Skip to content

Cara Carbon Pricing Mendukung Pengurangan Emisi

Ditulis oleh Arsyan Mohamad Virio Andreyana

Note: Gas rumah kaca = GHG = CO2-Aqv = disimplifikasi menjadi “emisi karbon”

Seperti yang tertera berulang-ulang dalam laporan IPCC, emisi gas rumah kaca (CO2, CH4, NO2, dll) oleh manusia merupakan penyebab utama kenaikan suhu rata-rata di permukaan bumi [1]. Pemanasan tersebut akan dan telah menimbulkan kerusakan lingkungan seperti cuaca ekstrim, kekeringan serta banjir yang memiliki efek sosio-ekonomi seperti gagal panen, tanah yang kenaikan air laut. Namun, kerusakan tersebut tidak tercatat dalam biaya pihak yang melakukan emisi tersebut.

Carbon pricing adalah satu dari berbagai macam cara untuk memasuki perhitungan dampak kerusakan iklim ke dalam bahasa yang para pengusaha mudah pahami, yaitu dalam bentuk uang.

Carbon pricing telah mendapatkan perhatian karena pemerintah Indonesia sedang merancang peraturan pajak karbon untuk PLTU yang akan diterapkan dalam bulan Mei 2022 [2]. Untuk melihat manfaat yang bisa diberikan dari pajak karbon dan perjalanan panjang yang mesti ditempuh oleh Indonesia, alangkah baiknya untuk kita mengamati apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Jerman dan Uni Eropa mengenai carbon pricing.

Untuk menghindari kesalahpahaman arti antara carbon pricing, pajak karbon dan cap-and-trade, definisi umum untuk masing masing akan diberikan.

  • Carbon pricing adalah usaha untuk menaruh harga pada emisi karbon. Carbon pricing dapat dibagi menjadi dua kategori: pajak pigovian dan cap-and-trade
  • Pajak pigovian adalah pajak untuk disinsentif perilaku yang memiliki dampak buruk kepada masyarakat. (contoh: pajak rokok dan alkohol). Nilainya ditentukan langsung dari pemerintah. Inilah yang akan diterapkan di Indonesia. 
  • Cap-and-trade adalah skema seperti berikut: Setiap perusahaan mendapatkan tunjangan karbon (carbon allowances) dimana persyaratan untuk mengemisi CO2 adalah dengan memberikan tunjangan tersebut ke pemerintah. Jika perusahaan tersebut kekurangan carbon allowances, maka perusahaan tersebut harus membeli dari perusahaan lain yang berlebihan carbon allowances. Harganya fluktuatif dan tergantung dengan supply and demand. Inilah skema yang diterapkan oleh uni eropa untuk sektor energi.

Untuk menentukan pajak karbon per unit bahan fossil ditentukan oleh faktor emisi dan harga karbon dengan formula sebagai berikut:

Biaya karbon = bahan fossil x faktor emisi x harga karbon

Tindakan satu PLTU

Dalam contoh pertama, bayangkan anda pemilik PLTU dan pajak karbon barusan diterapkan sebesar Rp 200.000 per ton CO2. Anda punya tiga tindakan yang bisa dilakukan untuk mengurangi emisi karbon: 

  1. Meningkatkan insulasi furnace pembakaran batubara sehingga bisa hemat 10.000 ton batubara per tahun. Investasi yang diperlukan: 25 miliar
  2. Melakukan co-firing batubara dengan pellet kayu dengan ratio 95% batubara dan 5% pellet kayu (pellet kayu dihitung sebagai netral karbon). Investasi retrofit yang diperlukan: 50 miliar
  3. Memasang sistem CCS (Carbon Capture and Storage) dengan menyimpan 5% karbon yang dihasilkan ke bawah tanah. Investasi retrofit yang diperlukan: 10 miliar

Konsumsi batubara ≈ 300.000 ton batubara per tahun

Harga batubara ≈ Rp 3.000.000 per ton batubara [3]

Emisi batubara ≈ 3 ton CO2 per ton batubara [4]

Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari perhitungan teoritik ini. Pertama, tindakan A yaitu meningkatkan insulasi memiliki biaya negatif dalam arti pembangkit tersebut dapat untung dari tindakan tersebut, terlepas dari skema harga karbon itu sendiri. Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat melakukan hal yang sama dalam bentuk menggantikan lampu pijar menjadi LED.

Tindakan B yaitu co-firing umumnya tidak dilakukan oleh pembangkit listrik karena mengurangi CO2 tidak akan membalik modal investasi mereka. Dengan adanya pajak karbon dengan harga diatas biaya tersebut, para pengusaha dapat melihat bahwa berinvestasi di tindakan B lebih murah dibandingkan membayar pajak karbon.

Tindakan C yaitu carbon capture and storage memerlukan investasi yang jauh lebih tinggi per emisi CO2 yang dihindari dibandingkan tindakan yang lain. Ini menunjukan bahwa pengusaha tidak akan melakukan tindakan tersebut kecuali jika harga karbon memang sudah setinggi biaya itu sendiri.

Jika semua tindakan tersebut tertata dari yang paling murah di sebelah kiri, dan yang paling mahal di sebelah kanan, maka akan muncul namanya Marginal Abatement Cost Curve. International Energy Agency (IEA) telah memberikan contoh dari kurva tersebut untuk Indonesia [5] Lihat link.

Semua tindakan tersebut menunjukan bahwa ada banyak cara untuk mengurangi emisi dari PLTU asalkan insentifnya tersedia. Namun, PLTU hanya dapat mengurangi emisinya mereka sampai titik tertentu. Selain itu, ada solusi sederhana bagi pemilik PLTU untuk mempertahankan labanya, yaitu dengan menaiki harga jual listrik. Jika semua pembangkit listrik dimonopolikan oleh satu pihak, maka mereka akan menaikan harga listrik tanpa dampak dalam pengurangan emisi.

Jika kita ingin mencapai net-zero, kita harus menguntungkan pembangkit listrik yang rendah emisi dan membankrutkan pembangkit listrik yang tinggi emisi. Oleh karena itu, kita harus melihat apa yang terjadi dalam pasar seluruh pembangkit listrik.

Tindakan Seluruh Pembangkit Listrik

Indonesia memiliki pasar listrik yang monopolistik karena semua listrik yang diproduksi oleh pembangkit listrik hanya dapat dibeli oleh PLN. Hal ini berbeda dengan Jerman dimana terdapat banyak perusahaan middleman bernama Stadtwerke yang membeli listrik dari generator dan menjualnya kepada pelanggan. 

Kedua pasar listrik tentunya ingin membeli listrik dengan harga yang termurah namun dengan strategi yang berbeda. PLN contohnya membuat kontrak penyediaan listrik untuk pembangkit listrik dengan harga dan kuantitas yang sudah ditentukan. Sedangkan, pembangkit listrik di Jerman umumnya harus bersaing antara satu sama lain untuk menyediakan harga yang termurah karena jika tidak, listrik mereka tidak akan masuk pasar. Ini dapat dilihat dari grafik merit order:

Salah satu variabel terbesar harga listrik adalah biaya bahan bakar yang diperlukan untuk menghasilkan listrik. Karena energi baru terbarukan (EBT) tidak memerlukan input bahan bakar, pembangkit listrik EBT bersedia untuk menjual listrik dengan harga yang murah. Namun, listrik tersebut tidak selalu tersedia, khususnya untuk solar panel dan kincir angin jika langitnya sudah gelap dan anginnya kurang kencang. Dalam kondisi itu, listrik dominan terisi oleh pembangkit listrik batubara, gas dan diesel.

Harga pasar listrik muncul dari biaya pembangkit listrik yang termahal namun perlu dinyalakan. Contohnya, daya listrik yang diperlukan pada jam tertentu adalah sebesar 700 MW. Dalam kondisi itu, listrik dapat dipenuhi oleh batubara dan EBT, sedangkan kapasitas gas dan diesel masih belum diperlukan.

Peran carbon pricing dalam skema ini adalah untuk menaiki biaya dari pembangkit listrik yang sebanding dengan jenis bahan bakar yang digunakan. Berdasarkan data dari kementerian lingkungan Jerman, emisi yang dihasilkan oleh gas, batubara (hard coal dan lignite) adalah sebagai berikut. Jika ada pajak karbon sebesar Rp 200.000 per ton CO2 maka biaya listrik dari pembangkit akan naik sebesar berikut:

Secara teoritis, pembangkit listrik lignite akan kalah saing dengan hard coal, dan hard coal akan kalah saing dengan gas jika pajak karbon mencapai titik tertentu. Tidak semua pembangkit listrik batubara dibuat sama, dan seperti yang tertera dalam studi ini, jika carbon pricing diterapkan, pembangkit listrik yang lebih efisien akan menang bersaing dengan yang kurang efisien [7].

Namun, kelemahan dari menggunakan carbon pricing tentunya adalah naiknya rata-rata harga listrik. Oleh karena itu, uang yang dikumpulkan dari carbon pricing sebaiknya digunakan kembali lagi kepada industri listrik seperti investasi terhadap energi hijau, atau dibaliki kepada rakyat dalam bentuk subsidi.

Tetapi, di luar dari dari pajak karbon itu sendiri terdapat perkembangan yang terjadi di dunia yang sangat memprihatinkan. Seperti yang diketahui, peperangan Rusia-Ukraina menyebabkan semua bahan bakar fosil khususnya gas untuk naik tajam. Website ini menunjukan bahwa tidak ada waktu yang lebih baik lagi untuk menggantikan pembangkit listrik batubara dengan EBT dibandingkan dengan pembangkit listrik gas, suatu hal yang tidak pernah terjadi sebelum tahun 2020 [8].

Kesimpulan

Carbon pricing secara teoritis bertujuan untuk memasuki harga dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh emisi karbon. Dalam penerapannya secara praktis, carbon pricing mampu untuk memberi insentif untuk pembangkit listrik dalam meningkatkan efisiensinya dan membuat pembangkit listrik yang rendah karbon lebih kompetitif.

[1] IPCC Climate Change 2021: The Physical Science Basis 

[2] Bisnis Tempo: Pajak Karbon PLTU Berlaku 1 April, Bagaimana Imbasnya ke Tarif Listrik? 

[3] Lihat Harga Acuan – Ditjen Minerba pada Maret 2022

[4] Lihat Umweltbundesamt: CO2 Emission Factors for Fossil Fuels untuk melihat emisi faktor dari berbagai macam pembangkit listrik. Asumsi faktor CO2 ≈ 100 t CO2/TJ (1 TJ = 34.12084 ton batubara)

[5] Marginal abatement cost curve, Indonesia – Charts – Data & Statistics – IEA 

[6] Entwicklung der spezifischen Kohlendioxid-Emissionen des deutschen Strommix in den Jahren 1990 – 2019 

[7] https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/880/1/012049/pdf  

[8] Fuel Switching 2.0: Carbon Price Index for Coal-to-Clean Electricity