Skip to content

Forum PPI Jerman 10 x Jagöngan PPI Göttingen: “Pengabdian Diaspora Indonesia untuk Negeri”

Jerman, 27 Juli 2024 – Indonesia saat ini sedang berupaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai bagian dari strategi besar pembangunan nasional. Salah satu langkah konkret yang telah diambil adalah melalui program beasiswa yang dikelola oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Program ini memberikan peluang kepada ribuan pelajar Indonesia untuk melanjutkan studi ke luar negeri di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Jerman merupakan salah satu negara tujuan utama bagi para penerima beasiswa ini, mengingat reputasi dalam bidang pendidikan, penelitian, dan teknologi. Dengan tujuan agar penerima dapat membawa kembali ilmu dan pengalaman yang diperoleh untuk diterapkan dalam pembangunan Indonesia. Namun, meskipun banyak penerima beasiswa yang berhasil menyelesaikan studi mereka dengan baik, tantangan muncul ketika mereka harus kembali dan beradaptasi serta berkontribusi di tanah air.

Hal ini menyebabkan adanya kebutuhan untuk merumuskan kebijakan dan strategi yang dapat mendukung integrasi yang efektif bagi para alumni beasiswa tersebut. Selain itu, diaspora ilmuwan Indonesia yang tersebar di berbagai negara, termasuk Jerman, memiliki peran penting dalam pembangunan nasional. Dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman internasional, mereka memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam berbagai bidang seperti penelitian, teknologi, pendidikan, dan industri. Namun, potensi ini sering kali belum dimanfaatkan secara optimal karena berbagai hambatan struktural dan sistemik yang ada.

“Pengabdian Diaspora Indonesia untuk Negeri”, menjadi tema Forum PPI Jerman ke 10, kali ini yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 27 Juli 2024 secara daring. Acara ini diikuti oleh lebih dari 50 orang peserta yang berdomisili di Indonesia maupun Jerman. Hadir sebagai narasumber utama, Ir. Dwi Larso, MSIE, PhD, Direktur Beasiswa LPDP, dan diaspora Prof. Dr-Ing. Hendro Wicaksono, yang menjabat sebagai guru besar di Constructor University Bremen, Jerman. Acara dipandu oleh anggota divisi pendidikan dan kebudayaan PPI Göttingen, M Rizky Hidayat. Adapun beberapa narasumber lain yang diundang pada sesi sharing antara lain, Niken Ayu Permatasari, Sekar Ayu Yunita, Hilman Fatoni, Teuku Harza Maulidi, dan Bertha Lovita Dwi, sebagai mahasiswa doktor maupun alumni beasiswa di Jerman.

“Saat ini LPDP sedang merancang program kerjasama doktoral dengan beberapa kampus di Jerman dan DAAD (beasiswa dari pemerintah Jerman), sehingga timing pembahasan topik ini sangat tepat. Topik diaspora selalu menarik dibahas karena 45% penerima beasiswa LPDP ada di luar negeri”, ujar Dwi Larso. Ia menambahkan, bahwa dengan semakin banyaknya orang Indonesia di luar negeri yang menjadi profesor, makin banyak anak-anak muda yang berkarier di ranah global, dan apabila semua tegak lurus demi kemajuan bangsa, maka akan menambah kepercayaan diri Indonesia sebagai global player di kancah dunia dan membawa kebaikan bagi negara. “Indonesia ini bangsa yang harus terus maju, tidak boleh berhenti, apalagi mundur”, tegasnya.

Dalam presentasinya, Direktur Beasiswa LPDP yang menjabat sejak 2020 itu menekankan motivasi Indonesia untuk menjadi negara maju ke 7 di dunia pada tahun 2030, kemudian naik menjadi ke 5 di dunia pada tahun 2045. Namun saat ini bila dibandingkan dengan negara tetangga saja seperti Malaysia, Vietnam, Thailand yang rasio penduduk lulusan S2 dan S3 nya sebesar 2.43%, rasio penduduk Indonesia dengan pendidikan lulusan S2 dan S3 masih di kisaran 0.49%, sedangkan negara – maju seperti Jerman berada di kisaran 10%. Saat ini dana yang dikelola LPDP mampu menyekolahkan hingga 10.000 orang per tahun untuk jenjang magister dan doktor, namun dibutuhkan dana 2 hingga 3 kali lipat dari yang ada sekarang untuk mengejar ketertinggalan dengan negara tetangga, dan 10 kali lipat untuk mengejar negara maju. “Untuk mengejar ketertinggalan dengan negara maju, kita butuh dana sekitar seribu triliun, sama dengan jumlah endowment funds milik Stanford University”, ujar Dwi Larso. “Saat ini alumni LPDP ada 22.877 orang, dimana ada 173 orang diantaranya bekerja di lembaga-lembaga internasional dimana Indonesia punya kepentingan disitu, dan untuk alumni LPDP kami perbolehkan untuk magang mencari pengalaman kerja hingga 2 tahun”, ujarnya menambahkan. Menanggapi pertanyaan peserta, apakah alumni LPDP diperbolehkan menjadi profesor diaspora di luar negeri, beliau berujar bahwa aturan saat ini belum memperbolehkan hal itu, namun aturan bisa saja berubah di kemudian hari. “Apabila di masa depan itu menguntungkan bagi kepentingan Indonesia, bisa saja kelak diperbolehkan dengan syarat – syarat tertentu”, jawabnya.

Pada sesi berikutnya, Prof. Hendro memaparkan bagaimana proses riset terjadi di Jerman, dan bagaimana pihak-pihak dari Indonesia yang tertarik dapat ikut bergabung didalamnya. “Pengeluaran untuk pembiayaan riset sebesar 3.13% dari total PDB Jerman, dimana 67% dari total pembiayaan riset itu berasal dari industri, atau sektor swasta”, ujarnya. Hal ini menunjukkan besarnya kebutuhan industri terhadap kegiatan research and development. Natural sciences menempati urutan pertama sebagai topik riset paling banyak di Jerman, yang kemudian disusul dengan topik Engineering Technology, dan topik medis serta ilmu kesehatan. ”Iklim riset di Jerman sudah terpetakan dengan baik, siapa saja organisasi yang perannya fokus di riset terapan, dan siapa yang perannya di riset fundamental, dan yang menarik institusi kampus memiliki keleluasaan untuk melakukan riset di keduanya, baik fundamental maupun terapan”, terangnya. Selanjutnya Prof. Hendro menerangkan bagaimana sebuah siklus riset di Jerman terjadi, yang dimulai dengan pemaparan ide riset dan pembentukan konsorsium dengan pihak-pihak yang terlibat termasuk sektor swasta, yang kemudian diikuti penulisan proposal riset yang apabila disetujui pendanaannya, bisa digunakan untuk pembiayaan program doktoral maupun program postdoc. “Yang sedang kami lakukan saat ini, yaitu melibatkan teman-teman yang ada di Indonesia dan ingin riset di Jerman untuk terlibat di riset cycle ini, dari mulai pitching idea hingga penulisan proposal bersama dan melakukan program doktoral ataupun postdoc disini, dan sebenarnya effort nya ini sama dengan jika apply ke beasiswa DAAD”, terang Prof. Hendro. Beliau menambahkan bahwa perbedaan iklim riset di Indonesia seringkali lebih fokus pada formalitas, sedangkan di Jerman lebih mementingkan ide risetnya sedangkan formalitasnya bisa mengikuti. Selain itu, pada skema pembiayaan riset, di Indonesia lebih fokus pada pembiayaan consumables atau barang habis pakai, sedangkan di Jerman 85% pembiayaan riset dialokasikan untuk keperluan pembiayaan insentif orang-orang yang terlibat.

Pada sharing session selanjutnya, para narasumber membagikan berbagai pengalamannya sebagai mahasiswa maupun working student di Jerman. Niken Ayu Permatasari, mahasiswa doktoral yang sekaligus menjabat sebagai Ketua PPI Göttingen memaparkan, bahwa iklim akademis di Jerman sangat humanis yaitu memanusiakan manusia, serta inklusif diperlakukan sama tidak memandang dari mana asal negara seseorang. Ia menambahkan bahwa dalam menghadapi berbagai kendala dalam proses riset, ia selalu mendapatkan feedback dan apresiasi yang konstruktif. 

Sekar Yunita, mahasiswa S3 yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua PPI Jerman, menceritakan pengalamannya sebagai penerima beasiswa DAAD saat menempuh program master, dimana besaran beasiswa yang ia terima saat itu lebih sedikit dari besaran yang diterima oleh para penerima beasiswa LPDP.”Pembiayaan beasiswa Pemerintah Jerman DAAD itu agak mirip seperti beasiswa LPDP sistem parsial, karena nominal bulanannya jauh lebih sedikit daripada LPDP, meskipun asuransi kami ditanggung, namun untuk biaya semester nya kami harus tanggung sendiri”, ujar Sekar. Banyak mahasiswa DAAD maupun mahasiswa biaya mandiri yang bekerja sebagai working student untuk mendapatkan penghasilan tambahan baik di kampus tempat studinya maupun di banyak perusahaan yang membuka lowongan kerja formal khusus mahasiswa.”Bedanya dengan di Indonesia, posisi working student ini resmi dan bisa dijadikan sebagai pengalaman kerja, serta kita juga mendapatkan banyak fasilitas seperti HP, laptop, seperti layaknya pekerja kantoran full time”, tambah Sekar.

Hilman Fatoni, mahasiswa doktoral sekaligus Lurah LPDP Jerman memaparkan berbagai tantangan yang dihadapi mahasiswa Indonesia yang berkuliah disana. Ia menjelaskan, bahwa seringkali terdapat gap knowledge khususnya di ilmu pengetahuan basic science antara Indonesia dengan Jerman, sehingga tidak sedikit mahasiswa yang mengulang mata kuliah bahkan molor untuk mengejar ketertinggalan. “Awardee LPDP memang dituntut untuk bisa beradaptasi, namun secepat-cepatnya kita beradaptasi tapi constraint waktu itu masih tetap ada”, ujar Hilman. Selain itu ia menambahkan, meskipun banyak program studi yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, dalam kehidupan sehari-hari kemampuan berbahasa Jerman masih sangat diperlukan. “Dalam mengurus keperluan administrasi dan birokrasi, mengurus dokumen keluarga dan surat tempat tinggal, kemampuan percakapan dalam bahasa Jerman masih sangat dibutuhkan”, terangnya. Selain membahas tentang tantangan yang dihadapi mahasiswa, ia juga menggaris bawahi tentang persoalan kondisi dan situasi bagi alumni LPDP saat harus kembali pulang ke tanah air. “Sedikit bantuan dukungan dari pemerintah akan sangat berguna, seperti misalkan kemarin ada beberapa BUMN yang memberikan kesempatan jalur khusus alumni LPDP untuk mendaftar”, tambahnya.

Bertha Lovita Dwi, alumni program joint degree LPDP dengan kampus di Jerman yang saat ini bekerja sebagai konsultan kebijakan publik di perusahaan swasta mengungkapkan, bahwa alumni LPDP mendapatkan banyak tantangan sekaligus peluang saat kembali ke tanah air. “Salah satu tantangannya yaitu bagaimana dengan gelar tinggi yang sudah didapat, kita juga bisa membuktikkan bahwa kita juga punya pengalaman yang mumpuni untuk bekerja di suatu perusahaan atau institusi yang kita inginkan”, ujar Bertha. Ia menambahkan bahwa untuk berkontribusi pulang ke tanah air, segala sesuatunya perlu dipersiapkan sejak masa studi. “Memaksimalkan jaringan diaspora, memperluas wawasan tidak hanya terbatas di bidang keahlian ternyata justru menjadi bekal saat diaplikasikan di tempat kerja”, tambahnya. Menurut Bertha, saat ini dibutuhkan tenaga-tenaga dengan wawasan luas dan pernah menjadi global player untuk membangun Indonesia dengan local wisdom.

Teuku Harza Mauludi, alumni beasiswa DAAD yang saat ini mengajar di Departemen Ilmu Politik, di Universitas Indonesia, memaparkan riset singkatnya hasil kerja sama antara PPI Jerman Policy Research dengan Kedutaan Besar RI di Berlin, mengenai mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Indonesia. Ia menjelaskan, bahwa baik Jerman maupun Indonesia sama – sama mengakui bahwa pendidikan sebagai hak tiap warga negara. Jerman menganut filosofi pendidikan yang menganut prinsip Humboldtian (seorang ilmuwan besar Jerman), yang melihat bahwa riset dan pengajaran harus menjadi satu kesatuan, dimana melibatkan mahasiswa didalamnya menjadi faktor penting. Sehingga pembiayaan pendidikan tinggi sudah seharusnya menjadi peran negara, yang kemudian tertuang dalam bentuk besarnya pendanaan pendidikan dan riset dari pemerintah Jerman. “Sempat terjadi perubahan paradigma yang memunculkan ide-ide baru tentang bagaimana seharusnya universitas dijalankan, dan untuk mendorong output riset yang lebih produktif, sehingga yang awalnya pendidikan di Jerman itu gratis sempat di tahun 2006 dilakukan penarikan biaya kuliah untuk peningkatan fasilitas dan infrastruktur, namun karena mendapat protes besar-besaran dari mahasiswa dan masyarakat sipil, akhirnya keputusan tersebut dibatalkan”, terang Teuku. Ia menambahkan, bahwa momentum untuk menjadikan pendidikan di Indonesia lebih accessible sebenarnya sudah ada sejak pasca reformasi dengan adanya amandemen Undang – Undang, yang kemudian melihat pendidikan sebagai public goods. Namun adanya krisis moneter dan tekanan dari lembaga – lembaga ekonomi internasional untuk melakukan reform dan pendidikan menjadi salah satu sektor yang terdampak, dimana kemudian munculah metrik-metrik untuk menentukan kualitas pendidikan tinggi yang mengacu pada perangkingan global dan akreditasi internasional. Kemudian pemerintah menerbitkan PP No 61 tahun 1999 dimana kampus-kampus besar di Indonesia mendapatkan hak otonomi untuk mengelola keuangannya sendiri dan mengejar ketertinggalan dalam perangkingan dan akreditasi internasional. “Jika kita lihat, meskipun anggaran pendidikan Indonesia terus naik, namun sebenarnya dana yang dikelola oleh Kemendikbud hanya 15% dari total anggaran pendidikan kita, sehingga subsidi pemerintah khususnya untuk perguruan tinggi dengan hak otonomi hanya sekitar 28% – hingga 30% dari total biaya operasionalnya, sehingga menaikkan dana UKT dari mahasiswa menjadi sumber pendanaan solusi paling mudah bagi perguruan tinggi tersebut”, jelas Teuku.

Sebagai closing statement, Dwi Larso menyebutkan bahwa saat ini dengan dana yang ada, LPDP sudah gas pol rem blong untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam jumlah rasio lulusan S2 dan S3 dengan negara-negara lain. Namun agar para lulusan tersebut memiliki nilai tambah bagi negara, maka mereka harus terlibat dalam kegiatan riset dan inovasi, dimana kampus-kampus di Indonesia menjadi ujung tombak kegiatan tersebut. Sehingga harapannya, tujuan utamanya tidak hanya menambah rasio jumlah lulusan S2 dan S3, namun juga menaikkan jumlah dan mutu inovasi dan iklim riset di Indonesia. 

“Sebagai diaspora kita adalah orang-orang yang sudah terpilih dibandingkan dengan jutaan orang Indonesia lainnya, jadi kontribusi kita sebagai diaspora bisa dari mana saja, dan dari bentuk apapun asalkan kita selalu memikirkan dan mengintegrasikan Indonesia baik di mindset maupun setiap langkah karir kita kedepan”, ujar Prof. Hendro dalam kalimat penutup diskusinya. 

Tentang PPI Jerman: PPI Jerman adalah organisasi yang mewadahi para pelajar Indonesia di Jerman untuk berkolaborasi dan berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Penulis: Mohammad Rohmaneo Darminto

Rekaman acara:
https://youtu.be/NpVEcxPJPa4?si=P8NVbPnSTK_wiD0E

Dokumentasi Foto acara: 

https://drive.google.com/drive/folders/1xKy6xXGY_gbiyRdtw8F0qhqrCd67KZbG?usp=sharing