkan “ongkos lingkungan dan sosial” penambangan, transportasi, dan operasional PLTU Batubara. Ilusi dan eksternalitas menyokong satu sama lain.
Eksternalisasipun akhirnya juga bersifat struktural, dan bersenyawa dengan kebijakan publik. Kalau kita mau sekali lagi mengambil contoh energi, kelimpahan listrik yang mayoritas masyarakat Indonesia rasakan di Jawa (sekitar 115 juta orang), hanya mungkin akibat eksternalitas yang dialami oleh masyarakat di pulau Kalimantan. Kalimantan Timur, misalkan, ialah sebuah provinsi yang menyumbang 30% produksi Migas nasional, yang produknya sebagian besar dimanfaatkan secara nasional (atau Jawa) dan juga ekspor dengan devisa nasional sebagai pemasukan nasional (yang mengalir ke Jawa). 40 % lahan Kaltim saja, yang tadinya hutan belantara yang sudah ada sekitar ribuan tahun, habis untuk tambang. Sisanya masih dipakai untuk konsensi lahan sawit dan tambang semen untuk ekosistem Karstnya yang merupakan “harta karun” di mana banyak jejak-jejak arkeologis dan sejarah dapat diteliti yang kehancurannya semua merupakan eksternalitas. Lubang-lubang tambangnya juga tidak terurus dan menghasilkan banyak masalah sosial seperti pemerkosaan dan kematian. Berapa eksternalitas, atau ongkos sosial dan lingkungan yang ada di Kaltim, kalau mau dirupiahkan, sebagai eksternalitas dari kelimpahan energi yang kita nikmati di Jawa?
Terakhir, eksternalisasi juga terjadi tanpa agensi yang jelas, tanpa intensi agensi tertentu. Kalau mau dibahasakan secara abstrak, eksternalisasi ini disebabkan oleh “proses” perkembangan atau perubahan struktural dunia–bukan agensi. Pertumbuhan laju penduduk bumi yang luar biasa, misalnya, yang tidak pernah diperkirakan akan menjadi sebesar ini dalam kurun waktu dua abad. Tahun 1804 ialah pertama kalinya angka penduduk dunia dicatat sebanyak 1 miliar, dan hari ini, duaratus tahun kemudian, sudah ada 7,7 miliar manusia. Hal itu tentu disebabkan salah satunya oleh perkembangan teknologi medis, yang mengurangi kematian akibat penyakit, juga kemampuan setiap masyarakat untuk mengorganisasi makanan sehingga kelaparan tidak juga menjadi pembunuh utama, serta masa perdamaian dalam hampir satu dekade terakhir yang mengurangi kematian akibat peperangan antarkelompok maupun negara. Hal yang positif ini ternyata memiliki eksternalitas: semakin banyak manusia, semakin banyak mulut, semakin banyak makanan yang harus diproduksi, semakin banyak lahan yang harus dimanfaatkan, semakin banyak industri yang mengolahnya, semakin banyak gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer. Dan bukan hanya soal makanan, namun juga kebutuhan transportasi, papan, dan energi yang memungkinkan kehidupan manusia yang lebih baik untuk mayoritasnya, semua menghasilkan gas rumah kaca, dan permasalahan lainnya. Eksternalitas tipe ini sulit untuk ditangani, karena ketiadaan alamat pertanggungjawaban.
II.
Seperti yang sudah dijelaskan melalui contoh-contoh konkret yang familiar untuk kita semua, eksternalisasi layak kita pahami sebagai kategori. Kategori sebuah peristiwa, yang terjadi secara intensional maupun non-intensional, individual maupun kolektif, dengan agensi yang jelas, serta dapat pula terjadi akibat proses perkembangan peristiwa yang bersifat global tanpa agensi yang dapat tepat disasar. Eksternalisasi menghasilkan eksternalitas, yang per definisi dapat menjadi eksternalitas negatif, maupun positif. Pada tulisan ini, kita berfokus pada eksternalisasi dan eksternalitas negatif, yang berupa dampak buruk maupun risiko yang secara sengaja maupun tidak sengaja, atau yang sudah diperkirakan sebelumnya maupun yang disadari setelah kejadian.
Apa saja sebetulnya faktor-faktor yang membuat terjadinya eksternalisasi? Tentunya amat beragam dan bergantung pada konteks peristiwanya. Kita bisa mengupas beberapa di sini secara filosofis. (1) Dalam konteks eksternalitas dari konsumsi intensional kita, misalkan pernggunaan laptop, memakan cokelat, penggunaan kosmetik, dan lainnya, seperti contoh yang sudah disebutkan sebelumnya, ekesternalisasi terjadi karena kita tidak melihat apa yang terjadi dibalik produk yang kita konsumsi, yang sudah didesain sedemikian rupa, sehingga seakan-akan produk-produk tersebut berdiri sendiri, menjadi sebuah entitas baru yang ahistoris, tidak memiliki kesejarahan (Sloterdijk 2019). Itulah definisi desain: ia seperti black box, yang memisahkan realitas konsumsi dari kesejarahan produk, yang mengambil wujudnya dari proses ekstraksi bahan baku, proses produksi, tenaga kerja, dan distribusinya (Varoufakis 2019). (2) Selanjutnya, eksternalisasi juga dimungkinkan oleh struktur harafiah dari “risiko”, bahwa akibat buruk eksternalitas negatif dapat dirasakan selang beberapa waktu peristiwa tersebut terjadi. Ada gap, atau jurang waktu di antara peristiwa serta mungkin intensi yang melatarbelakanginya dan akibat pun dampak buruk yang terjadi. Perubahan iklim yang dirasakan senyata-nyatanya hari ini, misalkan–sebagai anekdot–, merupakan dampak akumulasi gas rumah kaca yang dipancarkan oleh pabrik tebu Colomadu pada masa operasionalnya abad ke-19, serta juga dari mobil-mobil yang mampir untuk membeli cinderamata dari sentra cinderamata eks pabrik tebu Colomadu lima tahun belakangan. (3) Poin ketiga adalah jurang ruang antara tempat peristiwa dan tempat terasanya dampak buruk externalitas. Nutela yang kita jilati di Jerman merupakan hasil kerja dengan upah buruk orang-orang Pantai Gading, yang menggarap lahan perkebunan cokelat di atas lahan konversi bekas hutan belantara. Listrik yang dinikmati di Jawa hanya mungkin akibat eksternalitas kesengsaraan masyarakat dan satwa liar di Kalimantan yang tinggal di sekitaran daerah penambangan batubara. (4) Profesionalisasi tiap-tiap pekerjaan, berupa spesialisasi serta diferensiasi setiap individu, organisasi, ataupun perusahaan untuk bagian pekerjaan masing-masing juga berdampak pada minimnya distribusi pengetahuan holistik mengenai keseluruhan rantai produksi. Misalnya, seseorang yang bekerja di bagian accounting sebuah perusahaan batubara, yang setiap bulannya menerima gaji yang berlebih, dan mungkin lebih banyak daripada para ahli yang ada di lapangan, tidak mesti tahu menahu mengenai dampak polusi batubara yang diterima oleh ekosistem sekitar maupun masyarakat sekitar. Yang tahu, mungkin insinyur lingkungan yang ditugaskan oleh dinas lingkungan setempat, yang bisa jadi kemudian mungkin sekali disuap untuk bungkam mengenai AMDAL yang seharusnya tidak dapat diloloskan. Yang jelas, setiap individu memiliki tugasnya masing-masing, dan tanggungjawab yang dilimpahkan kepada para pekerja di perusahaan tersebut hanyalah sebatas penyelesaian bagian-bagian tugas mereka masing-masing. Kenyataan sosial ini, yang menjadi struktur utama dunia sosial “masyarakat moderen” ini amatlah bermasalah, sebab “ketidakbertanggungjawaban yang terorganisasi” (Beck 2015) berlaku dan legitim sebagai prinsip bisu yang memang membuat efisiensi kerja dan produktivitas meningkat, namun juga meningkatkan ketidaktahuan mengenai eksternalitas-eksternalitas yang disebabkan oleh keseluruhan dari bagian-bagian pekerjaan sebuah perusahaan. Belum kalau kita membicarakan diri kita sendiri sebagai konsumen sebuah produk. Mereka yang bekerja dalam rantai produksi saja belum tentu mengetahui eksternalitas-eksternalitas yang disebabkan oleh perusahaan mereka sendiri; apalagi konsumen, yang mayoritas di era ini hanya mengkonsumsi, tanpa tahu caranya memproduksi? (5) Terakhir, eksternalitas negatif terhadap lingkungan hanya mungkin terjadi akibat “kemajuan” dalam pengolahan material produsen-produsen barang hari ini. Kemajuan yang menyebabkan peningkatan kualitas produk-produk dari segi ketahanan, estetika, efisiensi, maupun kenyamanan penggunaan, yang dimungkinkan oleh penggunaan material-material dari alam yang dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga tidak lagi dapat menjadi bagian integral proses daur ulang alamiah. Plastik misalkan, tidak bisa hancur sepenuhnya oleh proses daur ulang alamiah; hanya waktu dan Tuhan yang bisa menghancurkannya, dan sampai lenyapnya plastik, banyak zat-zat kimianya yang sudah bersirkulasi dalam rantai makanan dan tubuh seluruh spesies bumi. Bahan-bahan hibrid kayu, metal, plastik, maupun serat karbon misalkan, yang menyatukan material yang berbeda-beda jenis itu, juga tidak bisa didaur ulang, baik oleh alam maupun oleh manusia sendiri sebagai penciptanya. Faktor selanjutnya juga ialah skala; skala yang besar dari produksi era modern ini membuat segalanya tidak terkontrol. Tidak ada institusi manapun yang bisa menelusuri jejak perjalanan seluruh material yang dieksploitasi manusia dalam prosesnya menjadi sebuah produk. Kompleksitas jejaring lalu lintas jual beli material tidaklah bisa disederhanakan dalam statistik-statistik yang kita bisa cari di internet belaka (Latour 2015). Oleh karena itu, di sinilah etika menjadi penting dalam menentukan batas produksi pabrik-pabrik kita; bagaimana bisa kita membiarkan barang-barang yang memiliki masa hidup terbatas untuk tetap diproduksi, yang terbuat dari material yang tak lagi bisa didaur ulang, dan proses “penguraian” setelah masa hidupnya habis hanya bisa mencemari alam dan bahkan metabolisme kita sendiri begitu material-material asing tersebut merasuk ke rantai makanan? Ketidakterbatasan penciptaan ini baiknya dipahami, sebab manusia merasa seakan-akan dirinya Tuhan.
III.
Eksternalisasi negatif harus di”lawan”–kalau kita bisa menggunakan kata “lawan” untuk melawan sesuatu yang kita lakukan sendiri. Kalau eksternalitas merupakan dampak atau akibat buruk yang tidak kita ketahui proses terjadinya, waktu terjadinya, di mana terjadinya, maka kita harus mencari pengetahuan tentang eksternalitas dalam setiap hal yang berpotensi memiliki eksternalitas. Kalau eksternalitas merupakan risiko, artinya dampak negatif yang dapat diperkirakan sebelum kejadiannya, maka kita harus melanjutkan proses institusionalisasi risiko yang sudah berlangsung (Beck 2015), dengan pengawasan proses hukum maupun penaatan aturan prosedural yang mewajibkan tiap agensi (bisa jadi organisasi seperti perusahaan ataupun negara) untuk memitigasinya atau membayar ongkos eksternalitasnya.
Barangkali penting untuk juga membahas tema ini dari sudut pandang yang lebih dasariah dan filosofis, yang menyangkut epistemologi atau pola berpengetahuan kita. Sudah saatnya kita melirik, dan membaca secara serius proposal teori-teori “ontologi relasionalitas” dan sejenisnya. Sebuah peristiwa, sebuah subjek, sebuah objek, sebuah Ada, terjadi, menjadi, maupun meng-ada bukan karena adanya intensi sebuah subjek semata. Sesuatu terjadi bukan selalu karena adanya subjek dan objek yang berkelindan, berelasi. Melainkan, sesuatu terjadi, menjadi, maupun meng-ada akibat relasi. Relasionalitas membuat subjek dan objek menjadi dapat dipukul rata sebagai “substansi”–dalam konteks filosofis–yang sama. Bruno Latour menyebutnya “aktan”, sebagai sebuah pijakan metafisika yang baru, yang mengganti dualisme subjek dan objek. Jika kita menjunjung relasionalitas dari sebuah peristiwa, maka sebuah benda, atau “aktan”, yang muncul dihadapan kita akan memiliki nuansa yang lain. Kita akan melihat ponsel kita, iphone misalkan, sebagai “hibrid” dari keseluruhan proses produksi yang menjadikan iphone kita Ada. Dalam iphone kita, kita melihat designer yang duduk di Kalifornia, mesin-mesin penambang yang mengambil material-material berharga di berbagai belahan dunia, mikro chip yang dikerjakan insinyur di Taiwan, pabrik assembly di Cina, dan bau laut yang dicium oleh nahkoda kapal yang memungkinkan seluruh material iphone untuk diproduksi menjadi iphone di satu tempat dan kemudian didistribusikan ke seluruh dunia. Sebuah objek, barang, benda, yang kita lihat sehari-hari, tiba-tiba memiliki potensi kesejarahan yang banyak sekali. Dan dalam penggunaan iphone, kita bisa melihat bagaimana keberadaan iphone juga mengubah kehidupan kita, cara kita berkomunikasi, cara kita mencari informasi, cara kita bereaksi, cara kita berpolitik, dan seterusnya. Iphone yang dinamai objek ini ternyata tidak hanya berada dihadapan kita untuk kita pakai, namun juga ikut mengubah hidup kita, bahkan bentuk kehidupan banyak masyarakat di dunia. Secara singkat, inilah yang harus membuat kita berpikir ulang mengenai dualisme objek dan subjek. Sebab, yang nyata terjadi adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi akibat relasi antara kita, iphone, dealer iphone, orang yang kita telepon, dan seterusnya. Relasionalitas dari segalanya harus kita sadari.
Dengan demikian eksternalisasi dapat kita hindari, paling tidak dalam pengetahuan kita. Pengalaman relasionalitas membuat kita menginternalisasi hal-hal yang tidak kasat mata, yang termuat pada keseluruhan peristiwa. Secara individual, hal ini amat berarti, sebab dalam mengambil keputusan kita selalu menimbang untuk menerka-nerka, apa yang terjadi sebelum maupun sesudah kita mengambil keputusan tersebut. Konkretnya, ya dalam konsumsi kita. Dalam mengkonsumsi, kita menjadi sadar untuk menerka-nerka selalu, darimana barang ini berasal, bagaimana dampaknya untuk kesehatan, bagaimana dulu barang ini diproduksi, mengapa kok murah sekali harganya, kira-kira material utama pembentuk barang ini apa, dan seterusnya. Istilah “relasionalitas” pada dirinya sendiri mungkin terdengar abstrak, namun sejatinya pemikiran jenis ini hanya mungkin akibat kepedulian yang tinggi terhadap apa yang konkret terjadi. Dalam bahasa Jerman ada istilah Stoffwechsel, mutasi material-material yang ada di dunia ini, atau “metabolisme” pada arti harafiahnya: peralihwujudan. (Hari ini metabolisme mengalami penyempitan akibat kanonisasi dari ilmu kedokteran; namun, hakikatnya metabolisme berarti mutasi, dari bahasa Yunani metabolikós).
Dengan cara pandang relasional dan materialistis seperti ini, kita dimungkinkan untuk memperlebar wilayah pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban bukan saja berhenti pada apa yang ada di depan kita, namun keseluruhan peristiwa di masa lalu dan risiko peristiwa di masa depan. Sederhana saja, misalnya, ketika kita membuang sampah, maka kita bisa mulai berpikir untuk memastikan bahwa sampah-sampah itu tidak hanya menumpuk di landfill, namun juga sebagian didaur ulang. Bila belum ada fasilitasnya, maka kita bisa mulai juga untuk berpikir untuk mengajukan aspirasi tersebut ke ruang publik, agar supaya politik dapat bekerja memperbaikinya. Kita bisa memnulai memikirkan hal-hal dari yang kecil-kecil sampai peristiwa yang besar sekali, seperti perubahan iklim: sebuah fenomena yang murni menjadi ada akibat eksternalisasi cara produksi, mengolah sumber daya, dan gaya hidup manusia. Apa saja eksternalitas yang terjadi bila Indonesia terus menerus menggunakan PLTU berbasis batu bara yang luar biasa emisi karbon dioksidanya, atau terus menerus membakar dan mengalihfungsikan hutan untuk kelapa sawit? Tak hanya pembantaian masal spesies-spesies yang hidup di hutan, namun juga kehidupan generasi masa depan yang terancam haknya untuk hidup dalam kondisi-kondisi lingkungan yang lestari merupakan eksternalitas-eksternalitas yang tak kita acuhkan. Untuk meminjam istilah teologis, eksternalitas sejatinya adalah dosa, dan dosa peradaban kita sejauh ini besarnya tak terbatas.
P.S. Tulisan ini ditulis 26 Agustus 2022 untuk keperluan Kajian Rutin PPIJ.
Pustaka
ARD Alpha. 2022. Fast Fashion auf Reisen: Kleider-Müllberge in der Atacama-Wüste. https://www.ardalpha.de/wissen/umwelt/muell-muellberge-kleidung-afrika-asien-amerikas-elektroschrott-100.html
Beck, Ulrich. 2015. Riskogesellschaft. Auf dem Weg in eine andere Moderne. Suhrkamp.
Bell, Alice. 2020. Can We Save the Planet? A primer for the 21st century. London: Thames & Hudson.
IMF. no date. Externalities: Prices do not capture all costs. https://www.imf.org/en/Publications/fandd/issues/Series/Back-to-Basics/Externalities
Investopedia. 2022. Externality: What it means in economics, with positive and negative examples. https://www.investopedia.com/terms/e/externality.asp
Harari, Yuval Noah. 2016. Homo Deus. A Brief History of Tomorrow. London: Penguin.
Kelly, Duncan. 2019. Politics and the Anthropocene. London: Polity Press.
Latour, Bruno. 2015. Reassembling the Social. An Introduction to Actor-Network-Theory. Oxford.
Latour, Bruno. 2019 [1991]. Wir sind nie modern gewesen. Versuch einer symmetrischen Anthropologie. Frankfurt am Main: Suhrkamp.
New York Times. 2019. Syrian Refugees Toil on Turkey’s Hazelnut Farms with Little to Show for It. https://www.nytimes.com/2019/04/29/business/syrian-refugees-turkey-hazelnut-farms.html%20petani%20hazelnut
Sloterdijk, Peter. 2019 [2014]. Der ästhetische Imperativ. Schriften zur Kunst. Berlin: Suhrkamp
Schluep, Matthias. 2019. Elektroschrott in Ghana – Die Gifthalde in Accra. SRF Dok. https://www.youtube.com/watch?v=4DFjA2Y1RXU
Susmiyanti, Haris Retno. 2022. Pemindahan Ibu Kota Negara Eksploitasi Berkelanjutan. PPI UK. https://www.youtube.com/watch?v=IQz-XBrE5XA&t=5s
Spiegel. 2011. Europas Gift verseucht Spielplätze in Afrika. https://www.spiegel.de/wissenschaft/technik/uno-studie-zu-elektroschrott-europas-gift-verseucht-spielplaetze-in-afrika-a-794843.html
Torre, Andrew. 2019. Externalities. Dalam Encyclopedia of Law and Economics, hal. 844-851. https://link-springer-com.eaccess.ub.tum.de/referenceworkentry/10.1007/978-1-4614-7753-2_40
Varoufakis, Yanis. 2019 [2013]. Talking to My Daughter. A Brief History
Watchdog. 2021. Baradwipa. Dhany Laksono. https://www.youtube.com/watch?v=2aKLgGk5s5M