Oleh : skyboundpens
Berlin, musim gugur 2024. Angin dingin menyapu jalanan, membawa aroma kopi dari kafe-kafe kecil yang tersebar di sepanjang Kreuzberg. Kai menarik kerah jaketnya, mengusap telapak tangan yang kaku karena dingin. Di trotoar yang basah oleh gerimis, seorang lelaki duduk dengan kanvas dan cat air, melukis siluet kota yang selalu membuatnya jatuh cinta.
Hidup di Berlin bukanlah sesuatu yang Kai rencanakan. Awalnya, Kai hanya berniat tinggal selama beberapa bulan untuk mencari inspirasi. Namun, kota ini menahannya lebih lama dari yang Kai kira.
“Schönes Bild.”¹
Sebuah suara menyapa dari belakang. Seorang perempuan berambut pirang gelap berdiri di sana, mengenakan mantel hitam panjang. Senyumnya tipis, namun matanya tajam, penuh amatan.
“Danke,” jawab Kai singkat.
“Sie sind nicht von hier, oder?”² tanyanya lagi, suaranya terdengar tenang namun penuh ketertarikan.
Kai menggeleng. “Indonesien.”
Perempuan itu mengangguk, tampak berpikir sejenak. “Ich bin Lene.”
Pertemuan pertama itu sederhana. Namun, seperti banyak hal dalam sejarah, sesuatu yang tampak kecil bisa menjadi pemicu sesuatu yang lebih besar.
¹ Lukisan yang indah
² Anda bukan dari sini, bukan?
•••
Kai tidak menyangka pertemuannya dengan Lene akan berlanjut. Mereka mulai sering bertemu di kafe kecil dekat studio seni tempat Kai bekerja paruh waktu. Lene selalu duduk di meja dekat jendela, dengan setumpuk buku dan catatan di depannya. Dari kejauhan, Kai bisa melihat ketekunannya, seolah-olah perempuan itu mencari sesuatu yang tersembunyi dalam kata-kata dan gambar.
Lene adalah seorang peneliti sejarah yang tengah mendalami proyek pribadinya—mencari jejak kakeknya, seorang mantan perwira yang menghilang setelah perang berakhir. Lene sering berbicara tentang kegelisahannya. “Aku perlu tahu kebenaran,” katanya suatu hari, suaranya dipenuhi keraguan. “Mungkin ini cara satu-satunya untuk mengerti siapa aku.”
Pada sore yang kelabu, di sebuah pasar loak di Friedrichshain, Kai menemukan sesuatu yang mengusik pikiran. Sebuah lukisan tua dengan goresan kasar, menggambarkan lanskap yang samar-samar familiar. Warna-warna gelap mendominasi, tetapi di sudutnya ada inisial yang tertulis dengan tinta pudar. H. L.
“Lukisan ini aneh,” gumam Kai saat memperlihatkan pada Lene.
Lene menatapnya lama. Wajahnya menegang.
“Ini bukan hanya aneh,” suara Lene nyaris berbisik. “Ini bisa jadi milik keluarga saya.” Kai mengangkat alis. “Maksudmu?”
Lene menelan ludah. “Lukisan ini … kemungkinan besar bagian dari koleksi kakek saya. Atau lebih tepatnya—lukisan yang pernah hilang.”
Dalam penelitian Lene, dia menemukan bahwa kakeknya, Heinrich Lenz, bukan hanya seorang perwira biasa. Ada kemungkinan besar kakeknya terlibat dalam penyelundupan karya seni selama perang, bagian dari proyek besar Nazi yang dikenal sebagai Sonderauftrag Linz—misi untuk mengumpulkan dan menyita karya seni dari seluruh Eropa untuk koleksi pribadi Hitler. Namun, Heinrich Lenz menghilang pada tahun 1945, dan sebagian besar koleksinya lenyap bersamanya.
“Mungkin kakek saya melarikan diri dengan membawa beberapa lukisan,” gumam Lene.
Kai mengamati lukisan itu sekali lagi. Ada sesuatu yang mengganggunya, bukan hanya fakta bahwa ini bisa jadi bagian dari sejarah kelam, tetapi juga karena seakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik catnya.
•••
Saat malam tiba, Lene mencoba mengamati lebih dekat dengan pencahayaan berbeda. Dan di sanalah Lene melihatnya—bekas guratan halus di bawah lapisan cat, seperti sesuatu yang ditutupi dengan sengaja.
Lene menahan napas saat Kai menunjukkannya.
“Kita harus membersihkan bagian ini,” ucap Lene mantap.
Kai ragu. “Tapi kalau ini benar-benar bukti penting?”
Lene terdiam, lalu berkata dengan suara pelan, “Maka kita harus mencari tahu apa yang disembunyikan.”
Mereka membawa lukisan itu ke seorang restorator seni yang dikenal Lene, seorang pria tua bernama Klaus. Dengan hati-hati, Lene mulai mengikis lapisan cat tambahan yang tampaknya bukan bagian asli dari lukisan itu.
Tak lama setelah itu, perlahan-lahan sebuah gambar lain mulai muncul di bawahnya. Bukan pemandangan alam seperti yang terlihat di permukaan, melainkan potret seorang anak kecil dengan mata kosong, memandang lurus ke depan.
Di sudutnya, sebuah nama tertulis dengan samar. Elias Kaufmann.
Lene membeku. “Kaufmann … itu nama keluarga yang terkenal dalam sejarah kelam.”
Kai menghela napas panjang. “Ini bukan sekadar lukisan curian. Ini adalah bukti kejahatan perang.”
Kai dan Lene saling berpandangan. Apa yang awalnya hanya sebuah misteri seni kini berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam dan berbahaya. Saat mereka semakin menggali informasi, Lene mulai menerima ancaman yang makin jelas. Seseorang tidak ingin rahasia ini terungkap. Di malam yang dingin, di luar jendela kafe, mereka merasa seolah ada yang mengawasi.
“Ini bukan hanya soal keluargamu,” kata Kai, suara serius melintas di tengah gerimis malam Berlin. “Ini tentang sesuatu yang lebih besar.” Lene menggenggam mantel erat. “Dan sesuatu yang lebih gelap.”
Mereka tahu bahwa ada orang-orang yang ingin menutupi masa lalu. Mereka juga tahu bahwa kebenaran bisa menjadi beban yang terlalu berat untuk ditanggung.
Lene sering berdiam diri, berpikir tentang masa lalu kakeknya, dan apakah mencari tahu lebih banyak akan membebaskannya atau justru semakin membebani.
“Apa yang terjadi jika aku tidak bisa menghadapinya?” katanya suatu malam, saat mereka duduk bersama di kafe.
Kai hanya mengangguk, namun ada kesedihan dalam matanya. “Terkadang, jawaban justru membawa lebih banyak pertanyaan.”
•••
Saat Lene akhirnya memutuskan untuk menyerahkan lukisan itu ke museum sebagai bukti sejarah, dia menyadari satu hal—dia tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang keluarganya. Mengungkap kebenaran itu mungkin akan mengubah segalanya, namun Lene tahu bahwa tanpa itu, dia takkan pernah merasa bebas.
Lene berdiri di depan lukisan yang akan dipajang di museum, matanya memandangi karya yang telah lama hilang itu.
“Ini bukan akhir,” bisiknya pada dirinya sendiri, “hanya sebuah awal.”
Lene tahu bahwa dengan setiap jawaban yang ditemukan, ada lebih banyak pertanyaan yang muncul, dan mungkin, beberapa kebenaran yang lebih gelap masih menunggu untuk terungkap.
Kai berdiri di sampingnya, tanpa kata-kata. Mereka tak lagi membutuhkan kata-kata untuk mengerti. Sejarah, seperti lukisan yang tak pernah selesai, terus berkembang dan berubah seiring waktu. Mereka tidak akan pernah menghapus masa lalu, tapi mereka bisa memilih untuk melihatnya dengan cara yang baru.
Sumber foto: Chat Gpt